Skrining Hipertensi pada Dewasa

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Hipertensi memiliki prevalensi yang tinggi dan merupakan faktor risiko berbagai penyakit, termasuk gagal jantung, infark miokard, stroke, dan penyakit ginjal kronis. Skrining hipertensi dan pemeriksaan tambahan perlu dilakukan untuk mencegah, menangani, dan mengetahui penyebab dasar hipertensi secara efektif. Hal ini dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat komplikasi penyakit kardiovaskular, di mana hipertensi adalah salah satu faktor risiko utama.[1-3]

Terdapat beberapa metode skrining hipertensi yang dapat digunakan pada pasien dewasa (≥18 tahun) yang tidak memiliki riwayat ataupun telah didiagnosis hipertensi. Pemeriksaan tekanan darah di klinik atau ruang praktik (office blood pressure measurement atau OBPM) merupakan metode skrining awal yang paling banyak digunakan.[1,2,4,5]

Skrining Hipertensi pada Dewasa-min

Berbagai Cara Pengukuran Tekanan Darah

Pengukuran tekanan darah merupakan prosedur utama untuk menegakkan diagnosis dan menentukan penatalaksanaan hipertensi.

Pengukuran Tekanan Darah di Klinik (Office Blood Pressure Measurement)

Dalam skrining hipertensi, pengukuran tekanan darah yang sering dilakukan adalah pengukuran tekanan darah di klinik  (office blood pressure measurement atau OBPM) dengan menggunakan sfigmomanometer manual atau otomatis. Pengukuran dilakukan pada arteri brachialis (lengan atas) dengan posisi pasien dalam keadaan duduk setelah 5 menit beristirahat.[1,6,7]

Meta analisis yang dilakukan oleh Guirguis Blake et al untuk US Preventive Services Task Force (USPSTF) menunjukkan bahwa sensitivitas OBPM sebagai skrining hipertensi pada 1 kali kunjungan dengan nilai ambang 140/90 mmHg adalah rendah, yaitu sebesar 54%. Meski demikian, spesifisitasnya cukup tinggi, yaitu 90%.[2]

Pemantauan Tekanan Darah Teknik Ambulatori (Ambulatory Blood Pressure Monitoring)

Pemantauan tekanan darah teknik ambulatori atau ambulatory blood pressure monitoring (ABPM) merupakan pemantauan tekanan darah di luar klinik dengan metode noninvasif yang melibatkan penggunaan perangkat untuk merekam dan melakukan pengukuran tekanan darah secara interval, setiap 20 hingga 30 menit, selama 12 hingga 24 jam saat pasien melakukan aktivitas normal atau tidur. Pada ABPM, alat pengukur tekanan darah diletakkan pada lengan yang tidak dominan, selanjutnya alat dapat ditutupi dengan baju yang digunakan dan pasien dapat beraktivitas seperti biasa.[1,6,8]

ABPM dapat menentukan diagnosis hipertensi dan memastikan diagnosis white coat hypertension atau peningkatan tekanan darah yang terjadi hanya pada saat pemeriksaan dilakukan di klinik didampingi oleh klinisi. [1,2,6] Sebuah studi berbasis populasi di Kenya menunjukkan bahwa pasien yang menjalani pemeriksaan tekanan darah 24 jam dengan ABPM memiliki rerata tekanan darah yang secara signifikan lebih rendah dibandingkan saat pemeriksaan di ruang praktik. Hal ini mengindikasikan bahwa ABPM dapat mencegah overestimasi hipertensi pada pasien.[9]

Pemantauan Tekanan Darah di Rumah (Home Blood Pressure Monitoring)

Pengukuran tekanan darah di rumah atau home blood pressure monitoring (HBPM) dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien atau dengan bantuan petugas kesehatan. Pasien dianjurkan untuk tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kopi atau teh selama 30 menit sebelum pengukuran, serta tidak menggunakan baju berlengan tebal. Pasien juga diwajibkan untuk duduk tenang minimal 5 menit sebelum mengukur tekanan darah.[1-4,6]

Sebelum memulai pengukuran tekanan darah, pasien harus duduk secara tepat di kursi dan bersandar (tidak dianjurkan duduk di sofa), kemudian pasien meletakkan lengan pada meja. Pasien dianjurkan untuk mengukur tekanan darah setiap hari pada waktu yang sama (pagi dan malam hari). Sebaiknya pengukuran tekanan darah dilakukan 2‒3 kali dengan selang waktu 1-2 menit kemudian lakukan pencatatan hasil pengukuran tekanan darah.[1-4,6]

HBPM digunakan untuk mengonfirmasi diagnosis hipertensi, menyingkirkan adanya white coat hypertension, memastikan kecurigaan adanya masked hypertension (tekanan darah normal saat diperiksa di klinik, namun pengukuran di luar klinik hasilnya menunjukkan tekanan darah yang meningkat), serta memantau keberhasilan terapi hipertensi.[2,6,8]

Pedoman European Society of Cardiology (ESC) dan European Society of Hypertension (ESH) 2018, serta pedoman American Heart Association (AHA) 2017 telah menyarankan pengukuran tekanan darah di luar ruang periksa (out-of office) seperti ABPM dan HBPM  untuk mengonfirmasi diagnosis hipertensi. Secara umum, HBPM lebih murah dan mudah dikerjakan dibandingkan ABPM. Namun, HBPM tidak mengukur tekanan darah saat pasien melakukan aktivitas harian rutin dan saat tidur, sehingga ada potensi error dan salah klasifikasi, misalnya pada pasien dengan tekanan darah yang tinggi di malam hari (high nocturnal blood pressure).[10]

Pengukuran Tekanan Darah dengan Ponsel Pintar

Saat ini, teknologi pengukuran tekanan darah dengan ponsel pintar juga tengah dikembangkan. Teknologi ini tentunya akan memudahkan pasien dalam melakukan penapisan hipertensi.

Beberapa studi tengah dijalankan untuk memanfaatkan kamera pada ponsel pintar sebagai sensor photoplethysmographic yang dapat menerima sinyal dalam bentuk gelombang yang bisa dikonversikan ke dalam satuan tekanan darah. Uji klinis acak terkontrol lanjutan masih dibutuhkan untuk memastikan akurasi dari teknologi ini.[17]

Rekomendasi Skrining Hipertensi

Skrining hipertensi berperan dalam pemantauan tekanan darah dan deteksi dini faktor risiko penyakit tidak menular (PTM) lain, seperti strokeinfark miokardgagal jantung, dan gagal ginjal. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk mengembangkan dan memperkuat skrining hipertensi pada usia dewasa secara aktif.[1,2,11,12]

Rekomendasi US Preventive Services Task Force (USPSTF)

USPSTF merekomendasikan skrining hipertensi untuk usia dewasa muda ≥18 tahun tanpa riwayat hipertensi yang diketahui, melalui pengukuran tekanan darah di klinik (OBPM). USPSTF juga merekomendasikan untuk dilakukan pengukuran tekanan darah di luar klinik, meliputi ABPM dan HBPM, sebagai konfirmasi diagnostik sebelum memulai penatalaksanaan hipertensi.[1,2]

Meskipun bukti tentang interval skrining hipertensi yang optimal masih terbatas, tetapi USPSTF merekomendasikan:

  • Skrining hipertensi dilakukan setiap tahun pada usia ≥ 40 tahun dan pada usia dewasa yang memiliki faktor risiko tinggi terhadap hipertensi, misalnya orang yang memiliki tekanan darah normal-tinggi, orang yang mengalami overweight, dan obesitas

  • Skrining hipertensi yang lebih jarang (setiap 3-5 tahun) dilakukan pada usia 18-39 tahun yang tidak memiliki faktor risiko tinggi terhadap hipertensi dan dengan hasil pengukuran tekanan darah normal sebelumnya[1]

skrininghipertensiUSPSTF

Gambar 1. Skema Skrining Hipertensi pada Usia Dewasa Berdasarkan Rekomendasi US Preventive Services Task Force (USPSTF)

Rekomendasi The American College of Cardiology dan American Heart Association

The American College of Cardiology dan American Heart Association (AHA) merekomendasikan OBPM sebagai metode skrining hipertensi dan untuk menentukkan penatalaksanaan hipertensi. Pada rekomendasi ini, juga dianjurkan untuk melakukan pengukuran tekanan darah di luar klinik melalui ABPM atau HBPM pada usia dewasa yang secara konsisten memiliki hasil pengukuran tekanan darah sistolik 120‒129 mmHg atau tekanan darah diastolik 75‒79 mmHg saat dilakukan pemeriksaan secara OBPM, yang dapat berperan dalam skrining masked hypertension.

Selain itu, dalam rekomendasi ini terdapat anjuran untuk melakukan skrining white coat hypertension pada usia dewasa yang secara secara konsisten memiliki hasil pengukuran tekanan darah sistolik 130‒160 mmHg atau tekanan darah diastolik 80‒100 mmHg saat OBPM.[1,2,13]

Rekomendasi The Seventh Joint National Committee

The Seventh Joint National Committee merekomendasikan skrining hipertensi setidaknya dilakukan setiap 2 tahun sekali pada usia dewasa dengan tekanan darah <120/80 mmHg dan skrining 1 kali setiap tahun pada usia dewasa yang memiliki tekanan darah sistolik 120–139 mmHg dengan tekanan darah diastolik 80‒89 mmHg.[1]

Pemeriksaan Tambahan Untuk Deteksi Penyakit Dasar

Pasien yang baru didiagnosis hipertensi umumnya harus menjalani beberapa pemeriksaan tambahan dasar sesuai indikasi, yang dapat meliputi elektrokardiogramurinalisis, glukosa darah puasa, hematokrit, elektrolit, ureum, kreatinin, perkiraan laju filtrasi glomerulus, kadar kalsium, dan profil lipid untuk mendeteksi adanya komorbiditas dan penyakit dasar (underlying disease).[1,14]

Penyakit ginjal dan hipertensi memiliki korelasi yang dapat saling memperburuk prognosis. Penyakit parenkim ginjal merupakan underlying disease dari hipertensi yang sering terjadi pada usia dewasa muda, yang ditunjukkan dengan peningkatan kadar serum kreatinin atau proteinuria pada pemeriksaan urinalisis.

Obstructive sleep apnea (OSA) juga dapat ditemukan pada pria berusia 40-59 tahun yang mengalami obesitas. Pasien yang mengalami tanda dan gejala OSA yang disertai dengan obesitas dan hipertensi serta aritmia jantung memerlukan pemeriksaan polisomnografi dan pemeriksaan oksimetri pada malam hari.[5,11,14]

Hipotiroid dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah diastolik, sedangkan hipertiroid dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik. Gangguan tiroid dapat terjadi pada semua spektrum usia, termasuk usia dewasa. Diperlukan pemeriksaan kadar thyroid-stimulating hormone (TSH) dan hormon tiroid untuk menegakkan diagnosis hipotiroid maupun hipertiroid.[5,14]

Penatalaksanaan Awal Hipertensi

National Institute for Health and Care Excellence (NICE) dari Inggris merekomendasikan penatalaksanaan awal hipertensi berupa terapi nonfarmakologi, yaitu modifikasi gaya hidup yang mencakup berolahraga, mengurangi stres dan konsumsi alkohol, berhenti merokok, melakukan diet rendah natrium, rendah lemak, dan tinggi serat, serta menurunkan berat badan bila mengalami kelebihan berat badan.[13,15,16]

Pasien hipertensi juga dianjurkan untuk rutin melakukan pemeriksaan tekanan darah dan mendiskusikan permasalahan tekanan darah, gaya hidup, gejala, dan penatalaksanaan lanjutan kepada klinisi. Pada hipertensi derajat I dengan risiko komplikasi penyakit kardiovaskular rendah, pemberian tata laksana farmakologi dapat ditunda. Pemerian farmakoterapi dipertimbangkan jika tekanan darah belum mencapai target dalam waktu 4‒6 bulan dengan modifikasi gaya hidup, atau jika terdapat faktor risiko penyakit kardiovaskular atau komorbiditas lain.[13,15,16]

Sementara itu, AHA merekomendasikan farmakoterapi dimulai jika :

  • Tekanan darah ≥ 130/80 mmHg disertai dengan penyakit kardiovaskular atau memiliki risiko penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar >10%; usia ≥65 tahun; dan memiliki komorbiditas seperti diabetes melitus, gagal jantung, angina pektoris stabil, penyakit arteri perifer, atau stroke lakunar
  • Tekanan darah ≥140/90 mmHg, meskipun tidak terdapat risiko penyakit kardiovaskular dalam 10 tahun sebesar 10% atau tidak memiliki riwayat penyakit kardiovaskular dan penyakit komorbid[13]

Kesimpulan

Skrining hipertensi pada orang dewasa sebaiknya dilakukan mulai usia ≥18 tahun dengan pengukuran tekanan darah di dalam klinik (OBPM), disertai pengukuran tekanan darah di luar klinik dengan teknik ambulatory atau pengukuran dirumah untuk mengonfirmasi diagnosis. Hingga kini belum ada bukti ilmiah adekuat terkait frekuensi per tahun dan interval dilakukannya skrining hipertensi. Secara umum, skrining dilakukan lebih sering pada pasien usia lebih tua atau mereka yang memiliki faktor risiko kardiovaskular.

Referensi