Spermatokel: Eksisi atau Aspirasi?

Oleh :
dr. Harris Bartimeus, Sp.B

Spermatokel dapat diobati dengan eksisi ataupun aspirasi dengan atau tanpa skleroterapi. Meski begitu, belum ada konsensus khusus mengenai kapan kedua terapi tersebut lebih disukai.

Spermatokel adalah lesi kistik jinak berisi akumulasi sperma yang berasal dari kaput epididimis.  Spermatokel umumnya merupakan kelainan yang asimptomatik karena ukurannya yang kecil (kurang dari 1 cm) dan unilateral, sehingga tidak memerlukan intervensi medis. Pembesaran spermatokel atau timbulnya gejala nyeri yang progresif merupakan indikasi perlunya dilakukan tindakan medis.

Spermatokel

Tindakan medis yang dapat dilakukan saat ini mencakup eksisi spermatokel (spermatokelektomi) dan aspirasi dengan atau tanpa disertai skleroterapi.  Namun, belum ada uji klinis skala besar yang membandingkan ataupun memberikan kesimpulan tentang terapi mana yang lebih unggul dalam penanganan spermatokel.[1-4]

Kelebihan dan Keterbatasan Prosedur Aspirasi Dengan atau Tanpa Skleroterapi

Aspirasi merupakan teknik minimal invasif yang dapat dilakukan dalam penanganan spermatokel.  Meski begitu, aspirasi tanpa disertai dengan skleroterapi biasanya kurang berhasil pada spermatokel yang berukuran lebih besar.  Penambahan agen sklerosan akan menyebabkan sel epitel dari dinding kista mengalami nekrosis dan berakibat pada kerusakan dinding kista.[5,6]

Potensi Komplikasi Relatif Lebih Ringan Dibandingkan Eksisi

Aspirasi dan skleroterapi sendiri memiliki angka komplikasi pasca tindakan yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan eksisi spermatokel (spermatokelektomi).  Kebanyakan komplikasi yang timbul hanya sebatas nyeri yang umumnya disebabkan oleh efek dari inflamasi lokal yang ditimbulkan dari agen sklerosan.

Beberapa uji klinis acak menemukan bahwa komplikasi pada prosedur aspirasi dan skleroterapi masih jauh lebih rendah dibandingkan dengan eksisi spermatokel (3-16% vs 13-52%).  Studi-studi tersebut juga menyebutkan bahwa aspirasi dan skleroterapi memerlukan biaya jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan eksisi spermatokel.[5,6]

Sering Memerlukan Lebih Dari Satu Kali Tindakan untuk Meningkatkan Keberhasilan

Tingkat keberhasilan dari aspirasi dan skleroterapi sangat bervariasi. Tingkat keberhasilan skleroterapi dengan polidocanol berkisar antara 34-59% dan dapat meningkat hingga 89% dengan tindakan skleroterapi berulang.  Tingkat keberhasilan aspirasi dengan skleroterapi alkohol 100% hanya mencapai 73.5% untuk terapi spermatokel, sedangkan bila prosedur diulang untuk kedua kalinya maka tingkat keberhasilannya baru dapat mencapai 100%.

Secara garis besar, banyak studi mendapatkan bahwa tingkat keberhasilan aspirasi dan skleroterapi masih lebih rendah dibandingkan dengan eksisi spermatokel, yakni antara 36-96% dibandingkan eksisi 84-100%.  Keberhasilan dari aspirasi dan skleroterapi pun banyak dipengaruhi oleh agen sklerosan yang dipakai.[1,5,6]

Kelebihan dan Keterbatasan Prosedur Eksisi Spermatokel

Eksisi spermatokel biasanya diindikasikan ketika ukuran massa sudah mencapai setidaknya 4 cm, atau bila disertai dengan gejala klinis nyeri, hernia, ataupun hidrokel.  Patokan ukuran yang lebih sederhana untuk indikasi eksisi spermatokel adalah apabila spermatokel sudah mencapai ukuran yang menyerupai testis sehat.[1,2,4]

Angka Keberhasilan Tinggi

Sampai saat ini, eksisi spermatokel masih dianggap sebagai pilihan terapi yang terbaik untuk spermatokel.  Angka keberhasilan eksisi spermatokel dalam suatu uji klinis acak dapat mencapai 84-100%.[1,6]

Potensi Komplikasi Tinggi dan Bisa Rekuren

Kekurangan utama dari eksisi spermatokel adalah tingginya tingkat komplikasi dan angka rekurensi post procedural.  Terdapat studi yang melaporkan setidaknya angka rekurensi pasca eksisi dapat mencapai 7,2% dalam bentuk klinis pasien mengeluhkan pembengkakan kembali. Selain risiko rekurensi, angka komplikasi pasca operasi telah dilaporkan antara 23-34%.[7,8]

Aspirasi dan Skleroterapi VS Eksisi Spermatokel

Belum ada uji klinis adekuat yang secara langsung meneliti perbandingan efikasi dan keamanan antara aspirasi dan skleroterapi dibandingkan dengan eksisi spermatokel. Selain itu, juga belum tersedia pedoman klinis yang bisa memandu tindakan mana yang lebih disukai pada kondisi klinis tertentu.

Kebanyakan pusat kesehatan dan ahli bedah menganggap eksisi spermatokel sebagai terapi standar, tetapi aspirasi dan skleroterapi juga mulai disukai sebagai terapi minimal invasif dengan angka komplikasi yang jauh lebih rendah dan biaya yang lebih murah. Keterbatasan dari aspirasi, yakni angka keberhasilan yang lebih rendah, dapat diatasi dengan pengulangan prosedur.[1,5-8]

Hal yang perlu menjadi catatan adalah banyaknya agen sklerosan yang menjadi pilihan untuk skleroterapi pada spermatokel, dengan tingkat keberhasilan yang juga variatif. Oleh karena itu, uji klinis lebih lanjut masih diperlukan untuk menentukan agen sklerosan mana yang lebih superior untuk terapi aspirasi pada spermatokel beserta dengan dosis terapi yang aman untuk diberikan.[1,5,6]

Kesimpulan

Spermatokel dapat diterapi menggunakan intervensi berupa eksisi dan aspirasi. Eksisi umumnya dianggap sebagai terapi standar karena tingkat keberhasilan yang tinggi, yakni mencapai 100%. Meski begitu, eksisi memiliki risiko komplikasi lebih tinggi karena merupakan tindakan yang invasif. Di sisi lain, aspirasi dengan atau tanpa skleroterapi merupakan tindakan invasif minimal dengan risiko komplikasi lebih rendah, tetapi tindakan ini juga memiliki angka keberhasilan lebih rendah dan kerap memerlukan pengulangan tindakan. Uji klinis lebih lanjut masih diperlukan untuk membandingkan efikasi, keamanan, dan cost efficiency dari eksisi dengan aspirasi.

Referensi