Efektivitas Percutaneous Tibial Nerve Stimulation pada Overactive Bladder

Oleh :
dr. Elisabet Augustina Sp.KFR

Percutaneous tibial nerve stimulation atau PTNS adalah teknik stimulasi elektrik yang digunakan sebagai salah satu penatalaksanaan overactive bladder dengan atau tanpa inkontinensia urine. Pengembangan teknik stimulasi elektrik pada kasus urologi sejatinya telah dimulai sejak tahun 1878, yang melibatkan kandung kemih, otot dasar panggul, dan saraf radiks sakralis. Lalu, pada akhir 1990-an, teknik PTNS lebih lanjut dikembangkan untuk overactive bladder.[1,2]

Setelah menegakkan diagnosis overactive bladder, yakni berupa kumpulan gejala urgency dengan atau tanpa inkontinensia urine yang bersifat idiopatik, dokter dapat melakukan terapi perilaku sebagai terapi lini pertama. Akan tetapi, bila terapi perilaku tidak memberikan hasil yang diharapkan, terapi farmakologi dapat digunakan. Bila kombinasi keduanya tidak memberikan manfaat, terapi lini ketiga seperti PTNS dapat dipertimbangkan.[3,4]

Efektivitas Percutaneous Tibial Nerve Stimulation pada Overactive Bladder-min

Mekanisme Kerja Percutaneous Tibial Nerve Stimulation pada Overactive Bladder

Sampai saat ini mekanisme kerja PTNS dalam mengurangi gejala gangguan berkemih masih belum diketahui pasti. Hipotesis yang dikemukakan adalah neuromodulasi. Konsep neuromodulasi ini merupakan penerapan stimulasi elektrik pada saraf yang bertujuan untuk mengubah proses transmisi saraf baik kondisi neurogenik maupun non-neurogenik.[3]

Pada refleks berkemih normal, sinyal aferen dari kandung kemih mengirimkan sinyal bahwa kandung kemih telah penuh kepada saraf eferen melalui interneuron di medulla spinalis. Kontrol ini dipengaruhi oleh sistem umpan balik supraspinal, baik umpan balik negatif untuk inhibisi berkemih atau umpan balik positif untuk inisiasi berkemih.[1,5]

Pada overactive bladder, sistem umpan balik supraspinal ini diperkirakan terganggu, sehingga neuromodulasi bekerja dalam pengaturan aktivitas kandung kemih. Caranya yaitu dengan mengaktivasi saraf aferen somatik perifer, yaitu nervus pudendal atau tibialis posterior yang akan menghambat sinyal aferen setingkat medulla spinalis, sehingga akan memutus refleks berkemih yang menyimpang.[1,5]

Panduan Penggunaan Percutaneous Tibial Nerve Stimulation pada Overactive Bladder

Food and Drug Administration (FDA) pada tahun 2007 telah menyetujui sejumlah alat stimulator PTNS untuk digunakan. Sebagai terapi semi-invasif, ada beberapa kondisi yang merupakan kontraindikasi terapi PTNS, yaitu pasien pengguna alat pacu jantung, pasien kerusakan saraf, pasien hamil, dan pasien koagulopati yang mempunyai risiko perdarahan.[6]

Peralatan terapi PTNS yang dibutuhkan antara lain: jarum khusus 34G, kasa alkohol untuk tindakan aseptik, dan set alat stimulator PTNS. Pasien diposisikan duduk dengan tungkai diluruskan dan dibersihkan dengan kapas alkohol. Dokter melakukan insersi jarum pada regio pergelangan kaki pasien, di posterior dari margin tulang tibia sekitar 5 cm arah cephalad dari malleolus medial.[7]

Pad elektroda ground ditempelkan pada sisi medial tulang kalkaneus. Selanjutnya, pad elektroda ground dan jarum dihubungkan melalui kabel ke alat stimulator PTNS dan alat dinyalakan. Impuls dari stimulator akan dihantarkan sepanjang nervus tibialis, masuk ke pleksus nervus sakralis, dan akhirnya menginhibisi kontraktilitas otot detrusor. Secara umum, PTNS dapat dilakukan 1 kali per minggu dengan durasi 30 menit per sesi, selama 12 minggu.[7]

Meskipun terbilang jarang, beberapa efek samping yang dapat terjadi adalah iritasi ringan, memar, perdarahan, rasa tidak nyaman hingga nyeri di area insersi jarum, rasa kesemutan, atau baal. Dalam studi Sustained Therapeutic Effects of PTNS (STEP) yang merupakan studi PTNS jangka panjang, efek samping yang dilaporkan adalah pancaran urine melambat, rasa tertarik pada kaki, dan rasa tertekan pada area kandung kemih.[1,8]

Pada studi yang membandingkan PTNS dengan anti-muskarinik, kejadian efek samping lebih sedikit secara signifikan pada kelompok PTNS. Efek samping yang ditemukan pada kelompok anti-muskarinik adalah mulut kering, konstipasi, pusing, dan gangguan penglihatan. Namun, kedua kelompok tidak menunjukkan efek samping serius dan melaporkan toleransi yang baik selama 12 minggu terapi.[1,8]

Basis Bukti Efektivitas Percutaneous Tibial Nerve Stimulation pada Overactive Bladder

Sejak disetujui oleh FDA di tahun 2007, PTNS menunjukkan harapan sebagai tata laksana overactive bladder. Terdapat beberapa penelitian, baik studi non-komparatif maupun komparatif yang menunjukkan efektivitas PTNS terhadap perbaikan gejala overactive bladder.[1,7]

Studi komparatif merupakan studi yang membandingkan PTNS dengan sham, terapi anti-muskarinik, atau terapi multimodal, yakni gabungan PTNS dan anti-muskarinik. Secara umum, luaran yang digunakan di penelitian-penelitian tersebut adalah perbaikan gejala secara objektif berupa pengurangan urgency, frekuensi, episode inkontinensia, serta perasaan subjektif perbaikan.[1,7]

Studi pada Orang Dewasa

Meta-analisis oleh Burton, et al. mendapatkan bahwa pada studi non-komparatif, tingkat keberhasilan perbaikan gejala objektif adalah 60,6% dan perbaikan subjektif adalah 61,4%. Ketika PTNS dibandingkan dengan sham dalam studi komparatif, terdapat pengurangan gejala secara signifikan pada kelompok PTNS.[6,9]

Kelompok yang mendapat PTNS memiliki kemungkinan perbaikan gejala 7 kali lebih tinggi daripada kelompok sham (RR:7,02; 95% CI 1,69–29,17). Hasil yang serupa juga didapatkan oleh studi Wibisono, et al. (RR:7,32; 95% CI=1,69–32,16) dengan number needed to treat 4,28 (95% CI 3,19–6,49).[6,9]

Dalam studi yang membandingkan PTNS dengan anti-muskarinik tolterodine 4 mg/hari pada pasien overactive bladder, tidak ada perbedaan signifikan antara kedua kelompok. Akan tetapi, perbaikan gejala dilaporkan lebih banyak pada pasien di kelompok PTNS (79,5%) daripada tolterodine (54,8%). Dalam studi perbandingan PTNS dan terapi multimodal, perbaikan gejala pada kelompok terapi multimodal tampak lebih signifikan daripada terapi PTNS tunggal.[1,7,9]

Studi pada Anak-Anak

Pada anak-anak, PTNS juga terbukti aman dan memiliki efek nyeri minimal. Sekitar 80% anak-anak dengan overactive bladder dilaporkan mengalami perbaikan gejala. Indikator visual analog scale (VAS) menunjukkan tidak ada nyeri berat saat terapi dan tingkat nyeri berkurang pada sesi ke-6 hingga ke-12. Dalam suatu studi, setelah mendapat PTNS, frekuensi berkemih normal 4–6 kali per hari dicapai oleh 16 dari 19 anak yang awalnya memiliki frekuensi berkemih abnormal.[1,7]

Studi tentang Efektivitas Jangka Panjang

Dari studi-studi di atas, terapi jangka pendek PTNS terbukti bermanfaat sebagai tata laksana overactive bladder. Studi STEP yang merupakan kelanjutan dari Study of Urgent PC versus Sham Effectiveness in Treatment of Overactive Bladder (SuMIT) juga telah meneliti efek jangka panjang pemberian PTNS.[8]

Dalam STEP, subjek dengan overactive bladder yang berhasil menjalani terapi PTNS selama 12 minggu kemudian melanjutkan protokol tapering selama 14 minggu. Subjek menunjukkan perbaikan gejala objektif yang signifikan dibandingkan dengan baseline, bulan ke-6, ke-12, ke-18, dan ke-24. Pada tahun ke-3, terdapat 77% subjek dengan overactive bladder yang merasakan bahwa perbaikan gejala masih bertahan setelah tidak terapi.[8]

Kesimpulan

Sebagai terapi semi-invasif, percutaneous tibial nerve stimulation (PTNS) merupakan salah satu opsi lini ketiga untuk tata laksana overactive bladder, yakni setelah terapi perilaku dan farmakoterapi.

Bukti ilmiah yang ada saat ini menunjukkan bahwa PTNS efektif memberikan manfaat pada pasien overactive bladder dari usia muda hingga usia dewasa. Manfaat terlihat dari adanya perbaikan gejala secara objektif maupun secara subjektif. Selain itu, PTNS juga memiliki efek samping minimal. Manfaat terapi PTNS juga tidak hanya bertahan dalam jangka pendek. Penambahan sesi terapi PTNS juga bermanfaat memberikan efek jangka panjang yang baik.

Referensi