Oral Gepotidacin for the Treatment of Uncomplicated Urogenital Gonorrhoea (EAGLE-1): A Phase 3 Randomised, Open-Label, Non-Inferiority, Multicentre Study
Ross JDC, Wilson J, Workowski KA, et al. Oral gepotidacin for the treatment of uncomplicated urogenital gonorrhoea (EAGLE-1): a phase 3 randomised, open-label, non-inferiority, multicentre study. Lancet. 2025 May 3;405(10489):1608-1620. PMID: 40245902.
Abstrak
Latar Belakang: Gepotidacin merupakan antibiotik triazaacenaphthylene oral baru yang bersifat bakterisidal dan bekerja menghambat replikasi DNA bakteri. Sebelumnya, obat ini terbukti efektif untuk infeksi saluran kemih tanpa komplikasi. Studi ini mengevaluasi efektivitas dan keamanan gepotidacin untuk pengobatan gonorrhea urogenital tanpa komplikasi bila dibandingkan terapi standar berupa ceftriaxone injeksi dan azithromycin oral.
Metode: Penelitian fase 3 multisenter terbuka yang bernama EAGLE-1 (NCT04010539) ini membandingkan dua kelompok, yaitu: (1) gepotidacin oral 3000 mg yang diminum 2 kali dengan jeda 10–12 jam; dan (2) ceftriaxone intramuskular 500 mg dan azithromycin oral 1 g. Peserta adalah pasien berusia ≥12 tahun, berberat badan >45 kg, dengan dugaan gonorrhea urogenital, baik dari gejala (misalnya cairan mukopurulen), hasil laboratorium positif Neisseria gonorrhoeae, atau keduanya.
Randomisasi dilakukan 1:1 dengan stratifikasi berdasarkan kombinasi jenis kelamin (anatomi lahir), orientasi seksual (pria seks dengan pria [PSP], pria seks dengan wanita [PSW], dan wanita), dan kelompok usia (<18 tahun, 18–65 tahun, dan >65 tahun).
Target utama adalah keberhasilan mikrobiologis, yakni eradikasi bakteri N. gonorrhoeae yang dikonfirmasi dengan kultur pada pemeriksaan hari ke-4 hingga ke-8 (test-of-cure). Batas non-inferioritas ditetapkan –10%.
Analisis efektivitas utama dilakukan pada populasi microbiology intention-to-treat atau micro-ITT: semua peserta yang diacak, menerima minimal satu dosis, dan mempunyai isolat N. gonorrhoeae sensitif ceftriaxone dari kultur awal. Analisis keamanan mencakup semua peserta yang menerima minimal satu dosis obat.
Hasil: Sebanyak 628 peserta diacak (314 per kelompok), dengan 406 peserta masuk populasi micro-ITT. Sebanyak 39 peserta (6%) keluar lebih awal, mayoritas karena hilang kontak. Mayoritas peserta adalah pria (92%), dengan 71% dari kelompok PSP. Secara ras, 74% peserta adalah keturunan Eropa, 15% peserta keturunan Afrika, dan 17% peserta Hispanik atau Latino.
Keberhasilan mikrobiologis tercatat 92,6% (187/202; 95% CI 88,0–95,8) di kelompok gepotidacin, setara dengan 91,2% (186/204; 95% CI 86,4–94,7) di kelompok kontrol, dengan selisih adjusted sebesar –0,1% (95% CI –5,6 sampai 5,5), yang memenuhi syarat non-inferioritas. Tidak ada persistensi bakteri urogenital pada kedua kelompok.
Efek samping lebih sering muncul di kelompok gepotidacin, terutama berupa gangguan gastrointestinal. Akan tetapi, sebagian besar efek samping bersifat ringan dan sedang. Tidak ada efek samping berat atau serius terkait pengobatan.
Kesimpulan: Gepotidacin tampak non-inferior terhadap kombinasi ceftriaxone injeksi dan azithromycin oral untuk terapi gonorrhea urogenital, tanpa kekhawatiran keamanan baru. Gepotidacin dapat menjadi pilihan pengobatan oral baru untuk kasus gonorrhea urogenital tanpa komplikasi.
Ulasan Alomedika
Pilihan pengobatan yang efektif untuk gonorrhea semakin berkurang karena munculnya resistensi terhadap berbagai antibiotik yang sebelumnya dipakai. Rekomendasi terapi lini pertama saat ini adalah injeksi ceftriaxone dan pemberian azithromycin oral. Namun, resistensi terhadap ceftriaxone sudah tinggi, termasuk di wilayah Asia Tenggara.
Kebutuhan obat baru yang efektif untuk pasien dengan infeksi N. gonorrhoeae yang resisten terhadap antimikroba sangat besar. Pilihan obat oral baru terutama sangat dibutuhkan, karena berkaitan dengan kemudahan pemberian dibandingkan parenteral, penggunaan sumber daya kesehatan yang lebih rendah, penurunan risiko cedera akibat jarum suntik, dan peningkatan kepuasan pasien karena tidak perlu disuntik.
Gepotidacin adalah antibiotik bakterisidal dari kelas baru triazaacenaphthylene, yang telah terbukti efektif untuk pengobatan infeksi saluran kemih tanpa komplikasi. Obat ini bekerja dengan cara menghambat replikasi DNA bakteri melalui situs ikatan yang berbeda pada GyrA dan ParC. Obat ini menunjukkan mekanisme kerja yang unik dan menyebabkan hambatan yang seimbang terhadap dua enzim topoisomerase tipe II (DNA gyrase dan topoisomerase IV).
Situs ikatan yang berbeda tersebut dan mekanisme kerja yang unik tersebut dikaitkan dengan potensi gepotidacin sebagai terapi infeksi N. gonorrhoeae, termasuk strain yang resisten terhadap antibiotik yang umum dipakai. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi efikasi dan keamanan gepotidacin pada gonorrhea urogenital tanpa komplikasi jika dibandingkan dengan terapi standar saat ini.
Ulasan Metode Penelitian
Penelitian EAGLE-1 adalah uji klinis fase 3 yang dilakukan secara terbuka (open-label), meskipun pihak sponsor tetap dibutakan terhadap hasil sementara (blinded). Studi ini berlangsung di 49 lokasi yang tersebar di 6 negara, yaitu Australia, Inggris, Jerman, Spanyol, Meksiko, dan Amerika Serikat.
Peserta yang direkrut adalah pasien berusia minimal 12 tahun dengan berat badan >45 kg, yang dicurigai mengalami gonorrhea urogenital tanpa komplikasi. Kriteria diagnosis mencakup adanya gejala klinis seperti keluarnya cairan bernanah dari alat kelamin, hasil laboratorium positif Neisseria gonorrhoeae, atau kombinasi keduanya.
Peserta tidak diikutkan bila sedang hamil, menyusui, alergi terhadap obat yang diuji, atau baru saja berpartisipasi dalam uji klinis lain dalam 30 hari terakhir. Peserta yang lolos seleksi diacak secara 1:1 ke salah satu dari dua kelompok pengobatan. Kelompok pertama menerima gepotidacin oral (dua dosis 3000 mg, diminum terpisah 10–12 jam), sedangkan kelompok kedua menerima terapi standar berupa ceftriaxone 500 mg suntik plus azithromycin oral 1 g.
Agar distribusi seimbang, randomisasi disusun berdasarkan kombinasi jenis kelamin biologis (anatomi lahir), orientasi seksual (pria seks dengan pria/PSP, pria seks dengan wanita/PSW, wanita), serta kelompok usia (<18 tahun, 18–65 tahun, >65 tahun).
Setelah pengobatan, peserta dipantau minimal selama 28 hari. Pemeriksaan penting dilakukan pada hari ke-4 hingga ke-8, di mana sampel dari lokasi infeksi (uretra pada pria, serviks pada wanita, rektum, dan faring) kemudian dikultur ulang untuk memeriksa keberhasilan eradikasi bakteri (test-of-cure).
Parameter efektivitas adalah apakah bakteri N. gonorrhoeae hilang (di lokasi urogenital maupun lokasi lain seperti rektum dan faring), apakah gejala klinis membaik, dan apakah ada perubahan pola sensitivitas atau resistensi bakteri. Parameter keamanan adalah jumlah dan jenis efek samping, apakah efek terkait langsung dengan obat, apakah ada efek samping serius, dan berapa banyak peserta harus menghentikan obat karena efek samping.
Ulasan Hasil Penelitian
Penelitian EAGLE-1 melibatkan 628 peserta yang diacak merata: 314 dialokasikan ke kelompok gepotidacin dan 314 ke kelompok kontrol (ceftriaxone + azithromycin). Dari total tersebut, populasi utama untuk analisis efektivitas (micro-ITT) terdiri dari 406 peserta, yaitu mereka yang sudah menerima minimal satu dosis obat dan memiliki isolat Neisseria gonorrhoeae sensitif ceftriaxone pada pemeriksaan awal.
Tingkat keberhasilan eradikasi bakteri di urogenital mencapai 92,6% pada kelompok gepotidacin dan 91,2% pada kelompok kontrol. Selisih ini telah memenuhi kriteria non-inferioritas, sehingga efektivitas gepotidacin dinilai setara terapi standar. Pada infeksi rektal, keberhasilan mencapai 100% pada kelompok gepotidacin dibandingkan 80% pada kelompok kontrol. Namun, untuk infeksi faring, keberhasilan sedikit lebih rendah pada gepotidacin (78%) dibandingkan kontrol (94%).
Tidak ada persistensi bakteri pada test-of-cure di kedua kelompok. Dari sisi keamanan, efek samping tercatat lebih sering pada kelompok gepotidacin (74%) daripada kontrol (33%). Efek samping yang paling umum adalah diare (49% vs 10%) dan mual (24% vs 3%), tetapi sebagian besar bersifat ringan hingga sedang.
Tidak ada laporan efek samping serius atau kematian yang terkait langsung dengan pengobatan di kedua kelompok. Secara keseluruhan, temuan ini menunjukkan bahwa gepotidacin adalah alternatif oral yang efektif untuk pengobatan gonorrhea urogenital tanpa komplikasi, dengan profil keamanan yang dapat diterima, meskipun angka efek samping ringan lebih tinggi dibanding terapi standar suntik.
Kelebihan Penelitian
Penelitian EAGLE-1 memiliki kekuatan metodologis yang baik. Desain multisenter fase 3 yang melibatkan 49 pusat di 6 negara bisa memperluas daya generalisasi hasil dan menjadikannya relevan tidak hanya untuk satu wilayah.
Pemilihan pembanding yang digunakan dalam studi ini juga memperkuat nilai klinisnya, karena tidak sekadar melawan plasebo, tetapi membandingkan gepotidacin langsung dengan standar terapi saat ini, yaitu ceftriaxone suntik plus azithromycin oral.
Luaran utama yang digunakan, yaitu eradikasi bakteri yang dikonfirmasi melalui kultur laboratorium, memperkuat validitas. Fokus pada hasil objektif membantu memastikan bahwa klaim efektivitas yang disampaikan benar-benar mencerminkan keberhasilan membasmi patogen penyebab penyakit, bukan sekadar perbaikan gejala yang sifatnya subjektif.
Selain itu, penelitian ini juga menerapkan randomisasi dengan stratifikasi, sehingga menjaga agar pembagian peserta ke dalam kelompok pengobatan berlangsung sesuai rencana studi dan hasil yang diperoleh dapat dianalisis dengan landasan yang kuat.
Dengan kekuatan-kekuatan metodologis ini, temuan penelitian EAGLE-1 memberikan kontribusi penting mengenai efektivitas alternatif terapi oral untuk gonorrhea urogenital tanpa komplikasi. Di tengah meningkatnya tantangan resistensi antibiotik, hasil studi ini memiliki potensi dampak yang signifikan terhadap pembaruan rekomendasi klinis dan pengambilan kebijakan kesehatan.
Limitasi Penelitian
Meskipun penelitian EAGLE-1 memiliki kekuatan metodologis yang baik, ada sejumlah keterbatasan. Salah satu kelemahan utama adalah desainnya yang bersifat terbuka (open-label), di mana baik pasien maupun peneliti mengetahui jenis pengobatan yang diberikan. Desain ini meningkatkan potensi bias persepsi, terutama terkait pelaporan efek samping subjektif seperti mual atau nyeri perut.
Selain itu, mayoritas peserta penelitian berasal dari kelompok pria keturunan Eropa, khususnya pria seks dengan pria (PSP), sehingga generalisasi hasil untuk populasi lain menjadi terbatas. Hasil di lokasi non-urogenital (rektum dan faring) juga berasal dari jumlah sampel yang relatif kecil, padahal eradikasi di lokasi faring menunjukkan tingkat keberhasilan yang lebih rendah pada kelompok gepotidacin dibanding terapi standar, sehingga kesimpulan untuk lokasi ini masih perlu diperkuat.
Penggunaan batas non-inferioritas –10%, meskipun bisa diterima secara statistik, dapat dianggap cukup longgar secara klinis, terutama jika dikaitkan dengan angka efek samping yang lebih tinggi di kelompok gepotidacin. Selain itu, analisis yang dilaporkan terutama menonjolkan populasi micro-ITT, tanpa menyajikan analisis per-protocol yang dapat menggambarkan efektivitas ideal di kondisi terbaik.
Heterogenitas isolat juga menjadi catatan, karena sebagian besar isolat yang dianalisis adalah strain sensitif ceftriaxone. Padahal, kelompok pasien dengan strain resisten justru paling memerlukan alternatif terapi baru, tetapi data efektivitas pada kelompok ini tidak tersedia. Durasi pemantauan yang hanya sekitar 28 hari juga relatif singkat, sehingga data relapse atau reinfeksi jangka panjang tidak dapat ditangkap.
Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia
Hasil penelitian EAGLE-1 ini membuka peluang hadirnya alternatif terapi oral untuk gonorrhea urogenital tanpa komplikasi, terutama di wilayah Indonesia tertentu dengan akses layanan injeksi terbatas. Gepotidacin, dengan bentuk sediaan oral, berpotensi mempermudah penanganan pasien di puskesmas atau fasilitas primer yang kesulitan menyediakan ceftriaxone injeksi.
Namun, penggunaan obat baru ini tidak lepas dari tantangan logistik dan kebijakan. Hingga saat ini, gepotidacin belum tersedia secara komersial di Indonesia, sehingga masih perlu melewati proses registrasi, pengawasan BPOM, dan penentuan harga yang rasional agar dapat diakses tanpa membebani pasien atau sistem kesehatan.