Efikasi Suplementasi Zat Besi pada Anemia Preoperatif

Oleh :
dr. Queen Sugih Ariyani

Beberapa pedoman merekomendasikan untuk memberikan suplementasi zat besi pada pasien anemia sebelum operasi besar tetapi bukti ilmiah yang mendukung efikasinya masih belum cukup kuat.

Anemia merupakan keadaan yang umum terjadi pada pasien yang menjalani operasi besar, seperti operasi kolorektal, ginekologi, ortopedi, dan abdomen. Prevalensi anemia setelah operasi besar dapat mencapai 35%. Anemia dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien yang menjalani operasi. Suplementasi zat besi preoperatif menjadi pilihan untuk mengoptimalkan kondisi pasien sebelum operasi dan diharapkan dapat menurunkan kebutuhan transfusi darah.

shutterstock_177526232-min

Namun, hal ini masih menjadi pro dan kontra sebab beberapa uji acak terkontrol menunjukkan keuntungan klinis yang tidak signifikan dari pemberian suplementasi besi pada pasien anemia yang menjalani operasi.[1-3]

Dampak Anemia Preoperatif pada Luaran Klinis Setelah Operasi

Anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah sel darah merah atau penurunan hemoglobin yang menurunkan kapasitas pengangkutan oksigen pada darah. Berdasarkan kriteria WHO, seseorang dikatakan anemia jika kadar Hb <13 g/dL pada pria, Hb <12 g/dL pada wanita, dan Hb <11 g/dL pada wanita hamil. Penyebab anemia preoperatif yang paling sering adalah anemia defisiensi besi.

Keadaan anemia sebelum operasi dapat meningkatkan risiko komplikasi operasi, yaitu peningkatan kebutuhan transfusi darah, lamanya perawatan di rumah sakit, dan tingginya perawatan di ruang intensif. Prosedur transfusi darah sendiri juga menyumbang angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi.[3-5]

Penelitian kohort oleh Musallam et al. yang melibatkan 227.425 subjek menyimpulkan bahwa pasien dengan anemia preoperatif memiliki odds ratio sebesar 1,42 untuk mortalitas dalam 30 hari yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak anemia. Sebagai faktor yang dapat dimodifikasi, anemia preoperatif penting diidentifikasi terutama pada pasien dengan risiko kehilangan darah >500 mL selama prosedur operasi.[2]

Rekomendasi Pemberian Suplemen Besi Preoperatif sebagai Bagian dari Patient Blood Management

Oleh karena tingginya morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh anemia dan transfusi darah, banyak pusat pelayanan kesehatan yang melakukan optimalisasi pasien anemia sebelum operasi besar dilakukan, salah satunya dengan memberikan suplementasi besi, seperti ferrous sulfate. Suplementasi besi merupakan salah satu bagian dari patient blood management (PBM) yang sudah diterapkan pada beberapa pedoman. PBM sendiri merupakan pendekatan multimodal untuk mengurangi penggunaan transfusi darah yang tidak diperlukan dan untuk meningkatkan luaran klinis dan keselamatan pasien. PBM meliputi deteksi dini dan tata laksana anemia preoperatif, minimalisasi kehilangan darah intraoperatif, dan peningkatan toleransi terhadap anemia setelah operasi.[6,7]

The National Institute for Health and Care Excellence (NICE) merekomendasikan pemberian suplemen besi sebelum operasi pada pasien dengan anemia defisiensi besi. Walaupun terapi ini terbilang ekonomis dan mudah didapat, ada beberapa kendala terkait implementasinya. Suplemen besi dengan sediaan oral memiliki bioavailabilitas yang rendah, yaitu 10-15%, dan bisa lebih rendah dari persentase tersebut dengan adanya terapi penghambat pompa proton (seperti omeprazole) dan antasida, makanan, inflamasi, atau penyakit keganasan.

Selain itu, suplementasi besi memiliki efek samping terhadap gastrointestinal, seperti konstipasi, dispepsia, nyeri perut, dan diare, sehingga dapat menurunkan kepatuhan pasien terhadap terapi. Ditambah lagi, deteksi anemia dan tata laksana suplementasi besi preoperatif juga harus dilakukan minimal 4 minggu sebelum operasi berlangsung agar efek terapi dapat terlihat.

Pemberian terapi besi melalui rute oral masih menjadi lini pertama untuk anemia preoperatif. Jika pemberian suplemen besi oral tidak dapat ditoleransi, maka pemberian secara intravena dapat dilakukan. Sediaan besi intravena memiliki efek samping yang lebih sedikit daripada sediaan oral.[3,7,8]

Efikasi Suplementasi Besi pada Anemia Preoperatif

Sebuah meta analisis yang dilakukan oleh Ng et al. menganalisa 6 studi uji acak terkontrol dengan total subjek sebanyak 372 untuk mengevaluasi efek terapi besi preoperatif dalam menangani anemia. Studi dilakukan pada pasien yang menjalani operasi bedah kolorektal, bedah ginekologi, bedah ortopedi, dan bedah abdomen. Luaran primer dari studi ini adalah proporsi subjek yang menerima transfusi darah pada kelompok yang diterapi besi dibandingkan dengan plasebo.

Hasil menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi pasien yang menerima transfusi darah pada kelompok terapi besi, baik oral maupun intravena, dengan kelompok plasebo atau perawatan standar. Studi ini juga menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan kadar hemoglobin preoperatif setelah intervensi pada kedua kelompok tersebut.

Keterbatasan dari studi ini adalah jumlah subjek penelitian yang kurang mencukupi. Sampel yang dibutuhkan untuk mendeteksi 30% penurunan dari transfusi darah adalah 819 subjek sedangkan studi ini hanya menganalisa 372 subjek.[3]

Pemberian Suplemen Besi Oral vs Intravena

Sebuah meta analisis oleh Litton et al. dengan total sampel 10.605 menyatakan bahwa terapi besi intravena efektif dalam meningkatkan konsentrasi hemoglobin dan mengurangi risiko kebutuhan transfusi darah. Namun, potensi manfaat ini diimbangi oleh potensi peningkatan risiko infeksi. Jika dibandingkan dengan kelompok terapi besi oral dan kelompok plasebo atau perawatan standar, kelompok terapi besi intravena mengalami peningkatan risiko infeksi yang signifikan. Tidak ada perbedaan signifikan terhadap morbiditas dan mortalitas antara kelompok kelompok terapi besi intravena dan kelompok terapi besi oral maupun kelompok plasebo/perawatan standar.

Meskipun mempunyai sampel besar, studi ini mempunyai keterbatasan juga, yaitu luaran yang diteliti hanya tersedia dalam beberapa studi, dosis besi intravena yang digunakan bervariasi, dan adanya heterogenitas dalam menilai risiko kebutuhan transfusi dan terjadinya infeksi. Selain itu, kualitas studi-studi yang diikutkan pada meta analisis ini bervariasi dan secara umum risiko biasnya tinggi.[9]

Uji acak terkontrol yang dilakukan oleh Kim et al. membandingkan efikasi antara terapi besi oral dan intravena dan menyimpulkan bahwa penggunaan sediaan besi intravena lebih superior daripada sediaan oral dalam meningkatkan hemoglobin dan ferritin setelah operasi. Namun, tidak didapatkan perbedaan risiko untuk mendapatkan transfusi darah pada kedua kelompok ini.[10]

Kesimpulan

Anemia preoperatif merupakan keadaan yang sering ditemui dan menyumbang risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi pada pasien yang akan menjalani operasi.

Beberapa pedoman merekomendasikan untuk menatalaksana anemia preoperatif dengan suplementasi besi untuk mengoptimalkan kondisi pasien setelah operasi. Namun, studi-studi yang meneliti hal ini belum menunjukkan bukti ilmiah yang kuat untuk diaplikasikan dalam praktik sehari-hari.

Beberapa studi menunjukkan pemberian suplementasi besi tidak secara signifikan mengurangi angka kebutuhan transfusi darah setelah operasi pada pasien anemia preoperatif.

Studi lain menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan suplementasi besi oral, suplementasi besi intravena dapat meningkatkan hemoglobin dan mengurangi angka kebutuhan transfusi darah.

Oleh karena itu, studi lebih lanjut dengan sampel yang lebih besar dan desain yang baik diperlukan untuk menentukan efikasi dari suplementasi besi sebagai tata laksana anemia preoperatif.

Referensi