Asam Asetat Sebagai Alternatif Perawatan Luka Kronik

Oleh :
dr. Sandy S Sopandi

Asam asetat dapat digunakan sebagai alternatif dalam manajemen perawatan luka kronik. Infeksi pada luka kronik biasanya membentuk biofilm yang sulit di terapi dengan antibiotik konvensional biasa. Sehingga dibutuhkan terapi tambahan atau penunjang lainnya yang dapat mempengaruhi microenvironment dari biofilm. Belakang ini, terdapat beberapa pendekatan terbaru dalam terapi antimikrobial non konvensional untuk bio film luka kronik.[1-3]

Luka kronik terinfeksi adalah masalah kesehatan dengan dampak signifikan yang mempengaruhi beban perawatan. Luka kronik yang sulit sembuh ini menurunkan kualitas hidup pasien. Pasien kesulitan bersosialisasi dan bekerja akibat nyeri dan luka yang bau serta waktu yang terbuang akibat terapi yang sedang dijalani. Sehingga diperlukan perawatan luka kronik secara tepat untuk meningkatkan kualitas hidup pasien.[1,2]

shutterstock_284639714-min

Untuk menangani masalah ini, banyak metode perawatan luka telah digunakan, berkisar dari aneka dressing sederhana hingga modern. Asam asetat atau asam cuka adalah salah satu metode alternatif dalam manajemen luka kronik yang efektif dan memiliki berbagai keuntungan.[4] Asam asetat bekerja sebagai terapi antimikroba alternatif mentarget microenvironment bio film luka kronik dan secara tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan bakteri.[3]

Tahun 1916, Taylor pertama kali menggunakan larutan asam asetat 1% untuk merawat luka korban perang yang terinfeksi Bacillus pyocyaneus (sekarang dikenal sebagai Pseudomonas aeruginosa). Sejak itu, asam asetat telah diteliti sebagai metode perawatan luka yang potensial.[5]

Efektifitas Asam Asetat Sebagai Antimikroba Topikal

Asam cuka bekerja sebagai antimikroba topikal yang mentarget microenvironment bio film luka kronik dengan cara memodifikasi pH lokal. Salah satu faktor lokal yang berperan dalam penyembuhan luka adalah pH. Lingkungan basa (biasanya pH >6) dibutuhkan untuk pertumbuhan mikroorganisme patogen. Sejalan dengan penyembuhan luka, terdapat peralihan pH ke arah netral.[1] Oleh karena itu, berbagai jenis asam seperti asam asetat, asam borat, asam askorbat, asam alginat, dan asam hialuronat telah digunakan untuk merawat infeksi kulit dan jaringan lunak.[4,6]

Mekanisme Asam Asetat

Dengan penggunaan asam asetat, pH luka menurun sehingga pertumbuhan bakteri patogen terhambat. Aktivitas protease yang dihasilkan oleh bakteri dan luka itu sendiri akan berkurang dengan menurunnya pH. Lingkungan luka dengan pH yang rendah juga memperbaiki oksigenasi sel dengan efek Bohr, sehingga meningkatkan produksi oksigen radikal yang dibutuhkan untuk membunuh bakteri.[4,6] Asam asetat tidak hanya membunuh bakteri planktonik tetapi juga efektif terhadap biofilm.[5]

Manfaat asam asetat untuk mencegah pertumbuhan jamur telah ditunjukkan dengan penggunaannya sebagai pengawet makanan sejak lama. Inhibisi asam terhadap pertumbuhan jamur diduga berlangsung melalui mekanisme yang berbeda. Sel yang terasidifikasi membutuhkan energi lebih besar untuk mempertahankan homeostasis intrasel. Dugaan mekanisme lain mencakup gangguan membran sel, hambatan reaksi metabolik, akumulasi anion toksik, dan hambatan respirasi sel.[4]

Efektivitas Asam Asetat pada Luka kronik

Dalam studi oleh Agrawal, asam asetat 1% menunjukkan efektivitas terhadap berbagai varian bakteri, bahkan jamur. Bakteri-bakteri tersebut meliputi Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus, Acinetobacter, Escherichia coli, Proteus mirabilis, Klebsiella, MRSA (methicillin-resistant S. aureus), Streptococcus, Enterococcus, dan Citrobacter. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) semua organisme yang diisolasi dalam studi adalah ≤0,5%.[4]

Luka terinfeksi yang dirawat dengan asam asetat menunjukkan perbaikan dalam hal eksudat, bau, dan jaringan granulasi. Luka dengan perbaikan jaringan granulasi menunjukkan rerata pH 7. Dengan penggunaan dressing topikal yang efektif terhadap patogen, pasien tanpa infeksi sistemik dapat menghindari penggunaan antibiotika yang tidak diperlukan.[4]

Asam asetat juga mempercepat penyembuhan luka. Hal ini ditandai dengan berkurangnya ukuran luka, inflamasi, dan indurasi pada luka yang dirawat dengan asam asetat. Lingkungan dengan pH rendah meningkatkan aktivitas makrofag dan fibroblas, memacu angiogenesis, mengurangi kolagen abnormal di dasar luka, serta mengurangi toksisitas akibat produk metabolisme bakteri seperti amonia. Perbaikan oksigenasi pada lingkungan dengan pH rendah juga akan membantu proses penyembuhan luka karena oksigen diperlukan untuk sintesis kolagen dan epitelialisasi.[4,6]

Keuntungan lain yang dimiliki asam asetat sebagai pilihan dressing luka adalah sifatnya yang nontoksik, murah, dan banyak tersedia. Metode perawatan luka dengan asam asetat pun cukup sederhana sehingga dapat diajarkan kepada pasien dan/atau keluarga untuk perawatan luka di rumah.[4]

Tidak ditemukan efek samping signifikan pada penggunaan asam asetat kecuali sensasi menyengat yang dilaporkan oleh sebagian kecil pasien ketika pemakaian. Sensasi terbakar dan iritasi kulit biasanya disebabkan jika konsentrasi asam sangat tinggi. Studi klinis tidak menemukan bukti adanya efek sitotoksik yang dijumpai pada studi in vitro.[4]

Studi lain mengenai ulkus tekanan dan ulkus vena menganjurkan kewaspadaan akan risiko asidosis pada penggunaan asam asetat dalam jangka panjang untuk area luka yang luas. Asam asetat konsentrasi 5%, seperti yang ditemukan pada asam cuka, tidak mengandung bahaya. Di sisi lain, asam asetat konsentrasi 10-30% memiliki sifat korosif.[5,7]

Cara Penggunaan Asam Asetat

Belum ditemukan protokol penggunaan asam asetat yang baku dalam literatur. Untuk digunakan sebagai dressing luka, asam asetat dalam studi-studi yang dipublikasi memiliki konsentrasi 1%. Konsentrasi asam asetat dalam cuka sendiri biasanya berkisar antara 3-5%.[2,4]

Cuka dapat didilusi dengan normal saline untuk mencapai konsentrasi yang diharapkan. Asam asetat juga dapat diperoleh dari pelarutan garam sodium diasetat (NaHAc2) dengan efektivitas yang serupa.[1,5]

Setelah balutan dibuka, protokol studi oleh Agrawal meliputi perendaman luka dalam larutan asam asetat 0,1% selama 15 menit untuk menciptakan lingkungan yang asam. Pedoman lain mengenai ulkus vena tungkai menganjurkan agar pencucian luka dengan asam asetat 3% dipertimbangkan untuk mengurangi beban infeksi Pseudomonas bila intervensi lain gagal, tidak tersedia, atau tidak efektif.[4,7]

Studi lain menyebutkan bahwa irigasi dengan asam asetat 0,5% efektif membersihkan Pseudomonas aeruginosa dari dasar luka. Berikutnya, luka dibersihkan dengan normal saline. Kemudian luka ditutup dengan kassa Vaseline steril, kassa yang telah dibasahi dengan asam asetat 1% di atasnya, serta dressing penutup yang steril. Penggantian balutan dilakukan setiap hari.[4,6]

Asam asetat juga dapat digunakan sebagai bagian dari protokol perawatan luka dengan Negative Pressure Wound Therapy (NPWT). Sebuah studi menunjukkan efektivitas penyembuhan luka dengan dilakukannya irigasi asam asetat 1% dua kali sehari sementara tekanan negatif dipertahankan 125 mmHg.[5,8]

Selain itu asam asetat meningkatkan aktivitas antimikroba topikal lain seperti iodin dan perak. Penurunan pH meningkatkan kelarutan ion logam sehingga meningkatkan bioavailabilitas ion logam bebas yang aktif dalam luka.[6]

Kesimpulan

Asam asetat atau asam cuka merupakan alternatif dressing topikal yang efektif untuk perawatan luka, khususnya luka terinfeksi. Asam asetat mempengaruhi microenvironment dari biofilm dengan cara mengubah pH lokal jaringan luka. Hal ini menyebabkan pertumbuhan bakteri patogen terhambat dan kematian bakteri.

Asam asetat tersedia secara non toksik, bebas, mudah, dan tidak ditemukan efek samping yang berat sehingga dapat diajarkan ke pasien untuk melakukan terapi secara mandiri. Namun, asam asetat konsentrasi tinggi memiliki efek korosif sehingga pemberiannya patut dipantau. Penggunaan asam asetat dengan protokol  lain terbukti meningkatkan keefektivitasan modalitas lain seperti NPWT, iodin dan perak.

Akan tetapi sampai saat ini belum ada studi lebih lanjut untuk membangun pedoman penggunaan asam asetat yang baku, terutama perihal konsentrasi yang aman dan efektif sebagai antimikroba serta cara aplikasi klinis yang efisien. Sehingga penggunaannya harus masih dalam pengawasan dokter maupun petugas medis.

Referensi