Posisi Kepala untuk Penatalaksanaan Stroke

Oleh :
Graciella N T Wahjoepramono

Pengaturan posisi kepala pasien sering dianggap penting dalam penatalaksanaan stroke. Elevasi kepala 30 derajat merupakan praktik yang umum dilakukan oleh para dokter. Namun, penelitian terkini mempertanyakan apakah posisi kepala elevasi ini lebih baik daripada posisi supinasi.

Kedua posisi tersebut memiliki pro dan kontra masing-masing. Posisi supinasi diduga dapat meningkatkan perfusi serebral tetapi juga meningkatkan risiko pneumonia aspirasi. Sementara itu, posisi elevasi dikatakan dapat mengurangi tekanan intrakranial pada pasien dengan iskemia hemisferik luas atau stroke hemoragik. Pedoman klinis belum menyarankan secara pasti posisi yang terbaik untuk pasien stroke akut.[1-4]

Posisi Kepala untuk Penatalaksanaan Stroke-min

Stroke berada di peringkat kedua untuk penyebab kematian global dan peringkat ketiga untuk penyebab disabilitas global. Penyakit ini juga lebih sering ditemukan di negara berpendapatan rendah hingga menengah. Menurut data Kementerian Kesehatan tahun 2011, sekitar 8 dari 1.000 orang di Indonesia mengalami stroke. Oleh karena itu, tata laksana yang tepat untuk stroke perlu diketahui oleh dokter.[1-4]

Studi tentang Pengaruh Posisi Kepala terhadap Pasien Stroke

Beberapa penelitian telah mencoba membuktikan ada tidaknya hubungan antara posisi kepala pasien stroke akut dengan luaran klinis pasien tersebut.[3]

Hargroves et al. menggunakan near infrared spectroscopy (NIRS) untuk mempelajari pengaruh posisi kepala pasien yang mengalami stroke di bagian korteks (arteri serebral tengah) terhadap tingkat oksigenasi serebralnya. Penelitian ini memiliki jumlah sampel kecil (hanya tujuh orang) tetapi menunjukkan bahwa elevasi kepala menyebabkan oksigenasi paling rendah, sedangkan posisi supinasi memiliki oksigenasi tertinggi.[5]

Meta analisis oleh Olavarria et al. mencari hubungan antara posisi kepala dan blood flow velocity serebral pada pasien stroke iskemik akut. Hasil menunjukkan bahwa aliran darah sangat meningkat di sisi otak yang mengalami sumbatan (tidak ada pengaruh di sisi otak yang tidak tersumbat) jika kepala diposisikan pada 0 derajat atau 15 derajat daripada dielevasikan 30 derajat. Namun, kekuatan meta analisis ini juga terbatas karena hanya terdiri dari 3 penelitian dengan kualitas rendah.[6]

Selain itu, kedua penelitian yang sudah dibahas di atas memiliki kekurangan karena membahas parameter pemeriksaan penunjang tetapi tidak mendiskusikan pengaruh posisi kepala terhadap hasil klinis pasien.[5,6]

Studi tentang Pengaruh Posisi Kepala terhadap Luaran Klinis Pasien Stroke

Suatu studi cluster-randomized, crossover trial HeadPoST oleh Anderson et al. yang dipublikasikan tahun 2017 mencari tahu pengaruh posisi kepala terhadap hasil klinis pasien. Penelitian ini mencakup 11.000 pasien dari sembilan negara dan menganalisis berbagai parameter.

Peneliti mengaplikasikan salah satu posisi kepala (supinasi atau elevasi kepala ≥30 derajat) kepada berbagai kelompok stroke akut (iskemik 85% dan hemoragik) yang dipertahankan selama 24 jam. Lebih banyak pasien dapat mempertahankan posisi elevasi kepala daripada posisi supinasi.[3,4,7]

Hasil yang kemudian dinilai adalah disability di hari ke-90 dengan menggunakan skala Rankin dimodifikasi, serta adverse event seperti pneumonia. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan pengaruh klinis yang signifikan antara posisi supinasi atau elevasi kepala. Adverse event yang signifikan dari dua kelompok tersebut juga tidak berbeda signifikan.[3,4,7]

Penelitian ini memiliki keunggulan dalam hal jumlah pasien yang lebih besar dan desain yang mudah diaplikasikan. Selain itu, pengerjaannya ada di sembilan negara yang berbeda. Namun, penelitian ini memiliki kekurangan distribusi yang merata dari lokasi arteri yang tersumbat dan persentase pasien stroke luas yang ada jauh lebih sedikit. Posisi yang diaplikasikan kepada pasien juga sering kali sudah melewati waktu kritis, sehingga waktu modifikasi penumbra kemungkinan sudah terlewat.[3,7]

Hal-hal tersebut dapat memengaruhi hasil penelitian karena perbaikan yang diperlukan pasien kemungkinan tidak signifikan (jumlah kasus stroke yang luas hanya sedikit) atau karena waktu penyembuhan sudah terlewat.[3,7]

Tinjauan Anderson et al. terhadap berbagai meta analisis dan uji klinis yang ada juga menyimpulkan bahwa meskipun posisi kepala tertentu dapat memengaruhi fungsi fisiologis serebral, pengaruh ini belum terbukti dapat berdampak pada luaran klinis pasien. Oleh karena itu, pengaturan posisi kepala tertentu secara rutin kepada semua pasien stroke dianggap belum diperlukan.[8]

Kesimpulan

Posisi kepala pasien stroke akut yang dipertimbangkan saat ini adalah supinasi atau elevasi. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Saat ini, opsi terbaik masih belum diketahui secara pasti karena jumlah uji klinis acak terkontrol yang berskala besar mengenai posisi kepala pasien stroke masih sedikit.

Studi terakhir menyimpulkan bahwa posisi supinasi maupun elevasi tidak menghasilkan perbedaan luaran klinis yang signifikan. Namun, pasien mungkin merasa lebih nyaman berada dalam posisi elevasi kepala. Penelitian lebih lanjut masih diperlukan, terutama untuk menentukan keuntungan dan kerugian kedua posisi tersebut, waktu yang tepat untuk memulai terapi, jangka waktu yang optimal, dan apabila jenis/lokasi/luas stroke memerlukan terapi posisi tertentu.

 

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi