Penilaian Risiko Intoksikasi Paracetamol

Oleh :
Josephine Darmawan

Kemampuan penilaian risiko intoksikasi paracetamol penting dimiliki dokter, terutama yang bekerja di unit gawat darurat karena paracetamol merupakan obat yang tersedia secara bebas dan merupakan salah satu penyebab tersering overdosis baik yang terjadi secara sengaja maupun tidak.

Paracetamol merupakan obat golongan analgesik non narkotik dan antipiretik. Obat ini bekerja melalui tiga mekanisme: blokade aktivasi impuls nyeri, inhibisi pusat suhu pada hipotalamus, dan inhibisi sintesis prostaglandin (PG). Paracetamol merupakan obat yang relatif aman digunakan over the counter, tetapi juga dapat dengan mudah menyebabkan toksisitas jika dikonsumsi dalam jumlah banyak atau melebihi dosis maksimal. Hal ini penting karena paracetamol merupakan obat yang memiliki akses yang sangat bebas dan luas sehingga membuat obat ini sering digunakan secara berlebihan hingga menyebabkan terjadinya intoksikasi obat.

Intoksikasi atau overdosis paracetamol dapat menimbulkan komplikasi yang cukup berat, seperti hepatotoksisitas, ensefalopati, perdarahan, hingga kematian. Intoksikasi paracetamol merupakan salah satu penyebab kematian karena keracunan obat padahal kondisi ini dapat dengan mudah ditangani. Tingginya mortalitas akibat intoksikasi paracetamol ini disebabkan karena manifestasi klinis yang sering kali berbeda-beda atau asimtomatik.

Depositphotos_3688968_m-2015_compressed

 

Dokter perlu untuk menyadari bahwa tidak semua pasien yang mengonsumsi paracetamol secara berlebih akan mengalami intoksikasi. Untuk itu, penilaian risiko intoksikasi paracetamol menjadi penting untuk dilakukan untuk menentukan apakah pasien memiliki risiko mengalami intoksikasi atau tidak.[1-4]

Mekanisme Intoksikasi Paracetamol

Dalam keadaan normal, metabolisme paracetamol akan menghasilkan 5% NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone imine) dan diekskresikan dalam urin. Pada keadaan overdosis, produksi NAPQI berlebih dan terakumulasi dalam hepar, sehingga menyebabkan toksisitas. Efek toksik ini dapat dicegah atau diatasi dengan pemberian antidot N-acetylcysteine (NAC).[2,4,5]

Penilaian Klinis Intoksikasi Paracetamol

Kunci dalam menilai risiko intoksikasi paracetamol adalah anamnesis yang baik.. Keputusan klinis dokter masih merupakan kunci utama dalam menentukan apakah seseorang mengalami intoksikasi terhadap paracetamol atau tidak.

Seperti kasus-kasus intoksikasi pada umumnya, terdapat 5 hal yang harus digali dalam penilaian risiko/risk assessment, yaitu jenis obat/sediaan, dosis obat, perkiraan waktu, komorbiditas dan faktor risiko, serta manifestasi klinis. Pada intoksikasi parasetamol, 2 poin pertama perlu mendapat prioritas karena sangat berguna untuk menentukan apakah dosis yang dikonsumsi mencapai dosis toksik atau tidak. Manifestasi klinis merupakan poin dengan prioritas terendah karena menunggu munculnya manifestasi klinis akan berakibat pada keterlambatan pengobatan. Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing poin penilaian risiko intoksikasi paracetamol:

Jenis Sediaan atau Obat yang Dikonsumsi

Bentuk sediaan obat yang dikonsumsi, misalnya tablet atau sirup, perlu ditanyakan. Hal ini merupakan salah satu poin penting untuk konfirmasi ada atau tidaknya riwayat konsumsi paracetamol.[1,2,6] Pasien pada umumnya akan dapat menyampaikan secara mendetail riwayat sediaan obat yang dikonsumsi. Pada pasien yang tidak kooperatif atau pasien anak-anak, riwayat juga dapat ditanyakan dari keluarga atau teman yang mengantar.

Jika tidak ditemukan riwayat atau bukti konsumsi paracetamol, dapat dicari kemungkinan intoksikasi zat atau penyebab organik lainnya.[1,2,6] Adanya obat lain yang dikonsumsi bersamaan juga perlu dipertanyakan karena dapat berpengaruh pada fungsi ekskresi dan absorpsi paracetamol.[2,6]

Dosis Obat yang Dikonsumsi

Jumlah obat yang dikonsumsi oleh pasien merupakan hal yang penting untuk ditanyakan. Perlu diketahui juga sediaan paracetamol yang dikonsumsi, misalnya tablet 500 gram atau sirup 125 mg/ml, dan sebagainya. Setelah mengetahui jumlah dan sediaan obat yang dikonsumsi, dapat dihitung total obat yang dikonsumsi per kilogram berat badan pasien.[6-9]

Dosis maksimal paracetamol adalah sekitar 75 mg/kg atau 4 gram dalam 24 jam. Namun demikian, konsumsi paracetamol yang melebihi dosis maksimal belum tentu menyebabkan efek toksik. Rata-rata toksisitas terjadi apabila konsumsi paracetamol melebihi 150 mg/kg per 24 jam baik pada pasien anak maupun dewasa.[2,4,6-9]

Pada konsumsi berulang paracetamol, hitung dosis per 24 jam konsumsi. Misal, pasien mengkonsumsi paracetamol sebanyak 4 gram pada pukul 4 pagi, 4 gram pada pukul 12 siang, dan 4 gram pada pukul 6 sore lalu datang ke IGD pada pukul 8 malam, maka dianggap sebagai konsumsi 12 gram paracetamol 16 jam sebelum kedatangan.

Sama dengan sediaan obat, riwayat dosis obat yang diminum juga umumnya akan didapatkan secara mendetail dari anamnesis pasien, atau keluarga/teman yang mengantar.

Apabila diketahui dengan jelas bahwa jumlah paracetamol yang dikonsumsi oleh pasien kurang dari 150 mg/kg maka pasien dapat dipastikan tidak mengalami intoksikasi. Pasien dapat dipulangkan atau dikonsultasikan ke dokter spesialis kesehatan jiwa.[6-9]

Perkiraan Waktu Konsumsi Obat

Waktu dan cara pasien mengonsumsi paracetamol juga merupakan informasi yang penting. Perlu diketahui secara pasti kapan pasien mengonsumsi paracetamol hingga sampai di rumah sakit serta cara konsumsi obatnya, baik satu dosis dalam jumlah besar atau akumulatif dalam beberapa jam. Hal ini perlu diketahui dengan jelas karena dapat menentukan fase intoksikasi, jenis pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan, dan terapi yang diperlukan.[2,6-9] Pasien yang datang setelah 24 jam pasca konsumsi paracetamol dengan dosis toksik memiliki risiko hepatotoksisitas dan nefrotoksisitas yang lebih tinggi, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.[6-9]

Komorbiditas dan Faktor Risiko

Faktor-faktor komorbiditas harus digali pada pasien karena dapat memperberat toksisitas, misalnya adanya riwayat penyakit ginjal atau liver. Berat badan dan status nutrisi pasien juga berpengaruh, Adanya riwayat depresi atau keinginan untuk melukai diri sendiri juga dapat meningkatkan kemungkinan konsumsi obat secara berlebihan.[1,3,6]

Selain komorbiditas, dokter juga perlu menggali mengenai faktor risiko terjadinya intoksikasi paracetamol. Faktor risiko yang perlu digali adalah usia (usia tua meningkatkan risiko terjadinya intoksikasi), penyakit ginjal, penyakit hepar, puasa lama, gangguan makan, alkoholisme, HIV/AIDS, merokok, fibrosis kistik, defisiensi glutation, sindroma Gilbert, sindroma Crigler-Najjar, dan pasien dalam pengobatan isoniazid, rifampisin, phenytoin, fenobarbital, barbiturat, zidovudin, kotrimoksazol, dan carbamazepine.[1,2]

Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis pada pasien dengan intoksikasi paracetamol sering kali asimtomatik atau timbul gejala gastrointestinal ringan saja. Hal ini membuat penegakan diagnosis toksisitas paracetamol cukup sulit dilakukan. Umumnya, gejala muncul pada fase lanjut sehingga akan terjadi keterlambatan pengobatan. Tanda gejala yang perlu dicurigai adalah hipotensi, takikardia, sesak napas, hipoglikemia, trombositopenia, ensefalopati (dalam keadaan berat), mual, muntah, nyeri abdomen kanan atas, diaforesis, malaise, atau oliguria.[1-3,6-9]

Hal paling penting untuk dilakukan pada penilaian risiko intoksikasi paracetamol adalah menentukan apakah konsumsi paracetamol mencapai dosis toksik atau tidak berdasarkan anamnesis. Jika tidak, maka dapat disimpulkan bahwa pasien tidak mengalami intoksikasi paracetamol dan dapat dipulangkan tanpa perlu pemeriksaan atau penanganan lebih lanjut.

Pasien dengan Risiko Intoksikasi Paracetamol

Bila terdapat kecurigaan kuat terhadap intoksikasi paracetamol, harus dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Skrining laboratorium dan pemeriksaan kadar paracetamol serum untuk penggunaan nomogram Rumack-Matthew dapat dilakukan.[1,2,6,8,10] Perlu diingat bahwa menggantungkan diagnosis pada manifestasi klinis dan hasil pemeriksaan penunjang dapat menyebabkan keterlambatan pengobatan sehingga jika waktu konsumsi obat sudah melebihi 8 jam, terapi NAC langsung diberikan secara empiris tanpa menunggu hasil pemeriksaan kadar paracetamol.[1,2,6,8,10]

Skrining Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan setelah penilaian risiko adalah pemeriksaan serum paracetamol. Pemeriksaan ini dilakukan paling cepat 4 jam setelah konsumsi paracetamol. Hasil pemeriksaan ini kemudian diplot pada nomogram Rumack-Matthew. Selain pemeriksaan serum paracetamol, tes lain yang penting dilakukan adalah tes fungsi hati (SGOT, SGPT, PT, INR, bilirubin) dan fungsi ginjal (kreatinin dan urea). Pada 24 jam pertama intoksikasi paracetamol, akan ditemukan peningkatan SGOT dan SGPT subklinis. Dalam 12-72 jam setelah konsumsi, terdapat peningkatan SGOT dan SGPT serta perburukan fungsi renal. Selain itu, tes fungsi hati juga perlu dilakukan pada kondisi intoksikasi untuk melihat ada tidaknya hepatotoksisitas akibat intoksikasi parasetamol.

Nomogram Rumack-Matthew

Nomogram Rumack-Matthew membantu dokter dalam menilai risiko intoksikasi paracetamol dengan membandingkan konsentrasi paracetamol dalam darah dengan waktu pasca konsumsi. Nomogram ini merupakan metode penilaian risiko intoksikasi paracetamol yang sudah digunakan sejak tahun 1975 dan penggunaanya tidak berubah sampai saat ini. Pengukuran dilakukan dengan melakukan plotting pada grafik di jam ke 0-4 pasca konsumsi paracetamol, 4-24 jam paska konsumsi paracetamol, dan 24 jam setelah konsumsi paracetamol.[2,6,8,10]

Nomogram ini dapat memprediksi kemungkinan terjadinya toksisitas mulai pada 4-24 jam setelah konsumsi obat. Pengukuran kadar paracetamol pada 0-4 jam tidak dapat menilai adanya intoksikasi, tetapi dapat membantu menyingkirkan diagnosis intoksikasi paracetamol. Studi kohort pada 83 pasien menunjukkan bahwa pada jam ke-1 hingga ke-4, kadar paracetamol <100 mcg/mL memiliki nilai prediksi negatif 98.8% (95% CI = 93.5%-99.8%). Jika kadar paracetamol serum berada di bawah garis probable, dapat dipastikan bahwa tidak terjadi toksisitas paracetamol.[3,10-12]

Nomogram Rumack-Matthew paling signifikan bila dilakukan pengukuran pada waktu 4-24 jam. Apabila didapatkan hasil paracetamol serum di atas garis Rumack-Matthew, maka dapat dipastikan pasien mengalami intoksikasi paracetamol. Sekitar 60% pasien dengan hasil pengukuran di atas garis tersebut mengalami hepatotoksisitas. Selain membantu penilaian risiko, nomogram Rumack-Mattew juga dapat membantu menentukan jalur terapi. Terapi antidotum dengan NAC harus diberikan apabila pada 4-24 jam kadar paracetamol pasien berada di atas garis Rumack-Matthew.[2,6,10,11]

Contoh Kasus

1. Pasien laki-laki 25 tahun datang ke IGD karena overdosis paracetamol. Dari anamnesis didapatkan, 2 jam sebelum datang ke IGD pasien mengonsumsi paracetamol sebanyak 30 tablet dengan dosis per tablet 500 mg. Berat badan pasien 70 kg. Dari data tersebut, didapatkan bahwa paracetamol yang dikonsumsi adalah sebanyak 30 x 500 = 15.000 mg. Berdasarkan berat pasien, maka dosis paracetamol yang dikonsumsi adalah 15.000/70 = 214,29 mg/kg. Konsumsi ini sudah melebihi dosis toksik sebesar 150 mg/kg.

Pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki fasilitas pemeriksaan serum paracetamol atau membutuhkan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil pemeriksaan (lebih dari 8 jam dari waktu awal konsumsi paracetamol), terapi n-acetylcysteine dapat langsung diberikan secara empiris pada pasien.

Pada fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas pemeriksaan serum paracetamol yang dapat dilakukan dalam waktu singkat, lakukan pemeriksaan serum paracetamol 2 jam kemudian (4 jam setelah konsumsi) dan plot hasil pada nomogram Rumack-Matthew untuk menentukan apakah pasien memerlukan terapi berupa pemberian n-acetylcysteine atau tidak.

2. Pasien anak-anak berusia 3 tahun dibawa oleh ibunya ke IGD setelah mengkonsumsi paracetamol sirup satu botol penuh yang sebelumnya telah digunakan sebanyak 1-2 kali. Ibu pasien tidak ingat dosis paracetamol sirup yang diminum oleh anak. Untuk memperkirakan skenario terburuknya, konsumsi 1 botol penuh ukuran 60 mL paracetamol dengan dosis paracetamol 160 mg/5mL hanya memiliki kandungan paracetamol sebanyak 1920 mg (dari perhitungan 60 x 160 / 5 = 1920 mg). Misal berat badan anak 15 kg maka dosis paracetamol yang dikonsumsi tersebut adalah 128 mg/kg ( dari perhitungan dosis 1.920/15 = 128 mg/kg). Dosis ini masih di bawah dosis toksik paracetamol pada anak sebesar 150 mg/kg. Tenangkan ibu pasien bahwa pasien tidak mengalami intoksikasi paracetamol dan boleh pulang ke rumah. Dokter juga perlu mengedukasi orang tua pasien untuk memperhatikan penyimpanan obat supaya tidak ditaruh di lokasi yang mudah terlihat dan terjangkau oleh anak.

Risiko Hepatotoksisitas

Pasien dengan intoksikasi paracetamol juga memiliki risiko untuk mengalami hepatotoksisitas. Nomogram Rumack-Matthew tidak dapat digunakan sebagai tolak ukur untuk menentukan risiko hepatotoksisitas. Penilaian hepatotoksisitas dapat dilakukan dengan kriteria King’s College Hospital.

Pasien hepatotoksik yang membutuhkan transplantasi hati adalah pasien dengan salah satu kondisi berikut:

• asidosis metabolik persisten dengan pH <7,3 setelah resusitasi

• asidosis metabolik dengan pH >7,3 yang disertai PT memanjang (INR >6.5), kreatinin >3,3 mg/dL, dan ensefalopati derajat 3−4

Apabila pasien memenuhi kriteria tersebut, maka dapat dipastikan pasien mengalami hepatotoksisitas dan memerlukan transplantasi liver.[1,3,11,14]

Kesimpulan

Intoksikasi paracetamol sering kali sulit didiagnosa karena gejalanya yang tidak spesifik atau sering kali asimtomatik. Karena itu, dokter perlu mengerti cara melakukan penilaian risiko parasetamol dengan benar. Penilaian risiko mencakup 5 hal: jenis obat dan sediaan yang dikonsumsi, dosis, perkiraan waktu konsumsi obat, komorbiditas dan faktor risiko, serta manifestasi klinis. Walau demikian, pada intoksikasi paracetamol, manifestasi klinis tidak berperan karena saat manifestasi klinis muncul intoksikasi sudah berada pada fase lanjut.

Apabila hasil penilaian risiko menunjukkan pasien memiliki risiko intoksikasi paracetamol, lanjutkan dengan pemeriksaan kadar paracetamol untuk diplot pada nomogram Rumack-Matthew untuk menentukan apakah pasien memerlukan terapi n-acetylcysteine atau tidak. Pada pasien yang tidak memiliki risiko intoksikasi, pasien tidak memerlukan pemeriksaan dan tata laksana lanjutan. Walau demikian, perlu dilakukan edukasi mengenai penyimpanan obat di tempat yang aman pada orang tua pasien anak dan pertimbangan untuk merujuk ke psikiater sesuai kondisi pasien pada pasien dewasa.

 

Referensi