Apakah Dokter Wajib Memberikan Bantuan Medis dalam Penerbangan?

Oleh :
dr. Michael Sintong Halomoan

Banyak dokter yang ragu dalam memberikan bantuan medis apabila terdapat kegawatdaruratan dalam penerbangan. Penumpang pesawat terbang tidak memiliki akses segera terhadap pelayanan kesehatan bila terjadi kejadian kegawatdaruratan medis. Di lain pihak, dokter kerap ragu memberi bantuan karena tidak yakin dengan aspek etika kedokteran dan medikolegal dari pemberian pertolongan medis selama penerbangan.

Permasalahan dalam Pemberian Bantuan Medis Selama Penerbangan

Penerbangan komersial terus melayani jumlah penumpang yang semakin meningkat. Di Indonesia sendiri, lebih dari 156 juta penumpang menggunakan jasa penerbangan komersial domestik sepanjang tahun 2019. Banyaknya jumlah penumpang penerbangan komersial tentunya diikuti dengan peningkatan risiko terjadinya kejadian medis dalam penerbangan. Berbagai faktor, seperti durasi penerbangan, hipoksia relatif, dan kelembaban dapat menjadi stresor bagi penumpang, terutama populasi berisiko seperti lansia dan pasien dengan penyakit kronis.[1-3]

pesawatsakit

Pada kejadian medis dalam penerbangan, awak kabin pesawat akan menanyakan kepada penumpang mengenai keberadaan dokter atau tenaga kesehatan lainnya untuk memberikan bantuan medis. Dokter dapat menghadapi berbagai dilema dalam memenuhi panggilan awak kabin pesawat, seperti kurangnya peralatan dan obat-obatan, ketidakpastian diagnosis, situasi kabin yang penuh dengan penumpang lain, hingga ketidaksiapan dokter sendiri dalam menangani kegawatdaruratan medis dalam penerbangan. Berbagai kondisi ini dapat mempengaruhi keinginan dokter dalam menyampaikan identitas diri sebagai klinisi dan memberikan bantuan medis.[1,2]

Kondisi Kabin Pesawat yang Tidak Biasa Bagi Dokter

Kondisi kabin pesawat terbang tentunya tidak sama dengan kondisi saat dokter biasanya menemui pasien di klinik maupun rumah sakit. Terdapat perbedaan ketinggian yang akan mempengaruhi tekanan atmosfer, menimbulkan ekspansi gas, serta perbedaan dari kualitas udara.

Tekanan Atmosfer:

Tekanan atmosfer dalam kabin pesawat tidak selalu sama pada setiap penerbangan, di mana tekanan atmosfir dalam kabin pesawat dapat menjadi lebih rendah pada ketinggian jelajah pesawat yang lebih tinggi.

Penurunan tekanan atmosfer dalam kabin pesawat dapat menyebabkan penurunan tekanan oksigen dalam kabin. Misalnya pada ketinggian jelajah 8.000 kaki, tekanan oksigen kabin berada pada 108 mmHg bila dibandingkan dengan 148 mmHg pada ketinggian permukaan laut.

Penurunan tekanan oksigen dapat menyebabkan hipoksia, terutama pada pasien dengan penyakit kardiopulmoner. Pada kasus tertentu, seperti penumpang dengan riwayat menyelam atau scuba diving dalam 24 jam sebelum penerbangan, penurunan tekanan atmosfer dalam kabin dapat menyebabkan decompression sickness.[1,4-6]

Ekspansi Gas:

Selain itu, kondisi ketinggian jelajah pesawat juga mempengaruhi peningkatan ekspansi gas dalam kabin. Misalnya pada ketinggian jelajah 8.000 kaki dengan tekanan atmosfir 564 mmHg tanpa disertai perubahan suhu, volume gas akan mengalami ekspansi sekitar 30% hingga 35%. Ekspansi gas tidak hanya terjadi dalam kabin, namun juga terjadi dalam kavitas tubuh manusia dengan ruangan udara tertutup, seperti sinus, telinga tengah, saluran cerna, dan gigi. Ekspansi gas juga dapat terjadi pada ruangan tidak terduga yang timbul akibat penyakit tertentu, seperti luka bekas operasi, bula pada paru, maupun pneumothorax yang tidak terdiagnosis. Ekspansi gas pada lokasi tersebut dapat menyebabkan kejadian barotrauma dengan gejala ringan hingga berat.[1,4-6]

Kualitas Udara Kabin:

Kualitas udara kabin pesawat pun dapat menjadi permasalahan tersendiri. Udara dalam kabin pesawat bersumber dari lingkungan luar pesawat, di mana udara memiliki kelembaban yang sangat rendah. Pada jenis pesawat terbaru, kelembaban udara dapat dipertahankan pada sekitar 15% hingga 20%. Udara yang kering dapat menyebabkan terjadinya dehidrasi, iritasi pada mukosa, hingga eksaserbasi penyakit seperti asthma bronkial.[1,4-6]

Ketidaksiapan Dokter Menghadapi Kegawatdaruratan Medis dalam Penerbangan

Keengganan dokter dalam menyampaikan identitas dirinya sebagai tenaga medis yang mampu memberikan bantuan medis juga dapat disebabkan oleh ketidaksiapan dokter. Sebuah penelitian dilakukan terhadap 182 dokter layanan primer di Malaysia mengenai pengetahuan dan kepercayaan diri dokter dalam menangani kegawatdaruratan medis dalam penerbangan menunjukkan bahwa hanya 11,5% dari dokter subjek penelitian yang merasa percaya diri dalam menangani kegawatdaruratan dalam penerbangan. 69,2% subjek menyatakan akan memberikan bantuan medis, namun angka ini menurun hingga 51,1% bila sudah ada orang lain yang menawarkan bantuan atau bila kejadian kegawatdaruratan tidak familiar.[7]

Aspek Medikolegal Bantuan Medis Oleh Dokter Pada Penerbangan

Aspek medikolegal merupakan dasar bagi dokter dalam memberikan bantuan medis pada kejadian kegawatdaruratan dalam penerbangan. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, Kanada, dan Inggris, tidak mewajibkan dokter secara hukum untuk memberikan bantuan medis pada kasus kegawatdaruratan medis dalam penerbangan di negaranya. Meskipun Inggris tidak mewajibkan bantuan medis oleh dokter secara hukum, namun dokter tetap memiliki kewajiban etik dalam memberikan bantuan terhadap kejadian kegawatdaruratan medis di manapun, termasuk dalam penerbangan. Beberapa negara lain, seperti Australia dan beberapa negara di Uni Eropa, mewajibkan tenaga kesehatan untuk memberikan bantuan medis dalam penerbangan.[1,5,8-11]

Dasar Hukum Bantuan Medis Oleh Dokter dalam Penerbangan

Di Indonesia sendiri, belum ada aturan hukum yang membahas bantuan medis dalam penerbangan secara spesifik. Ketentuan tentang kegawatdaruratan medis dalam penerbangan juga tidak ditemukan dalam UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

Wajib Memberi Pertolongan Terhadap Kegawatdaruratan Medis Dimanapun:

Namun, secara hukum, dokter diwajibkan memberikan pertolongan terhadap kejadian kegawatdaruratan medis di manapun. Hal ini tertuang dalam UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 51d yang berbunyi, “Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya.”

Hal yang serupa juga tertuang dalam UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 59 Ayat 1 yang berbunyi, “Tenaga Kesehatan yang menjalankan praktik pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan wajib memberikan pertolongan pertama kepada Penerima Pelayanan Kesehatan dalam keadaan gawat darurat dan atau pada bencana untuk penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan.”[12-14]

Ketentuan Pidana:

Secara hukum pidana, kewajiban dokter sebagai warga negara melakukan pertolongan terhadap kegawatdaruratan tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 531 yang berbunyi, “Barang siapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

Adapun pelanggaran terhadap UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal 51d dapat menyebabkan hukuman pidana bagi dokter dengan pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda paling banyak lima puluh juta rupiah.[13,15]

Dasar Etik Bantuan Medis Oleh Dokter dalam Penerbangan

Setiap dokter melaksanakan tugas profesinya dengan dasar etika profesi, termasuk dalam pertimbangan memberikan bantuan medis dalam penerbangan, di mana semua dokter telah melafalkan sumpah dokter yang salah satunya berbunyi, “Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.” Selain sumpah dokter, dasar etik bagi dokter dalam memberikan bantuan medis dalam penerbangan adalah Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) tahun 2012 pasal 17 mengenai Pertolongan Darurat yang berbunyi, “Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.”[16,17]

Terdapat dua cakupan Pasal 17 yang dapat menjadi dasar etik dalam memberikan bantuan medis, yaitu:

  • Pasal 17 cakupan pasal butir (1) yang berbunyi, “Seorang dokter wajib menilai diperlukannya Bantuan Hidup Dasar atau tidak bagi setiap pasien saat panggilan pertolongan darurat yang diterimanya di lingkungan sekitarnya”
  • Pasal 17 cakupan pasal butir (2) yang berbunyi, “Dalam hal pasien membutuhkan Bantuan Hidup Dasar, dokter wajib bersedia melaksanakannya kepada pasien dimaksud segera setiba di tempat kejadian sesuai standar prosedur operasional yang berlaku.”

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa secara etik, dokter wajib memberikan bantuan terhadap kejadian kegawatdaruratan medis di manapun, termasuk dalam penerbangan.[16,17]

Perlindungan Hukum Bagi Dokter dalam Memberikan Bantuan Medis

Perlindungan hukum juga dapat menjadi dasar keraguan dokter dalam memberikan bantuan medis dalam penerbangan. Di Amerika Serikat, peraturan spesifik terhadap perlindungan tenaga kesehatan dalam memberikan bantuan medis dalam penerbangan tertuang dalam Aviation Medical Assistance Act, di mana tenaga medis tidak dapat dituntut atas dugaan malpraktik saat memberikan bantuan medis dalam penerbangan di Amerika Serikat selama tenaga medis tersebut tidak dengan sengaja menyebabkan bahaya (harm) terhadap pasien.

Selain itu, tenaga medis yang memberikan bantuan medis dalam penerbangan di Amerika Utara juga terlindungi oleh hukum Good Samaritan, di mana setiap orang yang memberikan pertolongan darurat terhadap mereka yang dianggap mengalami kasus kegawatdaruratan, maka orang tersebut tidak dapat dituntut atas dugaan menyebabkan bahaya (harm).[1,6,9,10]

Perlindungan Hukum di Indonesia:

Perlindungan hukum Indonesia bagi dokter dalam menjalankan tugasnya secara umum diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28d yang berbunyi, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.” Secara lebih spesifik, perlindungan terhadap dokter dalam menjalankan tugasnya tertuang dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 27 Ayat 1, UU Nomor 36 Tahun 2014 Tentang Tenaga Kesehatan Pasal 57a, dan UU Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 50a, di mana selama seorang dokter menjalankan tugasnya sesuai dengan standar prosedur, maka dokter berhak akan perlindungan hukum.[13,14,18,19]

Selain itu, menurut UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal 58 Ayat 1, setiap orang yang mengalami kerugian akibat kelalaian atau kesalahan tenaga kesehatan memang dapat mengajukan tuntutan ganti rugi, namun kerugian ini tidak dapat dituntut terhadap tenaga medis yang melakukan bantuan medis dalam kegawatdaruratan. Hal ini tertuang dalam Ayat 2 yang berbunyi, “Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.”[19]

Prosedur Bantuan Medis dalam Penerbangan

Terdapat dua jenis kegawatdaruratan medis dalam penerbangan berdasarkan penyebabnya, yaitu terkait cedera dalam penerbangan dan terkait riwayat penyakit sebelumnya. Dalam suatu kejadian medis, awak kabin akan melakukan pemeriksaan sederhana terhadap pasien, seperti kesadaran, beratnya gejala, dan kemungkinan penyebab. Bila terjadi penurunan kesadaran, awak kabin akan melakukan pemeriksaan dan bantuan hidup dasar bila diperlukan pada airway, breathing, dan circulation. Awak kabin juga akan menyampaikan kejadian medis kepada pilot dan menyiapkan emergency kit.

Pada setiap kejadian medis yang membutuhkan pemeriksaan segera oleh tenaga kesehatan, awak kabin akan menyampaikan pengumuman kepada penumpang untuk mengetahui keberadaan dokter atau tenaga kesehatan lainnya. Bila terdapat penumpang dokter atau tenaga kesehatan lainnya, maka penumpang tersebut akan diminta untuk memeriksa pasien dan menyampaikan saran tindak lanjut kepada awak kabin. Dokter atau tenaga kesehatan juga akan melakukan penatalaksanaan sesuai diagnosis yang ditegakkan terhadap pasien.

Bila tidak didapatkan respon dari penumpang terhadap pengumuman yang disampaikan oleh awak kabin, maka awak kabin akan menghubungi penyedia jasa kegawatdaruratan aeromedis bila terdapat kerjasama antara maskapai dan penyedia jasa. Beberapa maskapai internasional juga memiliki daftar dokter di daratan yang dapat sewaktu-waktu dihubungi oleh awak kabin bila terjadi kegawatdaruratan medis. Penyedia jasa maupun dokter ini dapat dihubungi dengan telepon satelit maupun telepon radio frekuensi tinggi. Melalui metode komunikasi ini, dokter dapat menerima informasi mengenai pasien dan memberikan saran kepada awak kabin mengenai tindak lanjut yang perlu dilakukan.

Keputusan untuk mengalihkan penerbangan ke bandara terdekat (flight diversion) dilakukan oleh pilot dengan mempertimbangkan saran dari dokter dalam penerbangan atau dokter di daratan.[2,20,21]

Kesimpulan

Secara medikolegal, dokter memiliki kewajiban melakukan pertolongan kegawatdaruratan medis dimanapun, termasuk selama penerbangan. Dokter juga mendapat perlindungan hukum dalam melakukan hal tersebut seperti tertuang dalam UU Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dokter selama memberi pertolongan kegawatdaruratan dalam penerbangan adalah adanya perbedaan kondisi lingkungan kabin dengan kondisi di daratan. Selain itu, tentu saja ada masalah terkait kesiapan dokter dan ketersediaan alat medis dalam penerbangan.

Referensi