Kapan Terapi Allopurinol Bisa Dihentikan?

Oleh :
dr. Gilang Pradipta Permana

Terdapat banyak keraguan mengenai apakah allopurinol dapat dihentikan jika kriteria klinis tertentu terpenuhi atau harus dikonsumsi seumur hidup. Allopurinol adalah terapi lini pertama gout artritis, yang digunakan untuk menurunkan kadar asam urat dan mencegah rekurensi serangan akut. Allopurinol digunakan jangka panjang, tetapi banyak kontroversi mengenai apakah obat ini bisa dan aman untuk dihentikan pada titik tertentu masa terapi.

Allopurinol termasuk dalam golongan penghambat enzim xantin oksidase dan bekerja dengan menghambat produksi asam urat. Meskipun jarang, penggunaan jangka panjang allopurinol bisa menimbulkan allopurinol hypersensitivity syndrome yang menyebabkan gagal ginjal akut, hepatitis, hingga mortalitas. Tingkat kepatuhan yang rendah dan titrasi dosis yang kompleks juga menjadi salah satu keterbatasan terapi jangka panjang allopurinol.[1-3]

Kapan Terapi Allopurinol Bisa Dihentikan

Inisiasi Terapi Allopurinol

Berdasarkan pedoman klinis gout artritis oleh American College of Rheumatology (ACR), allopurinol merupakan terapi pilihan dan perlu diberikan pada pasien gout artritis dengan adanya tofus subkutan, kerusakan jaringan pada pemeriksaan radiologi, dan serangan berulang ≥2 kali/tahun.

Pemberian allopurinol juga dapat dipertimbangkan pada pasien serangan pertama gout dengan penyakit ginjal kronis (PGK) stadium >2, kadar asam urat >9 mg/dl atau adanya riwayat urolitiasis. Perlu diingat bahwa pemberian obat penurun asam urat, seperti allopurinol, tidak direkomendasikan pada pasien hiperurisemia asimptomatik.[1]

Pendekatan Treat-to-Target

Pendekatan treat-to-target dilakukan dengan memulai terapi dosis rendah (allopurinol ≤100 mg/hari), kemudian menaikkan dosis secara bertahap 50–100 mg setiap 2–5 minggu hingga mencapai target serum urat <6 mg/dl (atau lebih rendah pada pasien dengan tofus atau beban kristal tinggi). Selama titrasi, lakukan pemantauan periodik untuk menilai respon, sekaligus memberikan profilaksis antiinflamasi dini untuk mencegah flare.[1]

Pertimbangan Menghentikan Terapi Allopurinol

Gout merupakan penyakit kronis dan memerlukan terapi berkepanjangan. Penghentian terapi allopurinol tidak rutin dilakukan kecuali bila terjadi allopurinol failure. Secara klinis, allopurinol failure merujuk pada kondisi ketika terapi tidak mencapai tujuan pengobatan, baik berupa kegagalan menurunkan kadar asam urat ke target, kegagalan perbaikan klinis (misalnya serangan gout rekuren atau tofus persisten), atau muncul efek samping serius.[4]

Efek Samping Berat Akibat Allopurinol

Allopurinol dapat dihentikan bila terdapat efek samping berat seperti sindrom Stevens-Johnson, allopurinol hypersensitivity syndrome, atau bila pasien tidak bisa menoleransi allopurinol meski telah dilakukan titrasi dosis. Pada kasus tersebut, allopurinol segera dihentikan, dan pasien dialihkan ke obat alternatif seperti febuxostat.

Perlu diketahui bahwa individu dari Asia Tenggara, seperti Indonesia, diketahui lebih berisiko mengalami reaksi hipersensitivitas allopurinol, terutama pada individu dengan alel human leukocyte antigen-B 5801 (HLA-B*5801). Oleh sebab itu, pedoman   ACR merekomendasikan penapisan alel tersebut sebelum pemberian allopurinol jika memungkinkan.[2,5]

Terjadi Remisi Klinis

Penghentian allopurinol bisa dipertimbangkan pada beberapa pasien yang mengalami remisi klinis, misalnya pada pasien yang benar-benar stabil, tidak mengalami serangan ≥1 tahun, dan tidak ada tofus. Meski begitu, ACR menyatakan bahwa terapi sebaiknya dilanjutkan jika obat bisa ditoleransi dengan baik. Hal ini berkaitan dengan kekhawatiran tentang kembalinya atau memburuknya gejala gout, tofus, atau kerusakan sendi setelah penghentian terapi.

Sebuah studi seri kasus tunggal mengevaluasi pasien gout dalam remisi klinis yang menghentikan terapi setelah bertahun-tahun kadar serum urat terkontrol. Hasil menunjukkan hanya 13% pasien yang tetap bebas serangan gout dalam 5 tahun setelah penghentian terapi, selama kadar serum urat tetap <7 mg/dl. Pasien yang kadar serum uratnya meningkat setelah berhenti terapi mengalami serangan lebih sering dan risiko komplikasi lebih tinggi.[1]

Kegagalan Terapi

Kebanyakan pasien yang mengonsumsi allopurinol berespon baik terhadap terapi. Hanya sekitar 10% pasien yang menggunakan allopurinol yang tidak berhasil mencapai target terapi, bisa karena kesalahan dosis atau adanya variasi genetik seperti ABCG2.

Penentuan kegagalan terapi allopurinol dilakukan dengan mengevaluasi apakah terapi mencapai target serum urat dan apakah ada perbaikan klinis yang diharapkan, seperti berkurangnya serangan gout, regresi tofus, dan peningkatan fungsi sendi. Kegagalan dapat diidentifikasi bila kadar serum urat tetap tinggi meskipun dosis optimal telah diberikan dan kepatuhan pasien terjamin.[4]

Kesimpulan

Allopurinol merupakan terapi lini pertama dalam tata laksana gout artritis. Pemberian terapi ini dianjurkan pada pasien dengan tofus, kerusakan sendi akibat gout, atau serangan berulang, serta dapat dipertimbangkan pada kasus serangan pertama dengan faktor risiko tertentu seperti penyakit ginjal kronis, hiperurisemia berat (>9 mg/dl), atau riwayat urolitiasis. Pemberian allopurinol tidak direkomendasikan pada kasus hiperurisemia asimptomatik.

Penghentian allopurinol tidak direkomendasikan secara rutin, kecuali bila terdapat efek samping berat, kegagalan terapi, atau pada pasien tertentu yang stabil selama bertahun-tahun dan mengalami remisi klinis dengan kadar asam urat terkontrol. Mayoritas pasien gout akan memerlukan terapi terus menerus, terutama bila target kadar asam urat belum tercapai atau terdapat komorbiditas seperti hipertensi, diabetes, gangguan ginjal, dan penyakit kardiovaskular.

Referensi