Stigma dan Keterlambatan Penanganan Psikiatri

Oleh :
dr. Zuhrotun Ulya, Sp.KJ, M.H.

Stigma pada penderita gangguan jiwa sering menyebabkan keterlambatan penanganan psikiatri. Stigma pada gangguan jiwa merujuk pada terbentuknya suatu pemahaman negatif terkait sudut pandang seseorang atau sekelompok masyarakat terhadap orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Pandangan negatif ini berakar pada masalah personal, sosial, atau keluarga yang saling bersinergi hingga memunculkan permasalahan.[1,2]

Stigma gangguan jiwa muncul dalam berbagai bentuk, seperti stigma personal maupun stigma publik (lingkungan, lembaga, dan institusi pelayanan publik). Stigma publik mengarah pada sikap dan keyakinan seseorang terhadap ODGJ yang memunculkan perilaku menghindari, menolak, merasa takut, atau mendiskriminasi.

Unhappy,Young,Man,Get,Hopeless,And,Depressed,Asian,Guy,Stay

Pada tingkat lembaga, kebijakan tentang kesehatan jiwa belum tentu mampu mengarah pada sikap atau persepsi positif secara keseluruhan. Tuntutan untuk selalu bekerja secara cepat, tepat, dan terbaik tentu menjadi hambatan bagi mereka yang memiliki disabilitas akibat gangguan jiwa.[1-3]

Di lain sisi, stigma personal adalah kondisi di mana ODGJ membentuk stigma terhadap dirinya sendiri sebagai bentuk internalisasi stigma publik. Hal ini menyebabkan ODGJ merasa malu, merasa putus asa karena tidak dipedulikan, dan merasa tidak berdaya. Kondisi ini bisa mengganggu kapasitas fungsional ODGJ untuk memutuskan mencari bantuan pengobatan.[2]

Studi cross-sectional oleh Horsfield et al menyebutkan bahwa sebanyak 51 dari 207 partisipan yang mengalami labelling stigma berpeluang mengalami kondisi depresi yang makin buruk, sulit memutuskan kebutuhan pengobatan, merasa terpisah dari relasi sosial, dan merasa bersalah akibat stigma yang melekat pada kondisinya.[4]

Dampak Stigma Terhadap Penanganan Psikiatri

Stigma gangguan jiwa menyebabkan pasien sering menunda pencarian bantuan tenaga profesional, menghentikan pengobatan (bila sebelumnya sudah menjalani pengobatan), mengalami masalah dalam menjalin hubungan terapeutik, dan mengalami kualitas hidup yang memburuk.

Hal-hal tersebut menurunkan tingkat kepercayaan diri, kemampuan berpikir, kepatuhan pengobatan, serta menimbulkan risiko kekambuhan. Stigma yang muncul dari institusi pelayanan publik (oknum petugas atau sistem terkait) juga sering membuat pasien dan keluarga enggan mencari bantuan.[5,6]

ODGJ dengan penyakit komorbid fisik juga mungkin mengalami kesulitan tersendiri. Adanya stigma gangguan jiwa membuat ODGJ kesulitan mengutarakan gangguan medis fisik yang dialaminya. Hal ini terutama semakin memburuk bila tanggapan tenaga medis cenderung “melewatkan” anjuran pemeriksaan lebih lanjut karena tenaga medis berasumsi bahwa sakit fisik ODGJ merupakan bagian dari gangguan mentalnya. Hal ini bisa menyebabkan keterlambatan diagnosis dan pengobatan.[7]

Pada pasien yang mampu memahami kondisi gangguan jiwa yang dialami dan memiliki tilikan intelektual yang lebih baik sering kali mencoba mencari bantuan. Namun, hal ini bisa tetap terkendala oleh menetapnya stigma sosial dalam masyarakat.[8]

Dampak Keterlambatan Penanganan Psikiatri

Apabila suatu gangguan jiwa tidak dikenali atau terlambat dikenali, pasien akan berisiko mengalami komorbiditas medis, mengalami prognosis yang lebih buruk, dan mungkin akan membutuhkan biaya medis yang lebih besar. Selain itu, di beberapa daerah di Indonesia, kondisi agitatif ODGJ yang sangat berat masih bisa menyebabkan pasien dipasung oleh keluarga atau masyarakat setempat.

Gangguan jiwa yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat berisiko memunculkan perilaku agitasi, risiko percobaan bunuh diri, tindak kekerasan, ataupun perilaku yang menyakiti diri sendiri atau orang lain. Selain itu, tertundanya penanganan episode psikotik pertama dilaporkan menyebabkan gejala menetap dan memberat, sehingga pasien mengalami perburukan fungsi sosial dan kualitas hidup.[9,10]

Tindak kekerasan yang dilakukan ODGJ dengan gejala psikotik dapat diakibatkan oleh waham paranoid, waham persekutorik, halusinasi auditorik, atau pikiran bergema yang dimiliki. Variabel lain yang juga berhubungan adalah munculnya episode hipomania, pikiran sisipan, gangguan kepribadian antisosial, serta stresor eksternal yang memicu perilaku kekerasan tersebut.[11]

Upaya Tenaga Medis untuk Meningkatkan Kesadaran di Komunitas

Pemanfaatan media sosial dapat menjadi salah satu upaya efektif untuk meningkatkan dukungan dan promosi kesehatan jiwa. Sasaran promosi kesehatan dapat diarahkan pada pengguna sosial media di semua umur. Tenaga medis dapat menggunakan media digital, pesan singkat, leaflet, komik, maupun video untuk memudahkan masyarakat memahami gangguan jiwa, seperti depresi dan gangguan psikotik.

Survei yang dilakukan oleh Glick et al terhadap 100 pasien dengan gangguan jiwa yang serius melaporkan bahwa 85% peserta memiliki telepon genggam. Selain itu, survei lain oleh Brunette et al terhadap 403 pasien dengan gangguan jiwa yang serius melaporkan bahwa 65,8% menggunakan smartphone, 53,6% mengakses internet melalui komputer atau tablet, dan sekitar 67,9% menggunakan media sosial. Proporsi ODGJ pengguna media sosial dilaporkan terus meningkat sejak tahun 2017.[12,13]

Media sosial dapat memfasilitasi interaksi sosial masyarakat, menghubungkan ODGJ dengan jejaring pelayanan kesehatan jiwa, dan memperluas upaya promosi kesehatan. Namun, pemanfaatan media sosial memang tetap memiliki beberapa tantangan, seperti timbulnya kesadaran yang berlebihan terhadap gangguan jiwa yang justru berisiko memperburuk kondisi ODGJ apabila mendapat penolakan secara sosial. Selain itu, ada peningkatan risiko cyberbullying.[14]

Beberapa upaya promosi kesehatan jiwa yang dapat dilakukan oleh tenaga medis pada masyarakat adalah sebagai berikut:

  1. Ajak ODGJ untuk menyampaikan kondisi yang dialami pada orang yang dikenal, misalnya dimulai dari teman, keluarga, ataupun orang lain yang dipercaya
  2. Apabila seseorang berada dalam posisi pendengar, anjurkan orang tersebut untuk mendengarkan ODGJ dengan pikiran yang terbuka tanpa stigma
  3. Anjurkan komunitas untuk menambah pengetahuan diri tentang gangguan jiwa, termasuk pada populasi rentan seperti anak dan orang lanjut usia
  4. Berikan informasi tentang layanan kesehatan jiwa profesional yang tersedia dan sesuai dengan kebutuhan pasien
  5. Mengajak masyarakat untuk turut menjadi relawan kesehatan jiwa atau relawan acara yang sejenis, sehingga masyarakat dapat memahami ODGJ lebih baik
  6. Manfaatkan promosi kesehatan jiwa edukatif melalui media sosial
  7. Imbau masyarakat untuk menjaga kesehatan fisik untuk menyokong kesehatan jiwa yang lebih baik[15]

Kesimpulan

Stigma pada gangguan jiwa dapat menyebabkan keterlambatan penanganan psikiatri. Hal ini menyebabkan pasien cenderung memiliki prognosis psikiatri maupun prognosis penyakit komorbid yang lebih buruk, serta cenderung membutuhkan biaya medis yang lebih besar. Stigma gangguan jiwa perlu dikurangi melalui aksi promosi kesehatan jiwa yang aktif dari tenaga kesehatan dan institusi pemerintahan.

Pemanfaatan media sosial dengan bijak dapat menjadi suatu opsi untuk meningkatkan kesadaran tentang kesehatan jiwa. Hal ini didasarkan pada hasil beberapa survei yang menunjukkan bahwa orang dengan gangguan jiwa pun memiliki akses terhadap gadget dan media sosial dengan proporsi yang cukup tinggi.

Referensi