Suplementasi Zat Besi dan Asam Folat untuk Tumbuh Kembang Anak

Oleh :
dr. Audiza Luthffia

Pemberian suplementasi zat besi dan asam folat diperkirakan dapat mendukung proses tumbuh kembang bayi dan anak yang berusia muda. Status kesehatan anak sangat dipengaruhi oleh asupan nutrisinya, terutama pada 1.000 hari pertama kehidupannya.

Pada periode tersebut, anak mengalami pertumbuhan fisik, perubahan fungsi fisiologis, serta perkembangan sistem saraf pusat yang sangat pesat. Perkembangan signifikan pada fungsi korteks prefrontal, hipokampus, dan sistem sensorik juga terjadi pada 1.000 hari pertama kehidupan anak.[1]

Suplementasi Zat Besi dan Asam Folat untuk Tumbuh Kembang Anak-min

Mikronutrien berupa vitamin dan mineral berperan penting untuk mendukung tumbuh kembang yang optimal dan mencegah bermacam penyakit. Data menunjukkan bahwa separuh dari seluruh balita di dunia masih mengalami defisiensi vitamin dan mineral. Oleh karena itu, pemberian suplementasi mikronutrien diperkirakan bisa bermanfaat.

Zat besi dan asam folat (vitamin B9) merupakan dua dari beberapa mikronutrien yang berkontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.[2]

Peran Zat Besi dan Asam Folat untuk Tumbuh Kembang Anak

Kebutuhan fisiologis zat besi dilaporkan meningkat pada anak usia muda karena zat besi diperlukan untuk produksi sel darah merah, pertumbuhan otot dan jaringan lainnya, ekspansi volume darah, serta perkembangan sistem saraf pusat. Oleh karena itu, defisiensi zat besi yang masih sering terjadi di negara berkembang bisa menimbulkan masalah kesehatan yang serius pada anak.[3,4]

Asam folat berperan penting dalam sintesis DNA dan protein. Vitamin ini diperlukan oleh tubuh untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel-sel baru. Defisiensi asam folat berpotensi menyebabkan gangguan pertumbuhan anak hingga stunting

Suplementasi asam folat umumnya diberikan pada ibu di fase prenatal (sejak sebelum konsepsi) karena diperlukan sejak masa awal pertumbuhan fetus untuk perkembangan otak dan tulang belakang. Pemberian asam folat pada ibu dilaporkan dapat mengurangi insidensi neural tube defects dan spina bifida.[2]

Anemia Defisiensi Besi pada Anak

Defisiensi zat besi merupakan penyebab anemia sekaligus defisiensi mikronutrien pada anak yang paling sering ditemukan di dunia. Secara global, anemia defisiensi besi diperkirakan terjadi pada 40% balita. Sementara itu, menurut Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) di Indonesia tahun 2018, sekitar 38,5% anak usia 0–59 bulan mengalami anemia.[2,5]

Populasi anak, khususnya anak usia 6–24 bulan, merupakan salah satu kelompok yang berisiko mengalami anemia defisiensi besi (ADB).

Pada rentang usia tersebut, anak mengalami tumbuh kembang dan peningkatan laju eritropoiesis yang sangat pesat, sehingga terjadi peningkatan kebutuhan zat besi yang melebihi kebutuhan zat besi orang dewasa. Namun, peningkatan kebutuhan ini sering tidak diimbangi asupan nutrisi yang adekuat, sehingga terjadi penurunan cadangan besi hingga anemia defisiensi besi.[3,6-8]

Cadangan zat besi bayi baru lahir berasal dari transfer cadangan zat besi maternal. Bayi memiliki cadangan zat besi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan tumbuh kembangnya sampai usia sekitar 4–6 bulan. Setelah itu, kebutuhan zat besi bayi hanya berasal dari asupan nutrisi yang dikonsumsinya, sehingga defisiensi zat besi pada anak paling sering terjadi akibat kualitas atau kuantitas asupan nutrisi yang tidak adekuat.

Peningkatan risiko anemia defisiensi besi pada anak juga bisa terjadi karena kurangnya konsumsi makanan yang mengandung zat besi atau adanya konsumsi makanan yang menghambat absorpsi zat besi. Contoh faktor risiko anemia defisiensi besi pada anak adalah pemberian ASI eksklusif hingga usia 1 tahun, proporsi pemberian ASI atau susu yang lebih banyak dari makanan utama, dan pemberian ASI yang tidak didampingi susu formula (khususnya susu yang terfortifikasi zat besi) pada anak usia >6 bulan.

Kadar zat besi yang tergolong rendah dalam ASI serta konsentrasinya yang menurun seiring pertambahan usia anak dapat menyebabkan ADB. Faktor sosioekonomi seperti penghasilan keluarga dan tingkat edukasi ibu juga dilaporkan berpengaruh terhadap kejadian anemia defisiensi besi.[1,3,4,7,9]

Dampak Anemia Defisiensi Besi pada Tumbuh Kembang Anak

Anemia defisiensi besi dapat menyebabkan gangguan perkembangan neurologis, gangguan kognitif, dan perubahan sosioemosional yang bersifat irreversible. Gangguan perkembangan tersebut terjadi akibat perubahan proses metabolik, seperti kerusakan mitokondria, metabolisme neurotransmitter (khususnya dopamin), gangguan myelinisasi neuron, serta organogenesis yang memengaruhi kerja otak.

Pada pasien ADB, terjadi kerusakan mitokondria serta gangguan reseptor dopamin di beberapa area penting di otak, seperti hipokampus. Akibatnya, gangguan pembelajaran dan gangguan memori mungkin terjadi.[10]

Manifestasi spesifik dari gangguan perkembangan yang disebabkan oleh defisiensi besi bisa bervariasi tergantung pada usia pasien saat pertama kali terdiagnosis, durasi defisiensi besi, serta derajat keparahan defisiensi besi itu sendiri.

Umumnya, gangguan fungsi kognitif akibat defisiensi besi berkaitan dengan tingkat konsentrasi, memori, atensi visual dan auditori, intelegensia, bahasa, fungsi sensoris dan persepsi, serta psikomotor. Fungsi psikososial yang terdampak meliputi gangguan emosi, tempramen, dan perubahan perilaku.[4,10]

Selain gangguan perkembangan, defisiensi besi juga mengganggu pertumbuhan linear pada anak mulai dari usia bayi hingga remaja. Gangguan pertumbuhan pada anemia defisiensi besi diakibatkan oleh defek sekresi insulin-like growth factor 1 (IGF-1). Selain itu, anak dengan defisiensi besi juga lebih berisiko mengalami penyakit infeksi yang mungkin menghambat pertumbuhan.[3,11]

Suplementasi Zat Besi pada Anak

Berbagai intervensi untuk mencegah dan menangani anemia defisiensi besi pada 1.000 hari pertama kehidupan dianggap sangat krusial dalam menentukan perkembangan fungsi kognitif anak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Suplementasi zat besi diharapkan dapat menurunkan risiko terjadinya anemia defisiensi besi. Pemberian makanan yang diperkaya zat besi serta suplementasi telah terbukti berkontribusi pada penurunan angka kejadian anemia defisiensi besi yang signifikan pada anak balita di Eropa.[10,12]

Pada tahun 2016, WHO mengeluarkan rekomendasi pemberian suplementasi zat besi rutin untuk anak di daerah yang memiliki prevalensi anemia defisiensi >40%. Anjuran tersebut dapat diterapkan di Indonesia yang memiliki prevalensi anemia defisiensi 40–45%. Dosis dan sediaan yang direkomendasikan bisa bervariasi berdasarkan usia, sesuai tabel di bawah.[8]

Tabel 1. Rekomendasi Suplementasi Zat Besi oleh WHO

Kelompok Usia Dosis Suplementasi Bentuk Sediaan Frekuensi Pemberian Durasi Pemberian
6–23 bulan 10–12,5 mg besi elemental Drops/sirup Setiap hari 3 bulan berturut-turut dalam 1 tahun
24–59 bulan 30 mg besi elemental Drops/sirup/tablet
5–12 tahun 30–60 mg besi elemental Tablet/kapsul

Sumber: World Health Organization, 2016.

Dalam pedoman yang dirilis oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) pada tahun 2011, pemberian suplementasi zat besi direkomendasikan untuk anak, khususnya usia balita sebagai prioritas utama. Rekomendasi suplementasi zat besi dari IDAI ditampilkan pada tabel di bawah.[9]

Tabel 2. Rekomendasi Suplementasi Zat Besi oleh IDAI

Kelompok Usia Dosis Suplementasi Frekuensi Pemberian Durasi Pemberian
Bayi berat badan lahir rendah 2–3 mg/KgBB besi elemental Setiap hari Usia 1 bulan hingga 2 tahun
Bayi prematur 2 mg/kgBB besi elemental Setiap hari Usia 1 bulan hingga 1 tahun
Bayi usia 6–23 bulan 2 mg/kgBB besi elemental (maksimal 15 mg/hari) Setiap hari Usia 4 bulan sampai 2 tahun
Anak usia 2–5 tahun 1 mg/kgBB besi elemental 2 kali seminggu 3 bulan berturut-turut setiap tahun
Anak usia sekolah (5–12 tahun)
Remaja 60 mg besi elemental

Sumber: Ikatan Dokter Anak Indonesia, 2011.

Besi elemental dapat diberikan dalam bentuk ferrous sulfat, ferrous fumarate, atau ferrous glukonat sesuai dosis yang dikonversi. Bentuk ferrous sulfat merupakan bentuk yang sering digunakan. Namun, pemberian ferrous sulfat juga sering menimbulkan efek samping gastrointestinal berupa mual dan muntah, kolik abdomen, gastritis, dan diare, yang terkadang sulit ditoleransi oleh anak.[8]

Sediaan Ferrous Sulfat vs Iron Polymaltose Complex

Untuk meminimalkan efek samping gastrointestinal dan untuk meningkatkan kepatuhan minum obat, suplementasi dalam bentuk iron polymaltose complex (IPC) menjadi salah satu pilihan karena efek sampingnya minimal. IPC adalah sediaan zat besi yang bersifat nonionik, yang dipadukan dengan polymaltose sebagai bahan tambahan makanan. Kombinasi ini memiliki bentuk lebih stabil, sehingga absorpsinya lebih terkontrol.[7]

Meskipun secara teori IPC diperkirakan memiliki keunggulan dalam hal efek samping yang minimal, suatu metaanalisis oleh Rosli et al. (2021) tidak menunjukkan adanya perbedaan efek samping gastrointestinal yang bermakna antara IPC dan ferrous sulfat.

Dalam hal perbaikan parameter hematologis (kenaikan Hb serta ferritin pada anak dengan defisiensi besi), ferrous sulfat dilaporkan lebih superior daripada IPC.[13]

Amaral et al. melakukan uji klinis acak terkontrol terhadap 60 anak usia 6–18 bulan yang mengalami anemia defisiensi besi. Studi ini membandingkan manfaat IPC dan ferrous sulfat. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan efikasi dan efek samping yang bermakna antara ferrous sulfat dan IPC.[14]

Kesimpulan

Zat besi dan asam folat berperan penting dalam tumbuh kembang anak, khususnya pada 1.000 hari kehidupan pertama. Asam folat berperan untuk sintesis dan diferensiasi sel-sel baru yang dibutuhkan anak selama fase pertumbuhan. Namun, sampai saat ini belum ada rekomendasi pemberian suplementasi asam folat untuk bayi atau anak usia muda karena bukti manfaatnya yang masih terbatas.

Zat besi memiliki peran yang dominan pada perkembangan sistem saraf pusat dan fungsi kognitif anak. Populasi anak usia muda adalah kelompok umur yang paling berisiko mengalami defisiensi besi karena periode emas tumbuh kembang anak diikuti dengan peningkatan kebutuhan zat besi yang pesat. Kebutuhan zat besi yang tidak tercukupi melalui makanan berisiko menimbulkan anemia defisiensi besi, yang dapat mengganggu kemampuan kognitif dan sosioemosional anak yang bersifat irreversible.

Untuk mencegah hal tersebut, anak perlu mendapat suplementasi zat besi, khususnya anak usia 0–2 tahun. Suplementasi diberikan hingga usia remaja dengan dosis berbeda pada masing-masing kelompok usia.

Terdapat berbagai sediaan suplementasi besi, termasuk beberapa sediaan ferrous dan bentuk iron polymaltose complex (IPC). Sampai saat ini, studi terkait perbandingan efikasi dan keamanan sediaan ferrous konvensional dengan IPC masih belum konklusif. Studi lebih lanjut untuk menentukan apakah IPC lebih unggul daripada ferrous sulfat masih dibutuhkan.

Referensi