Memahami Crisis Standard of Care pada Pandemi COVID-19

Oleh :
dr. Nurul Falah

Memahami Crisis Standard of Care (CSC) atau standar pelayanan pada masa krisis sangat diperlukan dalam situasi bencana seperti COVID-19. Sistem kesehatan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menghadapi berbagai tantangan dalam memenuhi kebutuhan akan peningkatan pelayan kesehatan di masa pandemi COVID-19. Hal ini juga diperburuk oleh rasa takut, stigma, misinformasi, dan pembatasan sosial yang mengganggu sistem pelayanan untuk semua penyakit akut maupun kronis.[1,2]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Akibatnya, terjadi peningkatan angka kematian baik secara langsung maupun tidak langsung. Angka kematian langsung diakibatkan oleh infeksi COVID-19, sementara angka kematian tidak langsung berasal dari penyakit lain yang sebenarnya masih dapat dicegah dan diobati.[3,4]

Oleh karena itu, suatu pedoman CSC harus segera dibuat untuk menjadi acuan bagi petugas kesehatan dan stakeholder dalam penanganan krisis kesehatan akibat pandemi COVID-19. Diharapkan nantinya layanan kesehatan tetap dapat diberikan secara maksimal dan memadai.[1,5]

shutterstock_1714302187-min

Implementasi Crisis Standard of Care (CSC) pada Situasi Bencana

Standar pelayanan dalam masa krisis (CSC) dapat diimplementasikan terhadap seluruh kejadian bencana (termasuk pandemi COVID-19). Bencana yang diakibatkan oleh alam maupun manusia. Semua kejadian tersebut akan memicu terjadinya krisis kesehatan seperti lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban meninggal, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular, stress atau gangguan kejadian.[5,6]

Permasalahan yang dihadapi dalam implementasi CSC akibat bencana, antara lain sebagai berikut:

  • Sistem informasi yang belum berjalan dengan baik
  • Mekanisme koordinasi belum berfungsi dengan baik
  • Mobilisasi bantuan dari luar lokasi bencana masih terhambat akibat masalah transportasi
  • Sistem pembiayaan belum mendukung
  • Sistem kewaspadaan dini belum berjalan dengan baik
  • Keterbatasan logistik[5,6]

Mengikuti terjadinya bencana alam di Indonesia, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) bersama dengan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menerbitkan dokumen petunjuk yang membantu petugas kesehatan di Indonesia untuk merencanakan dan mengimplementasikan standar pelayanan kesehatan dalam situasi krisis kesehatan akibat bencana, yang mengacu pada standar internasional.[6]

Pengertian Crisis Standard of Care

Standar pelayanan dalam krisis (CSC) didefinisikan sebagai perubahan substansial dalam standar dan tingkat pelayanan kesehatan  yang dipicu oleh bencana dan/atau berpotensi bencana yang memicu krisis kesehatan. Di Indonesia, berdasarkan UU No. 24 tahun 2007, yang berwenang menetapkan status darurat bencana adalah pemerintah (presiden/gubernur/bupati/walikota) sesuai dengan skala  bencana.[1,6]

Deklarasi resmi pemerintah untuk mengimplementasikan CSC pada situasi krisis akan menjamin kekuatan serta perlindungan hukum terutama bagi penyedia layanan kesehatan dalam tugasnya untuk mengalokasikan serta memanfaatkan sumber daya medis dalam memberikan alternatif pelayanan pelayanan kesehatan yang terbaik.[1,6]

Agar seluruh individu mendapatkan pelayanan yang terbaik, CSC harus mengikuti beberapa komponen utama yaitu:

  • Adil (fairness): standar pelayanan yang adil bagi seluruh masyarakat, sesuai dengan bukti ilmiah, dan berespons terhadap kebutuhan individu secara spesifik
  • Proses yang adil (equitable processes): prosedur dan proses pengambilan keputusan standar pelayanan harus bersifat transparan, konsisten, dapat dipertanggungjawabkan, dan sesuai
  • Berkolaborasi antara pemegang keputusan, komunitas, hingga unit terkecil masyarakat
  • Dalam batasan hukum: memberikan kuasa yang sesuai sebagai respons kegawatdaruratan[1]

Persiapan Implementasi Crisis Standard of Care pada Pandemi COVID-19

Persiapan implementasi CSC harus diikuti dengan persiapan. Beberapa langkah persiapan dalam memulai implementasi CSC antara lain sebagai berikut:

  • Bentuk tim pengelola kejadian COVID-19 berdasarkan arahan pemimpin untuk memastikan prinsip kerja yang beretika dalam implementasi CSC
  • Tinjau aturan hukum yang berlaku untuk implementasi CSC untuk memastikan adanya perlindungan hukum untuk semua tindakan
  • Menciptakan panduan untuk penyediaan pelayanan medis pada situasi krisis kesehatan
  • Berkoordinasi dengan pemangku kebijakan publik
  • Membentuk komite penasihat bencana medis, dimana komite ini yang akan memberikan masukan pada pemerintah terkait situasi krisis[1,5]

Ketika CSC disetujui untuk diimplementasikan, tenaga kesehatan harus tetap menjunjung tinggi norma etika. Situasi bencana mungkin akan membatasi hak otonomi pasien dan praktisi terkait alokasi sumber daya pelayanan kesehatan, meski demikian hal tersebut tidak serta merta mengizinkan tindakan yang melanggar norma etika.[1,5]

Standar Pelayanan dalam Krisis Kesehatan akibat Pandemi COVID-19

Implementasi CSC pada pandemi COVID-19 ditujukan untuk mengurangi dampak kesehatan akibat COVID-19. Kemampuan suatu sistem dalam mempertahankan layanan-layanan kesehatan akan bergantung pada beban dasar penyakitnya, skenario penularan COVID-19 (yang diklasifikasikan menjadi tidak ada kasus, sporadis, klaster, atau penularan masyarakat) serta kapasitas sistem kesehatan tersebut seiring berkembangnya pandemi.[2,3]

Penguatan pelayanan kesehatan primer dalam rangka realisasi cakupan kesehatan menyeluruh memberikan pondasi penting untuk beradaptasi ke dalam konteks pandemi. Sistem kesehatan yang ditata dan dipersiapkan dengan baik akan mampu mempertahankan akses terhadap layanan-layanan kesehatan esensial berkualitas yang merata selama berlangsungnya kedaruratan, sehingga dapat membatasi kematian langsung dan menghindarkan kematian tidak langsung.[2,7]

Implementasi CSC pada penanggulangan COVID-19 biasanya dimulai dengan penyusunan tim pengelola kejadian. Saat layanan rutin sudah terganggu, penanggung jawab akan mengkoordinasikan aktivasi protokol-protokol untuk penetapan ulang prioritas serta adaptasi layanan secara bertahap.[1,3]

Implementasi harus dikoordinasikan dengan otoritas-otoritas terkait di tingkat nasional dan daerah dan dengan penyedia layanan kesehatan sektor publik dan swasta. Saat penularan COVID-19 sudah mulai terkendali dan kebutuhan akan layanan terkait wabah ini menurun, penanggung jawab akan mengkoordinasikan pengembalian layanan secara bertahap dan aman serta strategi-strategi untuk menangani menumpuknya kebutuhan akan pelayanan kesehatan yang belum terpenuhi. Implementasi serta outcome dari CSC perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa CSC mencapai tujuan utamanya.[1,8]

Tindakan Utama dalam Implementasi Crisis Standard of Care

Beberapa tindakan utama yang perlu dilaksanakan dalam upaya implementasi CSC  pada pandemi COVID-19, antara lain sebagai berikut:

  • Tunjuk penanggung jawab layanan kesehatan esensial sebagai anggota tim pengelola kejadian COVID-19
  • Adakan jalur koordinasi dan komunikasi untuk tim pengelola kejadian COVID-19, pengelola program layanan kesehatan esensial, dan penyedia layanan sektor publik dan swasta
  • Adakan (atau sesuaikan) mekanisme dan protokol yang mengatur pemberian layanan kesehatan esensial dengan dikoordinasikan dengan protokol-protokol layanan kesehatan, termasuk untuk penguatan langkah- langkah pencegahan infeksi
  • Tetapkan pemicu atau ambang batas untuk dimulainya realokasi kapasitas layanan secara bertahap, dari layanan komprehensif rutin ke layanan esensial, serta untuk perluasan kembali serta transformasi layanan seiring berkembangnya pandemi
  • Tetapkan mekanisme-mekanisme untuk memantau pemberian layanan kesehatan esensial yang sedang berlangsung dan pertimbangkan data dalam pengambilan keputusan tim pengelola kejadian
  • Adakan atau pertahankan mekanisme koordinasi antara otoritas keuangan dan kesehatan untuk memastikan ketersediaan dana untuk layanan kesehatan esensial dan untuk memfasilitasi respons adaptasi, pengembalian, dan transformasi layanan[2,3]

Membuat Prioritas Layanan Kesehatan Esensial

Untuk menekan angka kesakitan dan kematian tidak langsung dibutuhkan untuk membuat prioritas layanan kesehatan esensial. Layanan rutin dan efektif yang bisa dihentikan atau dipindahkan ke wilayah lain juga perlu diidentifikasi.[2]

Kategori-kategori layanan dengan prioritas tinggi meliputi:

  • Layanan pencegahan dan pengobatan esensial untuk penyakit menular, termasuk imunisasi
  • Layanan terkait kesehatan reproduksi, termasuk layanan selama masa kehamilan dan persalinan
  • Layanan inti untuk kelompok-kelompok masyarakat yang rentan, seperti bayi dan lansia
  • Penyediaan obat-obatan, persediaan, dan dukungan dari tenaga kesehatan untuk Tatalaksana yang masih berlangsung untuk penyakit-penyakit kronis, seperti gangguan kesehatan jiwa
  • Pengobatan kritis berbasis fasilitas
  • Tatalaksana gangguan kesehatan darurat dan presentasi akut umum yang memerlukan intervensi sensitif waktu, dan
  • Layanan-layanan pendukung, seperti pencitraan diagnostik, layanan laboratorium, dan layanan bank darah[2,3]

Pastikan langkah-langkah pengurangan risiko dan mitigasi untuk penularan COVID-19 tetap dilanjutkan di semua jenis layanan kesehatan. Nantinya, saat beban kasus COVID-19 dan tekanan terkait COVID-19 pada sistem kesehatan sudah mulai menurun, berbagai layanan yang sebelumnya dihentikan sementara perlu dijalankan kembali.[2,3]

Memanfaatkan Tempat dan Platform Pemberian Layanan Kesehatan

Pada situasi pandemi, idealnya layanan berbasis fasilitas diberikan dari jarak jauh atau suatu pelayanan kesehatan primer yang biasanya diberikan dalam beberapa kali kunjungan sebaiknya diintegrasikan menjadi satu, jika memungkinkan.[2,3]

Beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk optimalisasi tempat dan platform pemberian layanan kesehatan, antara lain sebagai berikut:

  • Buat pemetaan fungsional fasilitas-fasilitas pelayanan kesehatan untuk perawatan akut, kronis, dan jangka panjang, baik yang berada di dalam sistem publik, swasta (komersial dan nirlaba), maupun militer
  • Pastikan layanan perawatan akut tersedia 24 jam di unit gawat darurat rumah sakit tingkat pertama (atau yang setara) yang ditunjuk, dengan mempertimbangkan fasilitas-fasilitas darurat dan pastikan masyarakat mengetahui pengalihan ini
  • Orientasikan ulang jalur-jalur rujukan dan pastikan perubahan-perubahan tersebut dikomunikasikan kepada penyedia layanan dan masyarakat
  • Koordinasikan dukungan untuk pemberian layanan kesehatan primer, dan sesuaikan protokol rawat inap dan pemulangan dari rumah sakit dengan aman untuk membatasi lama masa rawat inap
  • Gunakan teknologi yang ada dan peraturan terkait untuk memfasilitasi pemindahan konsultasi klinis ke platform digital dan untuk mendukung intervensi perawatan mandiri jika sesuai[2,3]

Menetapkan Alur Pasien yang Aman dan Efektif

Untuk menjamin layanan kesehatan dapat diberikan dengan aman, tentunya harus segera dibuat alur pasien yang meliputi skrining, triase, dan rujukan tersasar di semua pelayanan garis depan seperti puskesmas, klinik, instalasi gawat darurat rumah sakit, dan pusat pelayanan kesehatan lainnya.[2,3]

Untuk mendukung physical distancing¸ ciptakan situasi ruang yang lapang dengan menata ulang ruang tunggu serta membatasi jumlah pengunjung dan jam kunjungan. Pastikan alur pasien dan staf bersifat satu arah. Tetapkan kriteria dan protokol jalur rujukan dan rujukan balik yang jelas di dalam sistem kesehatan pemerintah dan untuk penyedia layanan kesehatan pemerintah maupun swasta.[2,3]

Optimalisasi Kapasitas Tenaga Kesehatan

Kurangnya jumlah tenaga kesehatan, penempatan yang tidak merata, dan ketidaksesuaian antara kebutuhan kesehatan di masyarakat dan kompetensi tenaga kesehatan yang ada akan menghambat implementasi CSC.[2,3]

Tindakan yang perlu dilakukan agar kapasitas tenaga kesehatan dalam implementasi CSC lebih optimal, antara lain sebagai berikut:

  • Dukung dinas-dinas kesehatan daerah (kabupaten/kota) untuk menjalankan perencanaan tenaga kesehatan, termasuk untuk menangani kondisi-kondisi lonjakan
  • Petakan kebutuhan akan tenaga kesehatan (termasuk kebutuhan akan tugas-tugas kritis dan kebutuhan jam kerja), dan sesuaikan daftar tugas dengan perencanaan berbagai skenario penularan COVID-19
  • Lakukan penilaian cepat yang diperlukan atas ketersediaan, kapasitas, dan penempatan tenaga kesehatan
  • Koordinasikan pembiayaan tambahan guna memastikan gaji, cuti sakit, lembur, dan insentif atau tunjangan pekerjaan dibayar tepat waktu, termasuk bagi tenaga sementara
  • Mulai jalankan mekanisme pelatihan cepat dan alat bantu pekerjaan untuk kapasitas-kapasitas utama, seperti skrining, triase, tatalaksana klinis, pengelolaan rantai pasokan, penggunaan alat-alat digital, dan langkah-langkah PPI yang esensial
  • Maksimalkan langkah-langkah kesehatan dan keselamatan kerja staf yang disebutkan di atas, termasuk memberikan pelayanan kesehatan jiwa dan dukungan psikososial dan mempromosikan strategi-strategi perawatan diri
  • Kaji secara cepat kebijakan pembagian tugas; proses dipercepat sertifikasi, perizinan, dan pemberian santunan bagi tenaga kesehatan; dan kemitraan pemerintah-swasta untuk perluasan tenaga kesehatan
  • Memanfaatkan kalkulator lonjakan COVID-19 WHO untuk memberikan masukan bagi perencanaan dan persiapkan kekurangan tenaga kesehatan yang mungkin ada di titik-titik kritis selama mandemi, dengan menggunakan masukan-masukan dan trajektori-trajektori pernegara[2,3]

Memastikan Ketersediaan Obat-Obatan, Peralatan, dan Suplai Esensial

Ketersediaan suplai akan naik-turun selama terjadinya pandemi dan risiko ketidakcukupan meningkat, karena itu perlu dipastikan agar obat-obatan, peralatan dan suplai esensial mencukupi.[2,3]

Beberapa tindakan yang perlu dilakukan untuk menjamin ketersediaan obat-obatan, peralatan, dan suplai esensial, antara lain sebagai berikut:

  • Buat peta kebutuhan sumber daya layanan esensial seperti obat-obatan, alat-alat diagnostik, alat-alat kesehatan, dan suplai lainnya
  • Kaji batasan-batasan rantai pasokan dan petakan pusat-pusat distribusi besar baik milik pemerintah maupun swasta (atau gunakan pemetaan yang sudah ada) dan tunjuk penanggung jawab (focal point) untuk memantau dan melaporkan ketersediaan suplai kesehatan di lokasi-lokasi kunci
  • Pastikan titik-titik distribusi besar seperti rumah sakit dan toko-toko di kabupaten/kota menyampaikan laporan mingguan tentang produk-produk kritis yang dapat berisiko habis atau mengalami masalah lain (seperti kedaluwarsa, kelebihan stok yang dapat dipindahkan)
  • Penetapan barang-barang yang pelaporannya akan diprioritaskan harus didefinisikan sesuai konteks lokal dan dapat mencakup: Obat-obatan atau suplai-suplai esensial yang kosong atau berisiko tinggi kosong, misalnya obat atau suplai yang stoknya dilaporkan berjumlah sedikit oleh tenaga kesehatan atau dinilai tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan saat terjadi lonjakan yang diperkirakan; Produk-produk yang kelebihan stok yang dapat dipindahkan ke fasilitas-fasilitas lain yang masih membutuhkan
  • Identifikasi penanggung jawab-penanggung jawab badan-badan nasional, seperti badan regulasi, pengadaan, dan pabean untuk menyusun solusi bagi batasan-batasan pasokan. Para penanggung jawab nasional harus berkolaborasi untuk menyusun panduan mengenai: Komunikasi terpusat dengan pemasok, pembuat, dan badan-badan lain tentang perubahan kebutuhan; Penyampaian informasi proaktif kepada fasilitas tentang masalah-masalah rantai pasokan dan solusinya serta narahubung yang dapat dihubungi untuk menyampaikan masalah; Pertimbangan sumber-sumber pasokan alternatif untuk penggunaan dan distribusi khusus; Fleksibilitas-fleksibilitas lain seperti pengesampingan peraturan tentang persyaratan bahasa di label informasi dan pengesampingan pabean, seperti percepatan (fast tracking) obat-obatan anestesi dan produk-produk berbahaya (controlled product); dan Pelaporan kekurangan kepada kantor-kantor WHO
  • Percepat alur informasi dan pesanan logistik dengan cara mempertimbangkan untuk mengadaptasi sementara proses-proses pengadaan dan pengelolaan logistik jika memungkinkan
  • Pastikan staf yang memiliki pengetahuan yang sesuai tentang mengelola dan menggunakan produk serta mengidentifikasi sumber-sumber pasokan lokal dilibatkan dalam proses-proses, terutama dalam menentukan sumber pengadaan obat-obatan, APD, oksigen, produk-produk rantai dingin, dan alat-alat diagnostik. Untuk suplai seperti oksigen, staf yang memiliki pengetahuan dalam hal ini harus memberikan nasihat tentang semua suplai yang diperlukan untuk memberikan oksigen kepada pasien[2,3]

Selain faktor-faktor yang telah dijabarkan di atas, yang perlu dipastikan dalam implementasi CSC pada pandemi COVID-19, adalah:

  • Danai upaya kesehatan masyarakat dan hapuskan hambatan keuangan yang menghalangi akses
  • Perkuat strategi komunikasi untuk mendukung pemanfaatan tepat layanan esensial
  • Perkuat pemantauan layanan-layanan kesehatan esensial[2,3]

Implikasi Crisis Standard of Care bagi Tenaga Medis

Implementasi CSC pada  pandemi COVID-19 memiliki beberapa implikasi bagi tenaga medis, antara lain sebagai berikut:

  • Membantu tenaga kesehatan dalam memahami penanganan krisis kesehatan akibat COVID-19
  • Membantu tenaga kesehatan untuk bisa beradaptasi pada setiap perubahan situasi klinis
  • Membantu melindungi tenaga kesehatan dari tuntutan hukum malpraktik
  • Menciptakan suasana kerja yang kondusif bagi tenaga kesehatan
  • Memberikan rasa aman bagi tenaga kesehatan yang bertugas
  • Memastikan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan yang bertugas[1,3]

Kesimpulan

Sistem kesehatan di seluruh dunia, termasuk Indonesia, menghadapi tantangan dalam bentuk meningkatnya kebutuhan akan pelayanan kesehatan terutama pada pasien COVID-19. Hal ini membuat semua negara harus beradaptasi untuk setiap perubahan yang terjadi. Untuk menjamin pelayanan kesehatan tetap optimal pada pandemi COVID-19, perlu segera dibuat suatu pedoman Crisis Standard of Care (CSC) yang tentunya harus disetujui terlebih dahulu oleh presiden sebagai pemangku kebijakan.

Implementasi CSC pada penanggulangan COVID-19 biasanya dimulai dengan penyusunan tim pengelola kejadian. Semua tindakan tetap harus menjunjung tinggi norma etika. Saat layanan rutin sudah terganggu, penanggung jawab akan mengkoordinasikan aktivasi protokol-protokol untuk penetapan ulang prioritas serta adaptasi layanan secara bertahap.

Implementasi serta outcome dari CSC perlu dievaluasi secara berkala untuk memastikan bahwa CSC mencapai tujuan utamanya. Seiring perkembangan pandemi, siklus-siklus ini kemungkinan akan berulang, dan adaptasi layanan perlu mulai dijalankan, dihentikan, dan dijalankan kembali.

Referensi