Isu Global dan Nasional Terkait Transplantasi Ginjal

Oleh :
dr. Monik Alamanda

Transplantasi ginjal dan dialisis merupakan pilihan yang bisa dilakukan pada penyakit ginjal kronis stadium akhir atau end-stage renal disease (ESRD). Kondisi ESRD ditandai dengan hilangnya fungsi ginjal, sehingga tindakan diperlukan untuk menggantikan fungsi ginjal. Transplantasi ginjal memberikan peluang untuk kualitas hidup dan prognosis yang lebih baik daripada dialisis.[1,2]

Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2020 melaporkan peningkatan konstan insidensi penyakit ginjal kronis sejak tahun 2018, di mana tercatat 1.602.059 penduduk Indonesia menderita gagal ginjal pada tahun 2020. Berdasarkan Indonesian Renal Registry (IRR) tahun 2018, terapi gagal ginjal yang paling banyak dilakukan adalah hemodialisis (97%), sedangkan peritoneal dialisis (2%) dan transplantasi ginjal (1%) hanya sedikit.[3]

shutterstock_1114500890-min

Isu Global Terkait Transplantasi Ginjal

Seiring dengan meningkatnya prevalensi ESRD, jumlah ketersediaan organ donor tidak dapat memenuhi kebutuhan yang ada. Seorang pasien harus menunggu bertahun-tahun dalam daftar tunggu sebelum akhirnya mendapatkan organ donor. Banyak pasien ESRD yang meninggal dalam penantian tersebut atau menjadi tidak layak untuk mendapatkan transplantasi ginjal akibat kondisi medis yang memburuk. Selain itu, perbedaan kondisi geografis juga menjadi hambatan lainnya karena mempengaruhi waktu tunggu pasien.[1,2]

Secara global, terdapat pro dan kontra mengenai kebijakan akan transplantasi ginjal. Ketika seorang pasien ESRD tidak mempunyai calon hidup tetapi layak untuk menjadi kandidat transplantasi ginjal, maka pasien tersebut akan masuk ke dalam daftar tunggu. Organ donor adalah sesuai yang sangat langka dan berharga, sehingga harus dimanfaatkan semaksimal mungkin.[1,2]

Distribusi nya diprioritaskan untuk pasien yang memiliki potensi durasi penggunaan organ donor semaksimal mungkin. Namun di sisi lain, distribusi organ dapat juga dilakukan dengan pendekatan berdasarkan waktu tunggu. Dua pandangan tersebut merepresentasikan utilitas versus keadilan dalam mengalokasikan organ donor.[1,2]

Terbatasnya ketersediaan organ donor dan waktu tunggu yang panjang, menyebabkan banyak pasien ESRD mencoba peruntungan ke pasar gelap (ilegal) baik di dalam maupun luar negeri. Komersialisme dari transplantasi dan tidak adanya hukum yang baik justru menimbulkan risiko bagi kesehatan pasien yang dapat berujung pada kematian.[1,2]

Selain itu masih terdapat isu mengenai xenotransplantasi dari hewan-hewan primata seperti simpanse, monyet, dan babon. Hewan-hewan tersebut merupakan hewan yang dilindungi sehingga penggunaan organnya sebagai donor masih diperdebatkan. Saat ini mulai banyak dikembangkan penelitian mengenai babi sebagai donor xenograft potensial. Hal ini dikarenakan babi memiliki tingkat reproduksi yang tinggi, pertumbuhan ke usia dewasa yang cepat, risiko transmisi penyakit menular yang lebih rendah, dan ukuran organ yang sesuai.[1,2]

Transplantasi Ginjal di Indonesia Saat Ini

Hingga tahun 2023 ini, tindakan transplantasi ginjal di Indonesia hanya 1.155 kasus, di mana sekitar 80% tindakan dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Rata-rata transplantasi ginjal dilakukan 3‒4 operasi per minggu di RSCM. Hal ini memperpendek daftar tunggu, yang sebelumnya 1 tahun menjadi 8 bulan.[3]

Saat ini, Kemenkes Indonesia telah memutuskan 17 rumah sakit pemerintah yang ditunjuk untuk mengembangkan transplantasi ginjal, termasuk rumah sakit Prof IGNG Ngoerah di Bali dan rumah sakit Djamil di Padang yang telah dapat melakukan transplantasi ginjal secara mandiri.[3]

Transplantasi ginjal di Indonesia pertama kali dilakukan pada tahun 1977, tetapi baru meningkat pada tahun 2011 di mana teknik laparoskopi digunakan untuk pengangkatan ginjal donor. Dengan teknik laparoskopi ini, pendonor hanya perlu dirawat 3‒4 hari dan dapat beraktivitas kembali setelah 1 minggu, sehingga memungkinkan untuk keluarga dan kerabat lebih bersedia menjadi donor hidup.[3,4]

Selain isu mengenai ketersediaan organ donor yang rendah, masalah utama yang menjadi penghalang transplantasi ginjal di Indonesia adalah tingginya biaya medis yang dibutuhkan, pandangan budaya dan hukum yang bersifat prohibitif, serta kurangnya informasi dan infrastruktur.[4-6]

Biaya Transplantasi Ginjal di Indonesia

Terapi hemodialisis dan transplantasi ginjal merupakan pilihan terapi yang mahal. Satu prosedur transplantasi ginjal di Indonesia memerlukan biaya hingga 15.000 dolar AS, sedangkan pendapatan rata-rata orang Indonesia sekitar 1.280 dolar AS. Hal ini berarti biaya untuk satu kali transplantasi setara dengan pendapatan orang Indonesia selama 15 tahun.[3]

Saat ini hemodialisis dianggap lebih mahal dibanding transplantasi ginjal. Terapi hemodialisis di Indonesia dalam setahun mencapai 4.900-6.500 dolar AS atau setara dengan lima tahun pendapatan. Di sisi lainnya, meskipun transplantasi ginjal membutuhkan biaya yang sangat besar di awal, tetapi jumlah tersebut menurun secara signifikan setelah tahun pertama.  Tingginya insiden dan durasi yang terapi yang panjang menyebabkan hemodialisis menjadi beban bagi kesehatan nasional.[4-6]

Pembiayaan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk pasien ESRD di Indonesia terus meningkat, yaitu 6,4 triliun pada periode 2018-2020 dan mencapai 6,5 triliun rupiah untuk pengeluaran satu tahun di tahun 2021. Pembiayaan transplantasi ginjal sudah dijamin oleh BPJS Kesehatan sejak tahun 2014, dengan harapan dapat menurunkan pembiayaan.[4-6]

Pembiayaan untuk 1 transplantasi ginjal dapat menurunkan pembiayaan hemodialisis selama 2,5‒3 tahun. Selain itu, kualitas hidup pasien transplantasi jauh lebih baik hingga dapat beraktivitas/bekerja normal.[3]

Agama dan Budaya yang Mempengaruhi Transplantasi Ginjal

Agama dan budaya menjadi salah satu pertimbangan warga Indonesia untuk menerima transplantasi organ. Meskipun konsensus resmi pada tahun 1995 telah menunjukkan semua agama di Indonesia menerima transplantasi organ, tetapi masih terdapat resistensi yang signifikan di antara pemeluk agama Islam dan Kristen.[4-6]

Resistensi tersebut didasari oleh interpretasi budaya dan agama pada level individu,  dimana transplantasi ginjal yang diperkenankan adalah yang berasal dari donor hidup dan masih memiliki hubungan kerabat. Hal ini menyebabkan sangat terbatasnya ketersediaan organ donor dan rendahnya jumlah prosedur transplantasi ginjal di Indonesia. Hal ini sangat berbeda dibandingkan negara lain, seperti Filipina dan Thailand, di mana ginjal kadaver menyumbang angka yang besar sebagai sumber donor ginjal.[4-6]

Tantangan edukasi tersebut terutama dalam mengubah paradigma spiritual dan kepercayaan seseorang. Middle East Society for Organ Transplantation yang mencakup 29 negara Islam di dunia telah berusaha mengklarifikasi interpretasi Islam akan transplantasi organ. Upaya tersebut telah berhasil meningkatkan angka transplantasi secara signifikan di negara-negara yang terlibat seperti Iran, Turki, dan Pakistan sejak tahun 2000.[4-6]

Pengetahuan Masyarakat terkait Transplantasi Ginjal

Di sisi lainnya, informasi mengenai transplantasi ginjal masih sangat terbatas di antara warga Indonesia. Masih ada ketakutan akan hidup dengan satu ginjal. Terdapat miskonsepsi bahwa mendonorkan ginjal akan menurunkan kualitas hidup. Adanya miskonsepsi tersebut membutuhkan edukasi dini dan meluas perihal penyakit ginjal kronis, transplantasi ginjal, dan sistem rujukan kesehatan di Indonesia.[4-6]

Legalitas Hukum Transplantasi

Bennet et al menyebutkan hukum di Indonesia merupakan salah satu penghambat transplantasi ginjal. Memang sebelumnya masih ada beberapa perdebatan mengenai proses legal transplantasi organ, seperti mengenai dasar hukum diagnosis mati batang otak, dan hukum yang melarang transplantasi dari donor anonim.[4-7]

Namun, berdasarkan Permenkes nomor 38 tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Transplantasi Organ, saat ini Indonesia telah melegalkan transplantasi organ dari donor yang tidak memiliki hubungan darah.[7]

Infrastruktur Pelaksana Transplantasi

BPJS telah memasukkan transplantasi organ sebagai salah satu tindakan yang ditanggung hingga 18.000 dolar AS untuk satu prosedur. Meskipun demikian, hingga tahun 2019, hanya ada tujuh dari 33 fasilitas kesehatan yang ditanggung oleh BPJS untuk melakukan transplantasi organ. Namun, revisi berkelanjutan dari hukum terkait prosedur transplantasi, menunjukkan adanya motivasi untuk meningkatkan transplantasi organ di Indonesia.[4-6]

Ketersediaan Tenaga Ahli Profesional

Jumlah fasilitas kesehatan yang mampu melakukan transplantasi di Indonesia juga masih sangat sedikit. Meskipun sudah mulai menyebar, namun >50% transplantasi ginjal pada tahun 2011-2017 masih dilakukan di Jakarta. Selain keterbatasan fasilitas kesehatan, jumlah ketersediaan spesialis nefrologi dan urologi juga masih sedikit.

Terdapat satu urologist untuk setiap 620 ribu orang Indonesia. Jumlah transplantasi ginjal di Indonesia memang sudah meningkat secara signifikan dalam sepuluh tahun terakhir, namun jumlah tersebut masih rendah dibandingkan negara tetangga seperti Thailand, Filipina, dan Vietnam.[4-6]

Kesimpulan

Transplantasi ginjal merupakan pilihan utama terapi ESRD (end stage renal disease). Namun masih terdapat beberapa isu mengenai terapi ini baik secara global maupun nasional. Pada tingkat global, isu yang muncul adalah kurangnya ketersediaan organ donor dibanding kebutuhan, waktu tunggu yang panjang, proses distribusi organ donor, meningkatnya komersialisasi ilegal transplantasi organ, dan xenotransplantasi.

Di sisi lainnya, transplantasi ginjal di Indonesia masih dalam tahap perkembangan. Beberapa hambatan transplantasi ginjal di Indonesia adalah ketersediaan organ donor yang rendah, tingginya biaya medis yang dibutuhkan, pandangan budaya dan hukum yang bersifat prohibitif, serta kurangnya informasi dan infrastruktur yang memadai.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi