Red Flag Amenorrhea

Oleh :
dr.Saphira Evani

Red flag atau tanda bahaya amenorrhea dapat membantu dokter membedakan pasien mana yang memerlukan investigasi lanjutan dan mana yang tidak. Dalam praktik klinis, keluhan amenorrhea cukup sering ditemukan. Keluhan amenorrhea bisa disebabkan oleh kondisi fisiologis seperti kehamilan, tetapi juga bisa disebabkan oleh kondisi patologis seperti sindroma Turner.

Tidak mudah untuk dapat langsung menentukan penyebab amenorrhea karena ada banyak sekali diagnosis bandingnya. Hal yang penting dilakukan adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tajam, serta mengenali red flag amenorrhea untuk dapat menentukan waktu rujukan yang tepat bagi pasien.

shutterstock_315668822-min

Sekilas Mengenai Amenorrhea

Amenorrhea adalah kondisi tidak datangnya menstruasi. Amenorrhea dapat dibagi menjadi amenorrhea primer dan amenorrhea sekunder.

Amenorrhea Primer

Amenorrhea primer merupakan suatu kondisi seorang wanita belum pernah mendapatkan menstruasi pertama (menarche) sama sekali pada usia 13 tahun dan tidak ada tanda-tanda perkembangan seksual sekunder, seperti perkembangan payudara. Tidak adanya menstruasi di usia 15 tahun walaupun tanda perkembangan seksual sekunder normal juga dikategorikan sebagai amenorrhea primer. [1-3]

Pada amenorrhea primer, beberapa etiologi yang perlu dicurigai adalah kelainan genetik yang menyebabkan insufisiensi ovarium primer atau kelainan anatomi seperti agenesis uterus, vagina, atau himen imperforata. [5,6]

Amenorrhea Sekunder

Amenorrhea sekunder merupakan suatu kondisi seorang wanita tidak mengalami menstruasi selama 3 bulan berturut-turut atau lebih padahal sebelumnya menstruasi normal. Pada wanita dengan riwayat menstruasi yang tidak teratur, amenorrhea sekunder dicurigai apabila tidak menstruasi selama minimal 6 bulan berturut-turut.[4]

Etiologi amenorrhea sekunder sangat bervariasi, mulai dari keadaan fisiologis seperti kehamilan, menyusui, dan menopause; sindrom ovarium polikistik; gangguan ovulasi kronis, misalnya akibat neoplasma atau gangguan makan; gangguan endokrin; insufisiensi ovarium akibat penyakit autoimun; radioterapi dan kemoterapi; gangguan anatomi; hingga gangguan pada hipotalamus dan pituitari.[5,6]

Penyebab tersering amenorrhea sekunder adalah kehamilan. Oleh karena itu, pada pasien yang datang dengan amenorrhea, kemungkinan hamil perlu dipastikan terlebih dahulu sebelum memikirkan etiologi lain.[2,5]

Red Flag Amenorrhea

Amenorrhea memang bukanlah suatu keadaan yang mengancam nyawa. Namun, deteksi dan penanganan dini akan sangat mempengaruhi prognosis pada beberapa penyebab amenorrhea.[2]

Berikut ini beberapa red flag amenorrhea:

  • Semua kasus amenorrhea primer, termasuk bila pasien tidak kunjung menarche dalam waktu 3 tahun setelah thelarche (perkembangan payudara). Pasien amenorrhea <13 tahun dengan perkembangan payudara yang terlambat juga perlu dievaluasi lebih lanjut
  • Amenorrhea sekunder di usia <40 tahun
  • Muncul gangguan penglihatan atau gangguan penciuman
  • Terjadi maskulinisasi (virilisasi), misalnya pertumbuhan rambut dengan pola seperti pria, peningkatan massa otot, atau perubahan suara menjadi berat
  • Payudara mengeluarkan sekret seperti air susu (galactorrhea)
  • Ditemukan massa abdomen
  • Perubahan berat badan yang drastis[4,7,8]

Evaluasi dan Manajemen Pasien dengan Red Flag Amenorrhea

Evaluasi yang dapat dokter umum lakukan di fasilitas kesehatan primer pada pasien amenorrhea adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hasil anamnesis dan pemeriksaan yang tepat dapat digunakan untuk menentukan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis yang mendasari timbulnya amenorrhea.

Anamnesis

Ada beberapa poin penting yang perlu ditanyakan pada saat melakukan anamnesis pasien amenorrhea, antara lain:

  • Usia pasien dan kapan pertama kali mengalami menstruasi (menarche)
  • Riwayat pubertas yang terlambat di anggota keluarga lain
  • Keluhan yang menyertai seperti gangguan penglihatan, gangguan penciuman, pertumbuhan rambut dengan pola seperti pria, jerawat, tremor, perubahan mood, serta libido
  • Riwayat pengobatan. Obat antipsikotik dapat menyebabkan hiperprolaktinemia yang memicu timbulnya amenorrhea. Riwayat penggunaan kontrasepsi hormonal, antiepilepsi, dan opioid juga dapat menyebabkan amenorrhea
  • Riwayat terapi yang dapat mengganggu fungsi ovarium atau hipotalamus dan pituitari, misalnya radioterapi atau kemoterapi
  • Riwayat penyakit neurosarkoidosis, hemokromatosis, dan penyakit kronis lain yang dapat mempengaruhi jaras hipotalamus-pituitari
  • Faktor-faktor lain, seperti olahraga dengan intensitas berat, diet ketat, penurunan berat badan drastis, serta gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia[5,6]

Pemeriksaan Fisik

Beberapa hal penting yang perlu dilakukan pada pemeriksaan fisik pasien amenorrhea adalah:

  • Pengukuran antropometri meliputi berat badan, tinggi badan, indeks lemak, indeks massa tubuh
  • Memeriksa karakteristik seksual sekunder, termasuk staging Tanner payudara dan pertumbuhan rambut kemaluan
  • Memeriksa tanda hiperandrogenemia, seperti hirsutisme, alopecia, jerawat, acanthosis nigricans
  • Memeriksa ada tidaknya sekret dari payudara
  • Palpasi abdomen
  • Inspeksi vulva dan vagina[2]

Pemeriksaan Penunjang

Wanita dengan amenorrhea primer dengan perkembangan tanda seksual sekunder normal perlu dievaluasi apakah struktur rahim ada atau terbentuk secara normal menggunakan ultrasonografi. Ketiadaan organ rahim yang normal dapat dilanjutkan dengan evaluasi karyotyping. Bila rahim normal, maka perlu dicurigai adanya gangguan pada pengeluaran darah akibat adanya septum vagina atau himen imperforata. [3]

Karena kehamilan adalah penyebab tersering amenorrhea, pemeriksaan penunjang tes kehamilan harus dilakukan dalam evaluasi amenorrhea, terutama amenorrhea sekunder. Tes kehamilan dapat dilakukan dengan metode sederhana, yakni test pack atau pemeriksaan kadar beta hCG (human choriogonadotropin) dalam darah.[4,5]

Pemeriksaan penunjang lain seperti pemeriksaan kadar hormon FSH (follicle stimulating hormone), LH (luteinizing hormone), TSH (thyroid stimulating hormone), prolaktin, testosteron, DHEAS (dehydroepiandrosterone sulfate), SHBG (sex hormone binding globulin), USG transabdominal, histerosalfingografi, ataupun MRI (magnetic resonance imaging) kepala dilakukan pada evaluasi lanjutan dan disesuaikan dengan arah skenario klinis yang didapat dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.[5,6,9]

Manajemen

Etiologi amenorrhea sangat bervariasi dan kompleks, sehingga manajemen pasien bisa melibatkan multidisiplin. Terapi yang diberikan tergantung pada etiologi amenorrhea, bisa berupa terapi penggantian hormon, pemberian medikamentosa (misalnya: klomifen), suplementasi vitamin D dan kalsium, pengaturan diet, hingga psikoterapi.[2,5,6,10]

Pada pasien dengan amenorrhea akibat gangguan fungsional hipotalamus, kembalinya menstruasi dapat terjadi spontan setelah dilakukan modifikasi gaya hidup atau pengelolaan stres dengan baik.[10]

Pasien amenorrhea juga perlu dipantau selama beberapa bulan hingga tahun untuk mengevaluasi status siklus menstruasinya. Bila tidak ditangani, amenorrhea dapat menimbulkan infertilitas dan meningkatkan risiko osteoporosis.[5]

Referensi