Ibrexafungerp VS Plasebo Untuk Terapi Kandidiasis Vulvovaginal – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Ibrexafungerp Versus Placebo for Vulvovaginal Candidiasis Treatment: A Phase 3, Randomized, Controlled Superiority Trial (VANISH 303)

Schwebke JR, Sobel R, Gersten JK, et al. Clin Infect Dis. 2022 Jun 10;74(11):1979-1985. doi: 10.1093/cid/ciab750. PMID: 34467969

studilayak

Abstrak

Latar Belakang: Terapi kandidiasis vulvovaginal (VVC) saat ini terbatas pada golongan azole. Ibrexafungerp merupakan antijamur pertama di golongan triterpenoid dengan spektrum luas aktivitas fungisidal anti Candida. Tujuan dari studi ini ialah untuk mengevaluasi efikasi maupun keamanan dari ibrexafungerp dibandingkan dengan plasebo pada pasien VVC akut.

Metode: Pasien dialokasikan secara acak dengan rasio 2:1 untuk mendapat ibrexafungerp (300 mg 2 kali sehari) atau plasebo. Luaran primer ialah persentase pasien dengan kesembuhan klinis di saat test-of cure (hari ke-11±3). Luaran sekunder meliputi persentase pasien dengan eradikasi mikologi, kesuksesan menyeluruh (kesembuhan klinis dan eradikasi mikologi), perbaikan klinis di saat test-of-cure, dan resolusi gejala pada saat follow-up (hari ke-25±4).

Hasil: Pasien yang mendapat ibrexafungerp menunjukkan tingkat kesembuhan klinis, eradikasi mikologi, dan kesuksesan menyeluruh yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan pasien yang mendapat plasebo. Resolusi gejala klinis mampu bertahan dan bahkan meningkat pada pasien yang mendapat ibrexafungerp jika dibandingkan dengan plasebo saat follow-up. Analisis post hoc menunjukkan hasil yang serupa untuk kesembuhan klinis dan perbaikan klinis saat test-of-cure pada pasien kulit hitam, maupun pada pasien dengan indeks massa tubuh di atas 35 kg/m2  jika dibandingkan dengan hasil keseluruhan. Ibrexafungerp dapat ditolerir dengan baik. Kejadian merugikan yang banyak ditemui ialah gangguan saluran pencernaan tetapi dalam derajat ringan.

Kesimpulan: Ibrexafungerp memberikan opsi terapi oral dengan mekanisme berbeda dari golongan azole yang disertai efikasi yang menjanjikan dan sekaligus aman bagi terapi VVC akut.

Woman,Hand,Holding,Her,Crotch,Suffering,From,Pain,itchy,Concept,Background

Ulasan Alomedika

Kandidiasis vulvovaginal (VVC) merupakan penyebab terbanyak kedua pada kasus vaginitis wanita. Kondisi komorbid yang mendukung terjadinya kandidiasis vulvovaginal meliputi diabetes tidak terkontrol, predisposisi genetik, kondisi imunokompromais, dan penggunaan obat-obatan seperti antibiotik jangka panjang.

Saat ini, terapi kandidiasis vulvovaginal terbatas pada antijamur golongan azole, seperti ketoconazole. Namun, ditemukan sejumlah keterbatasan pada terapi ini seperti kasus intoleransi, hepatotoksisitas idiosinkrasi, termasuk risiko berbahaya bagi janin jika dikonsumsi selama masa hamil dan masalah interaksi antar obat. Sehubungan dengan hal itu, opsi terapi baru dibutuhkan untuk menjadi jawaban untuk keterbatasan di atas.

Ibrexafungerp merupakan antijamur golongan triterpenoid pertama. Mekanisme kerjanya serupa dengan echinocandin yang menargetkan enzim glucan synthase yang menurunkan pembentukan (1,3) -β-D-glucan polymer sehingga melemahkan dinding sel jamur dan menyebabkan kematian jamur. Aktivitas fungisidal ibrexafungerp efektif terhadap sejumlah isolat Candida termasuk yang resisten terhadap golongan azole maupun echinocandin.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menerapkan metode uji klinis acak terkontrol plasebo.

Kriteria Inklusi dan Eksklusi:

Kriteria inklusi meliputi pasien berusia ≥ 12 tahun dengan kandidiasis vulvovaginal akut, yang didefinisikan sebagai Vulvovaginal Signs and Symptoms (VSS) ≥ 4, sedikitnya 2 tanda dan ≥ 2 gejala, pemeriksaan mikroskopik KOH positif, normal pH vagina, dan menggunakan kontrasepsi pada pasien dengan potensi reproduksi.

Kriteria eksklusi meliputi semua kondisi yang dapat mempengaruhi diagnosis atau evaluasi respon dari terapi, termasuk: infeksi campuran, penggunaan terapi antijamur topikal atau sistemik dalam waktu 28 hari, sedang hamil atau menyusui, infeksi HIV positif, pasien yang sedang mendapat terapi kanker vagina atau kanker serviks, atau pasien yang sedang mendapatkan terapi imunosupresan.

Intervensi dan Luaran yang Diukur:

Pasien dialokasikan secara acak dengan komposisi 2:1 untuk mendapat terapi ibrexafungerp atau plasebo. Semua personel maupun sponsor “blinded” terhadap alokasi terapi, kecuali anggota tim yang bertanggung jawab untuk logistik distribusi obat.

Luaran primer yang diukur ialah persentase pasien dengan kesembuhan klinis (resolusi menyeluruh dari tanda maupun gejala, atau VSS=0) di saat test-of cure pada hari ke-11±3. Luaran sekunder meliputi persentase pasien dengan eradikasi mikologi, kesuksesan menyeluruh (kesembuhan klinis dengan eradikasi mikologi), perbaikan klinis (VSS ≤1) di saat test-of-cure, dan resolusi gejala pada saat follow-up pada hari ke-25±4.

Jumlah sampel sebesar 366 pasien (terapi aktif n=244 vs plasebo n= 122) diperkirakan dapat memberikan 90% power untuk mendeteksi perbedaan superioritas di antara kedua grup yang dibandingkan menurut tes Pearson’s Chi Square dengan type 1 error rate 5%.  Analisis efikasi menggunakan modified intention-to-treat (mITT) population. Perbandingan efek terapi antara kedua grup dianalisis dengan tes Cochran-Mantel-Haenzel. Semua tes statistik berupa tes 2-sided dan diinterpretasi pada level signifikansi 5%.

Ulasan Hasil Penelitian

Sejak perekrutan mulai dari Januari 2019 hingga September 2019 pada 27 tempat di Amerika Serikat, didapatkan sejumlah 376 pasien, namun setelah penyesuaian untuk populasi mITT terhadap hasil kultur maka grup ibrexafungerp mendapat 188 sampel vs plasebo 98 sampel. Karakteristik demografi pada kedua grup tampak seimbang saat baseline. Mayoritas pasien tidak diabetes (ibrexafungerp 90,4% vs plasebo 91,8%).

Hasil analisis menemukan bahwa ibrexafungerp menunjukkan hasil statistik yang lebih superior terhadap plasebo pada semua luaran primer dan sekunder.

  • Grup ibrexafungerp menunjukkan tingkat kesembuhan klinis yang lebih tinggi (50,5% vs 28,6%;risk relative/RR 1,71)
  • Grup ibrexafungerp menunjukkan eradikasi mikologi yang lebih tinggi (49,5% vs 19,4%; RR 2,87)
  • Grup ibrexafungerp menunjukkan kesuksesan menyeluruh yang lebih tinggi (36% vs 12,6%; RR 3,19)

Resolusi gejala klinis mampu bertahan dan bahkan meningkat pada pasien yang mendapat ibrexafungerp jika dibandingkan dengan plasebo (59,6% vs 44,9%;  P=0,009) saat follow-up.

Analisis post hoc menunjukkan hasil yang serupa untuk kesembuhan klinis dan perbaikan klinis saat test-of-cure pada pasien kulit hitam, maupun pada pasien dengan indeks massa tubuh di atas 35 kg/m2 jika dibandingkan dengan hasil keseluruhan. Jadi, faktor ras dan obesitas tidak mempengaruhi efikasi ibrexafungerp.

Ibrexafungerp mampu ditoleransi dengan baik, meski lebih banyak efek samping dilaporkan pada grup terapi aktif (39,7% vs 16,9%). Mayoritas efek samping merugikan terkait ibrexafungerp merupakan masalah di saluran pencernaan dengan derajat keparahan yang ringan.

Kelebihan Penelitian

Kelebihan penelitian ini terletak pada metode penelitian yang digunakan. Studi ini merupakan uji klinis, dimana dilakukan pengacakan dan kontrol plasebo dengan beberapa personel yang terlibat mendapat penyamaran (blinding). Peneliti juga mengupayakan pengendalian faktor perancu, misalnya dengan eksklusi pasien imunokompromais, melakukan penyesuaian terhadap komorbid diabetes, ras, serta indeks massa tubuh.

Limitasi Penelitian

Kelemahan dari penelitian ini adalah bahwa ibrexafungerp dibandingkan dengan plasebo, bukan terapi standar kandidiasis vulvovaginal seperti itraconazole dan fluconazole. Oleh karenanya, hasil penelitian ini belum berarti bahwa ibrexafungerp lebih superior dari terapi antijamur konvensional yang saat ini digunakan.

Selain itu, patut dicermati bahwa mayoritas sampel yang didapat menunjukkan hasil kultur yang positif terhadap C.albicans. Oleh karenanya, hasil analisis penelitian ini terbatas pada pasien kandidiasis vulvovaginal akut yang terinfeksi oleh C.albicans.

Aplikasi Hasil Penelitian Di Indonesia

Hasil penelitian ini berpotensi diterapkan di Indonesia. Hasil studi mengindikasikan bahwa ibrexafungerp dapat menjadi alternatif terapi golongan azole pada pasien dengan kandidiasis vulvovaginal. Meski demikian, ibrexafungerp belum memiliki ijin edar oleh BPOM di Indonesia. Studi lebih lanjut juga diperlukan untuk memastikan efikasi ibrexafungerp bila dibandingkan dengan terapi standar golongan azole.

Referensi