Hubungan Pemberian Antibiotik pada Kedokteran Gigi dengan Infeksi Clostridium difficile

Oleh :
dr. Nathania S. Sutisna

Infeksi Clostridium difficile banyak disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan indikasi dan dosis, diantaranya pemberian antibiotik dalam praktek kedokteran gigi. Sehingga, perlu kewaspadaan terhadap pemberian antibiotik yang diberikan untuk prosedur dental.[1]

Prevalensi Infeksi Clostridium difficile di Indonesia

Clostridium difficile adalah bakteri basilus, gram positif, anaerob, membentuk spora, menghasilkan toksin, dan ditularkan melalui rute fekal-oral. Dahulu dianggap bakteri ini komensal, tetapi hasil studi saat ini menemukan bahwa C. difficile merupakan bakteri patogen penyebab diare atau kolitis.[1-3]

shutterstock_642753937-min

Collins et al meneliti prevalensi C. difficile infection (CDI) di Indonesia pada tahun 2017, di empat rumah sakit di provinsi Jawa Tengah. Penelitian mengumpulkan sampel tinja dari 340 pasien diare. Hasil penelitian menunjukkan 70 (20,6%) pasien GDH positif (glutamate dehydrogenase), dengan toksin terdeteksi pada 19 (5,6%) pasien dan nontoksin pada 51 (15.0%) pasien. Prevalensi tersebut relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara tetangga.[3]

Pengawasan morbiditas CDI di Indonesia belum secara luas, karena sumber daya untuk menegakkan diagnosis tidak memadai. Namun, penggunaan antibiotik yang tidak tepat secara meluas di Indonesia masih mengkhawatirkan.[3]

Penggunaan Antibiotik Sebagai Faktor Risiko Infeksi Clostridium difficile

Faktor risiko Clostridium difficile infection (CDI) adalah penggunaan antibiotik, seperti ampicillin, amoxicillin, sefalosporin, clindamycin, dan fluoroquinolone, dirawat di rumah sakit, dan lansia, terutama yang tinggal di panti. Sehingga kolitis akibat CDI disebut sebagai  healthcare associated diarrhea. Data dari CDC menunjukkan bahwa kasus CDI di Amerika Serikat pada tahun 2011 hampir setengah juta,  di mana 29.000 pasien meninggal dalam waktu 1 bulan setelah didiagnosis.[1,2,4]

Penggunaan antibiotik yang tidak tepat dosis maupun indikasi dapat menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem flora normal pada mukosa usus. Hal ini  memungkinkan C. difficile bereplikasi dan mengeluarkan racun pada saluran cerna, sehingga menyebabkan peradangan.[1,2,5]

Beberapa peneliti menemukan bahwa peresepan antibiotik untuk prosedur dental terbilang tinggi. Terutama untuk pasien berusia lebih tua (>45 tahun), dan seringkali menerima clindamycin. Obat clindamycin merupakan antibiotik yang dilaporkan lebih berkaitan erat dengan diare akibat CDI jika dibandingkan dengan antibiotik lain (50% vs 10%).[4]

Penggunaan Antibiotik pada Kedokteran Gigi

Terdapat studi yang menunjukkan peningkatan angka peresepan antibiotik oleh dokter gigi, walaupun secara keseluruhan angka peresepan antibiotik telah menurun. Studi oleh Marra et al melaporkan bahwa dari tahun 1996‒2013 secara keseluruhan penggunaan antibiotik secara keseluruhan menurun. Peresepan oleh dokter menurun 18,2%, tetapi peresepan oleh dokter gigi meningkat 62,2%. Tingkat peresepan meningkat paling banyak untuk pasien gigi usia >60 tahun.[6]

Bye et al pada tahun 2017 melaporkan hasil penelitiannya terkait hubungan penggunaan antibiotik dengan CDI di Amerika. Dari 1.626 penderita Community acquired C. difficile infection (CA CDI), 57% pasien memiliki riwayat penggunaan antibiotik belum lama sebelumnya. Dari kelompok yang menggunakan antibiotik, 15% pasien diberikan atas indikasi prosedur dental, di mana 34% nya mendapat antibiotik tetapi tidak tercatat dalam rekam medis (diketahui melalui wawancara).[1]

Penyebab Masalah Peresepan Antibiotik di Kedokteran Gigi

Masalah peresepan antibiotik di kedokteran gigi disebabkan oleh kesenjangan komunikasi dengan dokter gigi. Banyak praktek dokter gigi yang mungkin tidak sesuai dengan pedoman peresepan antibiotik saat ini. Antibiotik oleh dokter gigi seringkali bersifat empiris atau spektrum luas,  karena dokter gigi jarang menggunakan fasilitas kultur kuman sebelum peresepan. Selain itu, antibiotik profilaksis yang secara luas diberikan pada prosedur dental.[1,4]

Studi oleh Marra et al mengidentifikasi beberapa masalah penggunaan antibiotik pada kedokteran gigi, yaitu:

  • Peresepan yang tidak perlu untuk abses periapikal dan pulpitis ireversibel
  • Peresepan yang meningkat terkait implan gigi dan komplikasinya
  • Penerapan pedoman baru yang lambat, mengenai cakupan antibiotik perioperatif yang lebih sedikit untuk pasien dengan penyakit katup jantung dan sendi prostetik
  • Peningkatan minat praktek dokter gigi kosmetik, yang dapat mengurangi keahlian bedah rata-rata dokter gigi
  • Pembayaran tanpa asuransi mendorong pemberian antibiotik sebagai pengganti tindakan bedah
  • Populasi yang menua, di mana peresepan antibiotik oleh dokter gigi lebih banyak kepada pasien lebih tua[6]

Penggunaan Antibiotik yang Tepat pada Kedokteran Gigi

Secara ideal, pemberian antibiotik untuk prosedur dental sebaiknya berdasarkan diagnosis yang tepat, indikasi untuk infeksi bakteri, dan sesuai dengan pedoman terbaru dari organisasi profesi. Sehingga, pendidikan berkelanjutan untuk dokter gigi sangat penting untuk menjangkau semua dokter gigi agar dengan cepat dan tepat mengetahui setiap perubahan pedoman maupun perkembangan pengetahuan. Disertai diskusi terbuka tentang hambatan dokter gigi untuk peresepan yang tepat.[3,4]

Peresepan antibiotik rawat jalan membutuhkan pengawasan lebih ketat, termasuk peresepan oleh dokter gigi jangan menjadi titik buta.  Dokter gigi mungkin hanya bertemu seorang pasien setahun sekali, sehingga mungkin mereka tidak melihat manfaat memberikan edukasi kepada pasien jika tidak membutuhkan antibiotik. Akan tetapi, ketidakpedulian itu merupakan faktor penyebab peresepan yang tidak tepat.[4]

Beberapa pedoman penggunaan antibiotik yang tepat pada kedokteran gigi sebagai berikut:

  • Tata laksana penyakit abses periapikal hanya membutuhkan prosedur pembedahan lokal, dan antibiotik hanya diberikan jika terdapat penyebaran infeksi sistemik
  • Pemberian antibiotik profilaksis prosedur dental seharusnya sudah ditinggalkan, karena risiko endokarditis dan infeksi sendi dari penyebaran hematogen dapat dicegah dengan kontrol oral hygiene yang baik
  • Pemberian antibiotik profilaksis pada pasien dengan riwayat joint replacement sudah tidak diperlukan, berdasarkan pedoman terbaru dari American Dental Association (ADA) pada tahun 2015[1,4,5,7]

Perlu diingat bahwa penggunaan antibiotik lini pertama yang tidak tepat akan menyebabkan risiko resistensi obat, sehingga kelak akan meningkatkan penggunaan antibiotik lini kedua atau antibiotik ganda, dan meningkatkan durasi pemberian obat. Hal tersebut berisiko menyebabkan CDI dan MDR (multiple drug resistance).[1,7]

Kesimpulan

Clostridium difficile infection (CDI) sering disebut sebagai diare terkait perawatan kesehatan (healthcare associated diarrhea), karena faktor risiko utama adalah penggunaan antibiotik yang mengganggu keseimbangan flora normal mukosa usus. Prevalensi Clostridium difficile infection (CDI) di Indonesia relatif tinggi, hal ini disebabkan oleh penggunaan antibiotik yang tidak sesuai dengan indikasi dan dosis, diantaranya pemberian antibiotik dalam praktek kedokteran gigi.

Antibiotik yang diresepkan oleh dokter gigi seringkali bersifat empirik dan spektrum luas. Selain itu, masih sering diberikan antibiotik profilaksis prosedur dental terutama pada pasien usia lebih tua. Padahal, berbagai pedoman terbaru terkait praktik kedokteran gigi telah membatasi lebih sempit pemberian antibiotik pada prosedur dental.

Terlambatnya pengetahuan dan penerapan pedoman terbaru di praktek dokter gigi tampaknya menjadi penyebab peningkatan peresepan antibiotik oleh dokter gigi setiap tahunnya. Oleh karena itu, sangat penting diadakan pendidikan berkelanjutan untuk dokter gigi yang menjangkau semua dokter gigi dengan cepat dan tepat. Disertai diskusi terbuka tentang hambatan dokter gigi di lapangan untuk memotivasi mereka memberikan antibiotik yang sesuai indikasi dan dosisnya.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi