Kajian Etik dan Medikolegal Mengenai Menolak Pasien

Oleh :
dr. Paulina Livia Tandijono

Seorang dokter perlu mengetahui dasar etik dan medikolegal seputar praktik kedokteran, salah satunya mengenai menolak pasien. Apalagi, fenomena “dokter menolak pasien” sering kali dijadikan alasan pihak-pihak tertentu untuk menggiring dokter ke balik jeruji.

Perjanjian Terapeutik

Perjanjian terapeutik adalah kesepakatan antara dokter/dokter gigi dan pasien yang diatur dalam UU Praktik Kedokteran Pasal 39 dan Permenkes RI No. 512/PER/IV/2007 Pasal 14. Kedua aturan tersebut menyatakan bahwa kesepakatan antara dokter/dokter gigi dan pasien berdasarkan atas kepercayaan. Kesepakatan ini sering kali dikenal dengan istilah perjanjian/kontrak/transaksi terapeutik. Bentuk kesepakatan ini adalah perjanjian untuk melakukan usaha menyembuhkan pasien, bukan menjanjikan hasil berupa kesembuhan.[1-4]

Depositphotos_118763264_m-2015_compressed

Namun, dalam praktiknya, sering kali terjadi kesalahpahaman kedua pihak mengenai perjanjian terapeutik ini. Dalam perjanjian ini, dokter memiliki kewajiban untuk melakukan upaya terapeutik sesuai standar (standar pelayanan, profesi, dan prosedur operasional) serta kebutuhan medis pasien. Dokter tidak pernah menjanjikan kesembuhan. Di sisi lain, pasien sering berasumsi bahwa praktik medis harus menghasilkan kesembuhan dan hasil yang buruk dari praktik kedokteran adalah malpraktek.[1,2]

Seperti yang dijelaskan di atas, praktik kedokteran merupakan kesepakatan antara dokter dan pasien berdasarkan kepercayaan. Dalam suatu kesepakatan, diperlukan persetujuan dari kedua pihak. Persetujuan tidak perlu secara tertulis, dapat secara verbal atau tindakan implisit lainnya. Di Indonesia, tidak ada batasan atau aturan mengenai cara kedua belah pihak memberikan persetujuan dalam perjanjian terapeutik.

Beberapa sumber menyatakan bahwa persetujuan dari pihak dokter dapat ditandai dengan memperbolehkan pasien mendaftar atau memberikan nomor urut. Sementara itu, sumber yang lain menyatakan bahwa persetujuan diberikan setelah dokter menyatakan bersedia mengobati pasien. Selain itu, dalam suatu kesepakatan, terdapat hak dan kewajiban kedua belah pihak yang diatur dalam UU No. 29 tahun 2004 Pasal 50, 51, 52, dan 53. [1,2,5]

Kajian Penolakan Pasien di Indonesia

Indonesia juga memiliki dasar hukum mengenai penolakan pasien. Sayangnya, hal ini jarang diketahui oleh tenaga medis, termasuk dokter. Padahal, dokter wajib mengetahui dasar hukum seputar praktik kedokteran agar lebih berhati-hati dalam bertindak. Berikut adalah dasar hukum mengenai kondisi di mana dokter boleh dan tidak boleh menolak pasien.

Kondisi di mana Dokter tidak boleh Menolak Pasien

Berikut adalah kondisi di mana dokter tidak boleh menolak pasien.

Keadaan Gawat Darurat:

Dalam UU No. 36 tahun 2009 Pasal 32 dan UU No. 36 tahun 2014 Pasal 59 menyatakan bahwa dokter dan rumah sakit  tidak boleh menolak pasien dan/atau meminta uang muka jika pasien dalam keadaan gawat darurat. Secara tidak langsung, kedua dasar hukum tersebut juga menyatakan bahwa dokter tidak boleh menolak pasien karena alasan biaya pada kondisi gawat darurat. Dalam UU Kesehatan Pasal 190, penolakan pasien yang dalam kondisi gawat darurat dapat menyebabkan hukuman pidana.[6,7]

Rumah sakit/Dokter tidak Bekerja sama dengan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan:

Jika rumah sakit atau dokter tidak tergabung dalam BPJS kesehatan dan pasien adalah pengguna BPJS kesehatan, perlu dilihat kondisi pasien. Jika kondisinya gawat darurat, diberikan pertolongan untuk menyelamatkan nyawa atau mencegah kecacatan. Setelah pasien stabil, segera dirujuk ke rumah sakit yang bekerja sama dengan BPJS kesehatan. Hal ini diatur oleh Peraturan BPJS 1/2014 Pasal 47 dan 63.[8]

Kondisi di mana Dokter Boleh Menolak Pasien

Dalam Permenkes 1/2012 Pasal 7 dan 9, dokter boleh tidak menangani pasien karena alasan berikut:

  • Dokter tidak kompeten dan ada dokter lain yang lebih kompeten untuk mengobati penyakit pasien.
  • Fasilitas rumah sakit tidak memadai atau rumah sakit penuh.[9]

Cara Menolak Pasien

Meskipun dalam kondisi di atas dokter diperbolehkan untuk tidak menangani pasien, bukan berarti dokter menolak pasien “mentah-mentah”. Dokter wajib menjelaskan kepada pasien mengenai alasan penolakan. Selain itu, Dokter wajib memfasilitasi pasien agar dirujuk ke dokter/rumah sakit lain yang memiliki kompetensi/fasilitas untuk menangani pasien.

Pasien dan keluarga dapat membantu untuk mencari tempat rujukan. Namun, proses merujuk sebaiknya tetap dilakukan dokter agar tidak dianggap menelantarkan pasien. Sebab, UU Rumah Sakit Pasal 41 menyatakan bahwa pemerintah dan asosiasi rumah sakit diwajibkan untuk membentuk jejaring rujukan.

Secara tidak langsung, aturan ini menyatakan bahwa rujukan seharusnya diurus oleh pihak rumah sakit menggunakan jejaring yang sudah ada. Meskipun dalam praktiknya, tidak seluruh daerah memiliki jejaring rujukan seperti yang dimaksud UU Rumah Sakit Pasal 41.[10]

Kondisi Khusus terkait Menolak Pasien

Berikut adalah beberapa kondisi khusus terkait menolak pasien.

Kepercayaan Dokter

Belum ada hukum di Indonesia maupun di negara lain yang secara eksplisit memperbolehkan atau melarang dokter untuk menolak pasien berdasarkan kepercayaan dokter.

Pasien Tidak Patuh

Pasien terkadang tidak mau mematuhi perintah dokter (misalnya tidak mau minum obat, tidak mau berhenti merokok). Hal ini dapat dianggap melanggar kewajiban pasien yang tertera pada UU No. 29 tahun 2004 Pasal 53. Jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya, perjanjian terapeutik dapat dianggap gagal.

Namun, tidak ada dasar hukum di Indonesia yang secara eksplisit menyatakan bahwa dokter boleh menolak pasien yang tidak mau mematuhi dokter. Sementara itu, beberapa sumber mengatakan bahwa menurut atau tidaknya pasien adalah hak otonomi pasien sehingga tidak dapat dijadikan alasan untuk memutuskan perjanjian terapeutik.[1,2]

Kebijakan mengenai Menolak Pasien di Negara Lain

Setiap negara memiliki aturan yang berbeda-beda. Salah satu contoh yang diberikan dalam artikel ini adalah kebijakan di Amerika Serikat. Di negara tersebut, pertimbangan untuk bertindak didasarkan pada pernyataan organisasi dan kode etik. Meskipun demikian, pernyataan dan kode etik tersebut tidak dapat menjadi landasan hukum, hanya pedoman moral bagi dokter.

Di Amerika Serikat, dokter tidak boleh menolak pasien dengan keadaan sebagai berikut:

Pasien Menderita Penyakit Tertentu

American Board of Internal Medicine mengeluarkan pernyataan bahwa dokter tidak boleh menolak pasien yang menderita penyakit tertentu (misalnya HIV/AIDS dan tuberkulosis) jika penyakit tersebut masih dalam kompetensinya.

Diskriminasi

American Medical Association pada tahun 1986 menyatakan bahwa dokter tidak boleh menolak pasien karena alasan ras, warna kulit, kepercayaan, kebangsaan, orientasi seksual, dan hal lain yang termasuk dalam diskriminasi.

Pasien Tidak Patuh

Survei pada tahun 2008 di Amerika Serikat menunjukkan bahwa hampir seperempat dokter ingin menolak pasien yang tidak patuh. Padahal, secara etik hal ini tidak diperbolehkan. Pada tahun 2013, ketua bidang etik dari American College of Physicians menyatakan bahwa dokter tidak boleh mendiskriminasi pasien yang merokok, obesitas, atau tidak mematuhi instruksi pengobatan dari dokter. Justru, pasien-pasien inilah yang paling membutuhkan bantuan dokter.[11,12]

Berdasarkan kode etik di Amerika Serikat, dokter boleh menolak pasien dengan alasan berikut:

  • Dokter tidak kompeten untuk menangani penyakit yang diderita pasien dan pasien sebenarnya dapat dirujuk ke dokter lain yang kompeten.
  • Fasilitas di rumah sakit/praktik pribadi penuh atau tidak memadai.
  • Kondisi yang memerlukan triase, misalnya bencana alam.
  • Pasien membahayakan atau mengancam keselamatan dokter.
  • Jika membantu pasien malah memosisikan dokter dalam keadaan berbahaya. Misalnya dokter menawarkan donor ginjal kepada pasiennya.
  • Jika membantu pasien malah membahayakan pasien. Misalnya dokter terinfeksi HIV/AIDS atau hepatitis C. Namun, dokter tetap melakukan prosedur medis yang meningkatkan risiko penularan terhadap pasien.[11]

Selain kondisi di atas, terdapat kondisi lain yang masih diperdebatkan. Misalnya kepercayaan atau agama yang dipeluk dokter bertentangan dengan prosedur medis yang diinginkan pasien. Sebagai contoh dalam agama Katolik, tidak diperbolehkan melakukan program bayi tabung.

Jika seorang dokter menolak melakukan program bayi tabung karena kepercayaannya, apakah hal tersebut diperbolehkan? Hingga saat ini, belum ada hukum di Amerika Serikat yang secara eksplisit memperbolehkan atau melarang dokter untuk menolak pasien berdasarkan kepercayaannya.[13]

Kesimpulan

Dokter tidak boleh menolak pasien dalam kondisi gawat darurat. Pada kondisi yang tidak gawat darurat, dokter boleh tidak menangani pasien dengan alasan:

  • Dokter tidak kompeten dan ada dokter lain yang lebih kompeten.
  • Fasilitas rumah sakit tidak memadai atau penuh.

Jika dokter harus menolak/tidak menangani pasien, dokter perlu menjelaskan alasan penolakan kepada pasien dan memfasilitasi proses rujukan. Masih banyak kondisi-kondisi yang belum diatur oleh hukum di Indonesia. Oleh karena itu, dokter sebaiknya tetap menangani seluruh pasien dengan sebaik-baiknya, termasuk pasien yang tidak patuh.

Referensi