Pilihan Terapi yang Tepat untuk Pasien Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)

Oleh :
dr. Qorry Amanda, M.Biomed

Pilihan terapi yang tepat untuk pasien asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah kombinasi long-acting beta-2 agonist (LABA) dan inhaled corticosteroid (ICS). Termasuk pemberian inhalasi kombinasi salmeterol/fluticasone propionate. Pada pasien asma, kortikosteroid inhalasi bekerja lebih cepat dengan risiko efek samping lebih rendah daripada kortikosteroid sistemik.[1-3]

Salmeterol merupakan regimen agonis β2 yang berfungsi sebagai bronkodilator kerja panjang, dengan selektivitas yang lebih tinggi pada reseptor β2 jika dibandingkan dengan agonis β2 lainnya, seperti salbutamol maupun formoterol. Sementara itu, fluticasone propionate adalah steroid inhalasi untuk anti-inflamasi, dengan efek yang lebih kuat jika dibandingkan dengan steroid sejenisnya, seperti budesonide, ciclesonide, maupun beclomethasone.[4,5]

Pilihan Terapi yang Tepat untuk Pasien Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)-min

Perjalanan Penyakit Asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik

Asma dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit kronik pada saluran pernapasan yang dapat menimbulkan gejala sesak nafas. Perjalanan kedua penyakit ini disebabkan oleh bronkospasme, inflamasi, dan obstruksi sputum.[6,7]

Perjalanan Penyakit Asma

Asma disebabkan karena adanya faktor inflamasi. Pada pasien dengan asma, terdapat pembuluh darah yang lebih banyak dibandingkan dengan bukan penderita asma, yang berkorelasi dengan terjadinya inflamasi.[8,9]

Selain sesak, gejala asama berupa mengi dan batuk yang derajatnya berubah-ubah sepanjang waktu. Pasien asma memiliki saluran napas yang hiperesponsif, yang dapat dipicu oleh paparan alergen atau iritan, aktivitas olahraga, perubahan suhu udara atau cuaca, serta infeksi saluran pernafasan.[7,10]

Pada penggunaan bronkodilator, derajat obstruksi pada pasien asma dapat segera membaik dan hasil FEV1 pada tes spirometri menjadi normal. Fenomena ini disebut sebagai reversibilitas pasca bronkodilator, yang menjadi pembeda asma dari PPOK.[7,10]

Perjalanan Penyakit PPOK

Pasien paru obstruktif kronik (PPOK) mengalami gejala obstruksi napas yang persisten, karena telah terjadi perubahan struktur pada saluran pernafasan dan alveoli. Perubahan struktur ini merupakan hasil injury dan repair yang terjadi berulang kali, sehingga timbul remodelling organ pernapasan.[6,11]

PPOK sering diakibatkan oleh paparan gas beracun, seperti asap rokok, kendaraan, atau pembakaran. PPOK dipengaruhi oleh faktor lanjut usia, atau abnormalitas gen jika perubahan struktur pernapasan terjadi lebih dini. Dengan demikian, kelainan yang terjadi pada PPOK bersifat permanen dan tetap bertahan meski faktor etiologi berupa paparan asap dihilangkan. Fenomena reversibilitas pasca bronkodilator tidak terjadi, di mana FEV1 pada pasien PPOK persisten di bawah 70%.[6,11]

Keunggulan Kombinasi LABA dan ICS untuk Terapi Asma dan PPOK

Walaupun memiliki perjalanan penyakit yang berbeda, tetapi asma dan PPOK sama-sama memiliki gambaran klinis obstruksi saluran pernapasan. Oleh karena itu, manajemen keduanya menggunakan regimen farmakologi yang sama, yaitu bronkodilator (agonis β2) dan anti-inflamasi steroid inhalasi (ICS).[6,7]

Pilihan terapi lini pertama asma menitikberatkan pada ICS, sementara PPOK mengutamakan bronkodilator. Namun, terapi kombinasi sekarang menjadi rekomendasi utama untuk kedua penyakit tersebut.[6,7]

Mekanisme Kerja Bronkodilator

Bronkodilator menurunkan tonus otot polos saluran pernapasan, sehingga meminimalkan hiperinflasi dinamik pada PPOK. Obat ini secara efektif meningkatkan FEV1 sehingga dapat meredakan gejala sesak nafas. Jenis bronkodilator yang sering digunakan, baik pada PPOK maupun asma, adalah agonis β2 yang terbagi menjadi short-acting (durasi 4−6 jam) dan long-acting  (durasi >12 jam).

Penelitian klinis membuktikan bahwa penggunaan long-acting beta-2 agonist (LABA) sebanyak 2 kali/hari dapat meningkatkan FEV1 dan volume paru, serta dapat mengurangi gejala sesak napas, frekuensi eksaserbasi akut, dan rawat inap pada PPOK.

Sementara pada asma, LABA digunakan sebagai terapi tambahan bila gejala asma sering dirasakan pada siang hari atau pernah terbangun >1 kali/minggu di malam hari. LABA terbukti lebih baik jika diberikan Bersama ICS sebagai terapi utama asma.[6,7,12]

Mekanisme Kerja Anti-inflamasi Steroid Inhalasi

Inhaled corticosteroid (ICS) bekerja dengan memberikan efek anti-inflamasi. Patofisiologi asma seringkali berupa alergi serta peradangan saluran napas, maka ICS sangat bermanfaat untuk terapi utama asma. The Global Initiative for Asthma (GINA) tahun 2022 merekomendasikan low dose ICS sebagai terapi asma lini pertama, yang dapat dikombinasikan dengan SABA atau LABA.[7]

Sementara berdasarkan Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) tahun 2022, penggunaan ICS secara tunggal pada PPOK tidak bermanfaat dalam memperbaiki FEV1 maupun menurunkan mortalitas. Pada pasien PPOK, ICS digunakan bersamaan dengan LABA untuk mencegah penurunan fungsi paru-paru dan memperbaiki status kesehatan pasien.[6,13]

Kortikosteroid memiliki efek genomic dan nongenomic. Efek genomic melibatkan pengaturan gen target dalam menekan sebagian besar elemen inflamasi di dalam darah serta mencegah angiogenesis di saluran napas. Sementara itu, efek nongenomic dimediasi oleh mekanisme seluler yang cepat dalam menginduksi vasokonstriksi sementara di jalan napas, sehingga memperbaiki hiperperfusi inflamasi.[14]

Hanya ada 2 inhalasi kortikosteroid yang terbukti memiliki efek pada vaskuler di saluran napas, yaitu fluticasone dengan waktu efek hingga 6 minggu atau beclomethasone dengan waktu efek hingga 6 bulan.[14]

Terapi Inhalasi Salmeterol/Fluticasone pada Asma dan PPOK

Regimen kombinasi LABA/ICS berupa salmeterol dan fluticasone sangat direkomendasikan untuk pasien asma atau PPOK. Inhalasi salmeterol/fluticasone terbukti efektif dalam memperbaiki gejala serta menurunkan risiko eksaserbasi akut pada asma dan PPOK.

Studi Klinis Keunggulan Terapi Inhalasi Salmeterol/Fluticasone

Uji klinis acak lainnya, oleh Dahl et al pada tahun 2006, membandingkan efikasi salmeterol/fluticasone propionate 50/250 μg (SCF) dengan formoterol/budesonide 6/200 μg (FBC), yang diberikan dua kali/hari pada pasien asma persisten. Hasil uji menunjukkan baik terapi SFC maupun FBC selama 6 bulan sama-sama secara signifikan meningkatkan fungsi paru-paru dan menurunkan gejala asma persisten. Namun,  SFC ditemukan secara signifikan lebih unggul daripada FBC dalam mengurangi tingkat eksaserbasi sedang/berat.[15]

Sebuah studi mengenai farmakoekonomi pernah dilakukan pada 3 negara Asia Tenggara (Indonesia, Thailand, Vietnam) untuk membandingkan biaya yang dikeluarkan oleh pasien yang menerima terapi salmeterol-fluticasone dengan SABA (salbutamol) sebagai reliever. Studi ini menunjukkan biaya penggunaan salmeterol-fluticasone lebih ekonomis daripada penggunaan budesonide-formoterol sebagai pengontrol dan reliever.[16]

Manfaat Penggunaan Pressurised Metered-dose Inhaler (pMDI)

Terdapat dua jenis utama inhaler, yakni metered dose inhaler (MDI) dan dry powder inhaler (DPI). MDI menggunakan propellant atau pendorong obat agar dapat tersemprot keluar alat, sedangkan DPI tidak menggunakan propellant.[17,18]

MDI jenis terbaru disebut pressurized metered dose inhaler atau pMDI, dengan perubahan mencolok pada tipe propellant yang digunakan. Jenis propellant pMDI dianjurkan dalam bentuk gas yang ramah emisi lingkungan, dan memiliki kadar global warming potential yang rendah. European Respiratory Society (ERS) and the International Society for Aerosols in Medicine (ISAM) merekomendasikan penggunaan pMDI untuk pasien dengan kondisi koordinasi dan inflow yang baik maupun buruk.[17,18]

Sediaan salmeterol/fluticasone yang dikemas dalam bentuk pMDI memiliki keunggulan untuk mengontrol asma dan PPOK. Ukuran partikel pada pMDI lebih kecil daripada produk DPI, sehingga dapat didistribusikan secara lebih luas dari ke saluran napas perifer.[19,20]

Studi Klinis Keunggulan Penggunaan pMDI

Uji klinis acak oleh Hojo et al, pada tahun 2016, mempelajari pemberian inhalasi salmeterol/fluticasone pMDI dibandingkan dengan DPI. Uji ini melibatkan 47 pasien dan menunjukkan bahwa pemberian pMDI lebih baik dalam menghasilkan efek antiinflamasi dan bronkodilator bagi penderita asma dan PPOK. pMDI memberikan hasil spirometri yang lebih baik, serta memperbaiki FeNO yang menunjukkan penurunan inflamasi saluran napas.[19]

Pilihan Terapi yang Tepat untuk Pasien Asma dan PPOK

Terapi yang tepat untuk pasien asma dan PPOK adalah kombinasi bronkodilator (agonis β2) dan anti-inflamasi steroid inhalasi (ICS). Terapi kombinasi sekarang menjadi rekomendasi utama untuk kedua penyakit tersebut, baik sebagai pengontrol maupun relievernya.[6,7]

Keunggulan

ICS memiliki efek meningkatkan produksi reseptor agonis beta-2, sehingga fluticasone dapat meningkatkan potensi kerja salmeterol. Sebaliknya, salmeterol juga diketahui memperkuat efek antiinflamasi oleh fluticasone. Kombinasi regimen ini terbukti aman digunakan dan tidak menimbulkan interaksi yang merugikan.[6,7,21]

Dosis

Inhalasi salmeterol/fluticasone tersedia dalam dosis salmeterol/fluticasone 25 μg/125 μg dan 25 μg/250 μg. Frekuensi pemberian sebanyak 2 kali/hari, baik pada asma maupun PPOK.

Menggandakan dosis pada orang dewasa hingga 14 hari aman dan memiliki tolerabilitas sebanding dengan dosis reguler. Tidak diperlukan penyesuaian dosis pada pasien usia lanjut atau pasien dengan gangguan ginjal maupun hati.[15,22]

Efek Samping dan Kontraindikasi

Efek samping salmeterol mencakup tremor, palpitasi, iritasi pada tenggorokan, suara seral/disfonia, dan kram otot. Sedangkan efek samping fluconasone terutama kandidiasis mulut dan tenggorokan. Setelah inhalasi, pasien dianjurkan untuk berkumur dan mencuci mulutnya dengan air untuk menghindari risiko kandidiasis.

Kontraindikasi inhalasi salmeterol/fluticasone adalah hipersensitivitas pada salah satu komposisinya. Hingga saat ini, inhalasi ini tidak aman untuk digunakan selama kehamilan dan menyusui.[15,21,22,23]

Kesimpulan

Asma dan paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyakit yang memiliki patofisiologi berbeda, tetapi keduanya mengalami obstruksi saluran napas sehingga obat yang digunakan keduanya hampir sama. Kombinasi regimen inhalasi kortikosteroid (ICS) dan long-acting beta-2 agonist (LABA) merupakan terapi yang dianjurkan untuk mengendalikan gejala yang muncul dengan frekuensi tinggi, serta mencegah perburukan kedua penyakit tersebut.

Sediaan salmeterol/fluticasone (SCF) memberikan kontrol gejala yang lebih baik serta biaya yang lebih ekonomis jika dibandingkan dengan formoterol/budesonide  (FBS) sebagai kombinasi LABA/ICS. Selain itu, SCF secara trend tampak lebih menurunkan risiko eksaserbasi sedang dan berat.

Saat ini, inhalasi salmeterol/fluticasone tersedia dalam bentuk pressurised metered-dose inhaler (pMDI), di mana sediaan ini lebih efektif untuk mengantarkan dosis obat per inhalasi daripada sediaan dry powder inhaler (DPI). Kombinasi obat salmeterol dan fluticasone yang dikemas dalam bentuk pMDI memiliki keunggulan untuk mengontrol asma dan PPOK.

Referensi