Antibiotik Monoterapi vs Politerapi untuk Anak Pascaoperasi Perforasi Appendicitis – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Sonny Seputra, Sp.B, M.Ked.Klin, FINACS

IMPPACT (Intravenous Monotherapy for Postoperative Perforated Appendicitis in Children Trial): Randomized Clinical Trial of Monotherapy Versus Multi-drug Antibiotic Therapy

Lee J, Garvey EM, Bundrant N, et al. IMPPACT (Intravenous Monotherapy for Postoperative Perforated Appendicitis in Children Trial): Randomized Clinical Trial of Monotherapy Versus Multi-drug Antibiotic Therapy. Annals of Surgery. 2021 Sep 1;274(3):406-410. PMID: 34132703.

Abstrak

Latar belakang: perforasi appendicitis adalah penyebab abses intraabdominal yang paling umum pada anak-anak. Dalam dekade terakhir, regimen antibiotik pascaoperasi yang optimal untuk mengurangi risiko terjadinya abses intraabdominal telah berubah dari tiga antibiotik menjadi dua antibiotik, yaitu ceftriaxone dan metronidazole (CM).

Studi retrospektif terbaru menunjukkan penurunan komplikasi infeksi dengan antibiotik monoterapi piperacillin-tazobactam (PT). Namun, sampai saat ini, data studi prospektif yang membandingkan CM dan PT masih terbatas. Studi acak prospektif ini dilakukan untuk membandingkan PT intravena dan CM intravena.

Metode: uji acak prospektif multiinstitusional dilakukan pada 162 pasien anak (usia ≤18 tahun) dengan perforasi appendicitis mulai dari Mei 2017 hingga Mei 2020. Uji membandingkan regimen antibiotik pascaoperasi, yaitu PT dan CM.  Luaran primer yang dinilai adalah ada tidaknya abses intraabdominal 30 hari setelah operasi. Perforasi didefinisikan sebagai lubang di appendix atau fecalith di dalam abdomen, yang didokumentasikan dengan foto intraoperatif.

Hasil: sebanyak 162 pasien diteliti selama masa studi. Tidak ada perbedaan usia, berat badan, atau durasi gejala yang muncul. Selain itu, durasi rawat inap, durasi terapi antibiotik intravena, terapi antibiotik oral setelah keluar rumah sakit, dan komplikasi terkait antibiotik tidak berbeda antar kelompok.

Dibandingkan dengan grup CM, pasien dalam grup PT memiliki tingkat kejadian abses intraabdominal yang secara signifikan lebih rendah (6,1% vs 23,8%; OR 4,80; P = 0,002). Grup PT juga memiliki tingkat computed tomography (CT) pascaoperasi yang lebih rendah (13,9% vs 29,3%; OR 2,57; P = 0,030) dan tingkat kunjungan ke instalasi gawat darurat yang lebih rendah (8,8% vs 26,4%; OR 3,73; P = 0,022).

Analisis regresi logistik multivariat menemukan penggunaan CM dibanding PT sebagai prediktor terjadinya abses intraabdominal yang paling signifikan.

Kesimpulan: pada pasien anak-anak dengan perforasi appendicitis, monoterapi dengan piperacillin-tazobactam (PT) intravena pascaoperasi lebih superior daripada terapi dua antibiotik dengan ceftriaxone dan metronidazole intravena (CM). Monoterapi PT juga tidak meningkatkan komplikasi terkait antibiotik atau durasi paparan antibiotik.

Antibiotik Monoterapi vs Politerapi untuk Anak Pascaoperasi Perforasi Appendicitis-min

Ulasan Alomedika

Kasus perforasi appendicitis memerlukan regimen antibiotik untuk mencegah terjadinya abses intraabdominal. Pilihan regimen antibiotik telah berubah seiring waktu, yakni dari regimen tiga obat (ampicillin, gentamicin, dan clindamycin) menjadi regimen dua obat CM (ceftriaxone dan metronidazole) yang dinilai efektif dan lebih ekonomis.

Lalu, studi retrospektif berikutnya menunjukkan bahwa penggunaan regimen satu obat antibiotik spektrum luas (PT atau piperacillin-tazobactam) secara signifikan menurunkan angka kejadian abses intraabdominal bila dibandingkan regimen dua obat antibiotik sebelumnya. Karena data prospektif yang mendukung penggunaan monoterapi ini masih kurang, uji klinis acak prospektif ini dilakukan untuk menyediakan data tersebut.

Ulasan Metode Penelitian

Uji klinis acak prospektif ini menggunakan metode penelitian yang cukup baik, yaitu membandingkan intervensi dengan intervensi. Kriteria inklusi penelitian juga jelas, yakni anak ≤18 tahun dengan perforasi appendicitis, yang didefinisikan sebagai lubang di appendix atau fecalith di abdomen yang dikonfirmasi dengan foto intraoperatif.

Pada penelitian ini, sampel diacak menjadi dua kelompok, yaitu kelompok PT atau CM. Pemberian dosis obat juga dijabarkan dengan jelas. Grup CM menerima antibiotik intravena berupa ceftriaxone sekali sehari (50 mg/kg) dan metronidazole (30 mg/kg), sedangkan grup PT menerima piperacillin-tazobactam intravena (untuk berat badan <40 kg: 100 mg/kg tiap 8 jam, sedangkan untuk berat badan >40 kg: 3.000 mg tiap 6 jam).

Pengumpulan data cukup baik karena dilakukan oleh personel penelitian yang tidak terlibat dalam perawatan pasien.

Ulasan Hasil Penelitian

Luaran primer dalam studi ini dinilai bermakna secara klinis, yaitu ada tidaknya abses intraabdominal 30 hari setelah operasi perforasi appendicitis, yang dikonfirmasi dengan pencitraan. Angka kejadian abses intraabdominal secara signifikan lebih rendah pada kelompok PT daripada kelompok CM (6,1% vs 23,8%; OR  4,797;  P = 0,002).

Luaran sekunder yang dinilai juga bermanfaat untuk menilai efektivitas dan keamanan obat, yaitu durasi rawat inap, komplikasi terkait antibiotik, komplikasi luka, kunjungan gawat darurat, dan admisi ulang ke rumah sakit.

Kunjungan instalasi gawat darurat lebih rendah pada kelompok PT daripada kelompok CM (8,8% vs 26,4%; OR 3,733; P = 0,022). Hasil tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal tingkat admisi ulang, komplikasi terkait antibiotik, komplikasi luka, dan durasi rawat inap.

Hasil studi ini diperkirakan berhubungan dengan resistensi bakteri terhadap antibiotik tertentu. CM memiliki cakupan Pseudomonas aeruginosa yang buruk padahal patogen ini sering ditemukan di kultur peritoneum pada perforasi appendicitis anak. Efektivitas PT dalam menurunkan risiko abses intraabdominal diduga berhubungan dengan cakupan yang lebih memadai terhadap Pseudomonas aeruginosa.

Kelebihan Penelitian

Kelebihan penelitian ini adalah desain penelitian yang berupa uji klinis acak prospektif. Penelitian ini juga membandingkan langsung dua regimen obat yang berbeda sehingga dapat melihat perbedaan angka keberhasilan dan komplikasi yang terjadi dengan jelas.

Kelebihan lain penelitian ini adalah luaran yang digunakan. Luaran primer merupakan luaran yang dinilai bermakna secara klinis karena abses intraabdominal merupakan komplikasi yang cukup sering ditemukan pascaoperasi perforasi appendicitis anak. Oleh karena itu, pemilihan antibiotik untuk mencegah kejadian abses intraabdominal ini sangatlah penting.

Limitasi Penelitian

Penelitian ini tidak melakukan kultur peritoneum intraoperatif, sehingga hasil tidak dapat menggambarkan variasi bakteri patogen yang ada dan tidak dapat membandingkan efektivitas antibiotik terhadap jenis bakteri yang ditemukan, termasuk adanya resistensi.

Keterbatasan lain adalah tidak dilakukannya penilaian biaya (cost-effectiveness) dari penggunaan kedua regimen obat, sehingga peneliti belum dapat memastikan apakah regimen antibiotik PT lebih efektif secara biaya daripada regimen CM.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Karena monoterapi piperacillin-tazobactam (PT) terbukti superior terhadap politerapi ceftriaxone dan metronidazole (CM) untuk mengurangi risiko abses intraabdominal pascaoperasi perforasi appendicitis anak, ahli bedah dapat mempertimbangkan PT sebagai pilihan terapi karena PT juga tersedia di Indonesia.

Akan tetapi, dokter perlu mengingat bahwa pemilihan antibiotik empiris sebaiknya tetap mengacu pada peta kuman di Indonesia. Selain itu, pemilihan antibiotik juga sebaiknya disesuaikan dengan ketersediaan obat di wilayah masing-masing.

Referensi