Rekomendasi Pemeriksaan HIV Menurut WHO

Oleh :
dr. Vania Azalia Gunawan

Pemeriksaan HIV adalah bagian penting dari manajemen HIV. Tujuan pemeriksaan HIV  adalah untuk mencegah transmisi lebih lanjut, mendiagnosis penyakit sedini mungkin, mencegah komplikasi, dan meningkatkan kualitas hidup pasien.[1]

Salah satu rekomendasi pemeriksaan HIV yang dapat digunakan adalah pedoman dari WHO. Menurut pedoman ini, pemeriksaan HIV diutamakan untuk populasi kunci, yaitu kelompok dengan perilaku berisiko tinggi, seperti laki-laki yang berhubungan seks dengan laki-laki, individu yang menggunakan narkoba suntik, orang di penjara, pekerja seks, dan individu transgender; serta populasi anak dan ibu hamil yang terpapar HIV.[2]

shutterstock_304165361-min

Pada tahun 2022, WHO merencanakan untuk memperbarui pedoman konsolidasi tes HIV. Upaya ini untuk menjamin pencapaian target 95-95-95 dalam tes HIV pada tahun 2025, yaitu 95% penderita HIV mengetahui status HIV nya. Target ini menuju eradikasi AIDS pada tahun 2030.[3]

Rekomendasi Pemeriksaan HIV pada Anak

Pada umumnya, diagnosis infeksi HIV dilakukan dengan pemeriksaan serologi. Pemeriksaan ini dipilih dan direkomendasikan untuk anak usia >18 bulan. Pemeriksaan serologi terdiri dari deteksi antibodi HIV atau antigen p24.[2,4-6]

Bayi Usia 0‒18 Bulan

Pada bayi <18 bulan, pemeriksaan serologi tidak menjadi pilihan utama. Hal ini karena antibodi maternal akan ditransfer secara pasif kepada janin sejak kehamilan trimester ketiga, dan terdeteksi hingga usia 18 bulan. Penemuan antibodi HIV pada usia <18 bulan dapat mengetahui adanya paparan HIV, tetapi tidak dapat mendiagnosis infeksi HIV pada bayi.

Oleh sebab itu, pemeriksaan virologi diperlukan untuk diagnosis HIV pada bayi <18 bulan. Pemeriksaan virologi meliputi HIV DNA kualitatif atau HIV RNA kuantitatif, dengan sensitivitas minimal 98% dan spesifitas 98%. HIV DNA kualitatif dapat menggunakan darah plasma EDTA atau dried blood spot (DBS). Bila tidak tersedia, pemeriksaan HIV RNA kuantitatif dapat diilakukan dengan bahan plasma EDTA.[2,4-6]

Rangkuman rekomendasi pemeriksaan HIV pada bayi 0‒18 bulan berdasarkan WHO adalah:

  • Bayi <18 bulan yang terpajan HIV atau pajanan HIV tidak pasti harus melakukan tes virologi pada usia 4‒6 minggu
  • Bayi <18 bulan yang terpajan HIV dengan hasil virologi tidak terdeteksi pada usia 4‒6 minggu harus melakukan tes serologi HIV pada usia 9 bulan untuk menyingkirkan infeksi HIV
  • Bayi dengan tes serologi positif pada usia 9 bulan perlu melakukan tes virologi untuk memastikan status infeksi HIV[2]

Anak Usia 18 Bulan Ke Atas

Pada populasi usia 18 bulan ke atas, pemeriksaan direkomendasikan menggunakan pemeriksaan serologi, yaitu dengan deteksi antibodi HIV atau antigen p24. Bila ditemukan adanya antibodi terhadap HIV, infeksi dapat ditegakkan karena antibodi maternal seharusnya sudah tidak terdeteksi lagi.[2,4]

Remaja secara umum ditawarkan untuk pemeriksaan HIV terutama populasi kunci. Sementara, di area generalized epidemic, pemeriksaan HIV ditawarkan pada seluruh remaja.[2]

Table 1. Interpretasi Pemeriksaan Serologi pada Berdasarkan Usia Anak

Usia Pasien Interpretasi Hasil Serologi Rapid Diagnostic Test (RDT)
0‒4 bulan Hasil (+): menunjukan adanya paparan (pemeriksaan darah ibu dapat menjadi alternatif). Pemeriksaan virologi dengan nucleic acid test (NAT) dilakukan untuk diagnosis pasti infeksi HIV dan direkomendasikan pada bayi usia 4‒6 minggu (1‒1,5 bulan).
5‒8 bulan

Hasil (+): menunjukan adanya paparan, dan perlu konfirmasi dengan pemeriksaan virologi untuk membuktikan infeksi HIV. Bila pemeriksaan virologi tidak tersedia dan anak memiliki tanda/gejala HIV, diagnosis presumtif dapat ditegakkan. Bila pemeriksaan virologi tidak tersedia dan anak tidak ada tanda/gejala HIV, tes serologi diulang pada usia >18 bulan.

Hasil (-):  tidak dapat mengeksklusi adanya paparan, karena antibodi maternal mulai mengalami penurunan.

9‒18 bulan

Hasil (+): menunjukan adanya paparan, dan perlu konfirmasi dengan pemeriksaan virologi untuk membuktikan infeksi HIV. Bila pemeriksaan virologi tidak tersedia dan anak memiliki tanda/gejala HIV, diagnosis presumtif dapat ditegakkan. Bila pemeriksaan virologi tidak tersedia dan anak tidak ada tanda/gejala HIV, tes serologi diulang pada usia >18 bulan.

Hasil (-): anak dapat dinyatakan tidak terinfeksi HIV.

≥18 bulan Hasil (+): diagnosis infeksi HIV dapat ditegakkan, karena antibodi maternal sudah tidak lagi terdeteksi pada darah anak.

Sumber: dr. Vania, 2021.[4,6]

Anak dengan Risiko Tinggi HIV

Pemeriksaan rutin HIV direkomendasikan pada semua anak dengan malnutrisi, infeksi tuberkulosis, rawat inap, atau memiliki tanda dan gejala infeksi HIV. Selain itu, sebagai upaya untuk menemukan infeksi HIV lebih dini maka skrining dapat dilakukan pada semua anak risiko tinggi yang akan vaksinasi.[5]

Tes virologi direkomendasikan pada semua bayi yang terpapar HIV, minimal pada usia 4‒6 minggu atau waktu tercepat setelahnya. Morbiditas dan mortalitas infeksi HIV pada awal kehidupan termasuk tinggi, sehingga diagnosis dan terapi HIV secara dini pada neonatus menjadi penting. Hasil virologi pertama yang positif harus dilanjutkan dengan pemberian ARV segera, tanpa menunggu hasil pemeriksaan konfirmasi.[4-7]

Pada bayi >9 bulan yang mendapat ASI dari ibu penderita HIV, hasil rapid diagnostic test (RDT) negatif tidak dapat mengeksklusi infeksi HIV karena ASI dapat mengandung virus. Oleh karena itu, penetapan status infeksi HIV dikerjakan/diulang pada akhir masa menyusui, yaitu +6 minggu setelah ASI dihentikan. Pemberian ASI tidak perlu dihentikan untuk bayi dengan ibu penderita HIV. Menurut WHO, pemeriksaan serologi pada anak >18 bulan direkomendasikan pada waktu 3 bulan dari akhir masa menyusui.[4,6]

Perlu dipahami pula bahwa penggunaan ARV oleh ibu hamil dapat memberikan false negative pada tes virologi bayi. Kemudian, bayi yang telah mendapat ARV pada usia dini (3‒6 bulan) akan jarang membentuk antibodi sehingga dapat memberikan false negative pada pemeriksaan serologi.[4]

Rekomendasi Pemeriksaan HIV Pada Ibu Hamil dan Menyusui

Rekomendasi pemeriksaan untuk mendiagnosis HIV pada wanita hamil dibedakan berdasarkan prevalensi dari kasus HIV pada populasi. Prevalensi dikatakan tinggi bila ditemukan ≥5% positif dari populasi yang menjalani pemeriksaan.[2]

Ibu Hamil di Area Prevalensi Tinggi

Ibu hamil merupakan populasi target pemeriksaan HIV, baik pada daerah dengan prevalensi tinggi maupun rendah. Pemeriksaan HIV PITC (provider initiated testing and counselling) pada area prevalensi tinggi harus menjadi komponen rutin dalam perawatan antenatal, saat persalinan, dan pasca persalinan.

Pada ibu menyusui di daerah dengan prevalensi HIV tinggi, hasil pemeriksaan yang negatif harus dilakukan pemeriksaan ulang secara berkala selama periode menyusui.[2,4,5]

Ibu Hamil di Area Prevalensi Rendah

Pada area prevalensi rendah, PITC dapat dipertimbangkan sebagai bagian dari perawatan antenatal ibu hamil untuk mencegah penularan HIV dari ibu ke anak. Selain itu, pemeriksaan HIV dapat diintegrasikan dengan tes sifilis atau infeksi kunci lainnya, sesuai indikasi di masing-masing daerah.[2]

Rekomendasi Pemeriksaan HIV Pada Dewasa

Pada dewasa, rekomendasi pemeriksaan HIV dibedakan berdasarkan prevalensi di area pasien tinggal. Pemeriksaan serologi dapat rutin dilakukan untuk meningkatkan layanan tes HIV, karena pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan, serta tidak memerlukan peralatan khusus atau pengumpulan spesimen dengan pungsi vena.

Baik pada daerah dengan prevalensi HIV rendah maupun tinggi, 3 macam pemeriksaan diperlukan untuk mendiagnosis infeksi HIV. Pada daerah dengan prevalensi tinggi, diagnosis HIV ditegakkan jika 2 pemeriksaan reaktif. Sementara pada daerah dengan prevalensi rendah, diperlukan 3 pemeriksaan reaktif untuk menegakkan diagnosis HIV.

Pemeriksaan dengan sensitivitas paling tinggi diutamakan sebagai lini pertama. Pemeriksaan lini kedua dan ketiga dianjurkan menggunakan teknik assay yang lebih spesifik untuk mengeksklusi kasus false positive. Teknik immunoassay yang dimaksud di antaranya enzyme immunoassays (EIAs), chemiluminescence immunoassays (CLIAs), dan electrochemiluminescence immunoassays (ECLs), yang memerlukan spesimen serum atau plasma.[2]

Tabel 2. Rekomendasi Pemeriksaan HIV Berdasarkan Prevalensi Populasi

Populasi Prevalensi Tinggi Prevalensi Rendah
Pasien di fasilitas kesehatan Semua pasien. Pasien dengan tanda dan/atau gejala infeksi HIV.
Pasangan penderita HIV

Semua pasangan, baik sebelum menikah, saat hamil, setelah berpisah, dan saat awal pasien mendapat terapi ARV.

Bila hasil HIV negatif, maka pasangan  disarankan untuk mengulang pemeriksaan setiap 6‒12 bulan.

Pasangan segera diperiksa saat pasien terdiagnosis HIV.

Bila hasil HIV negatif, maka pasangan  disarankan untuk mengulang pemeriksaan setiap 6‒12 bulan.

Keluarga dari penderita HIV Keluarga  segera diperiksa saat pasien terdiagnosis HIV.
Populasi kunci Rutin setiap 6‒12 bulan.
Ibu hamil

Semua ibu hamil, saat kunjungan antenatal pertama, trimester ketiga, atau peripartum.

Pemeriksaan HIV pada pasangan juga direkomendasikan.

Semua ibu hamil, saat kunjungan antenatal pertama.
Dewasa

Setiap melakukan pemeriksaan ke fasilitas kesehatan.

Setiap tahun bila aktif secara seksual atau saat memiliki pasangan baru.

Usia dewasa yang berasal dari populasi kunci, pemeriksaan rutin setiap 6‒12 bulan.

Sumber: dr.Vania, 2021[2,4]

Populasi dengan Prevalensi Tinggi (≥5%)

Pemeriksaan lini pertama (A1) harus merupakan pemeriksaan dengan nilai sensitivitas tertinggi.  Bila didapatkan hasil nonreaktif, maka spesimen didiagnosis sebagai HIV-negatif.

Hasil yang reaktif pada pemeriksaan pertama (A1+) perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan kedua (A2) menggunakan antigen yang berbeda untuk mencegah adanya reaktivitas silang. Bila didapatkan reaktivitas pada dua pemeriksaan (A1+, A2+), maka diagnosis HIV dapat ditegakkan.

Bila didapatkan hasil pemeriksaan yang berbeda di antara dua pemeriksaan (A1+, A2-), pengulangan pemeriksaan dengan menggunakan spesimen yang sama diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Bila pada pengulangan tetap didapatkan diskrepansi, pemeriksaan ketiga diperlukan untuk mengkonfirmasi status HIV.

Bila didapatkan hasil reaktif pada pemeriksaan pertama dan ketiga (A1+, A2-, A3+), maka status HIV tidak dapat disimpulkan atau inkonklusif. Pasien diminta untuk melakukan pemeriksaan ulang setelah 14 hari.

Bila didapatkan hasil nonreaktif pada pemeriksaan kedua dan ketiga (A1+, A2-, A3-), status HIV dianggap sebagai HIV-negatif. Namun, bila pemeriksaan lini pertama merupakan pemeriksaan serologi generasi keempat, pengulangan pemeriksaan setelah 14 hari diperlukan.[2]

Populasi dengan Prevalensi Rendah (<5%)

Pada populasi dengan prevalensi rendah, pemeriksaan lini pertama (A1) juga merupakan pemeriksaan dengan nilai sensitivitas tertinggi.  Bila didapatkan hasil nonreaktif, maka spesimen didiagnosis sebagai HIV-negatif.

Hasil yang reaktif pada pemeriksaan pertama (A1+), harus dikonfirmasi dengan pemeriksaan kedua (A2) menggunakan antigen yang berbeda untuk mencegah reaktivitas silang

Bila didapatkan hasil pemeriksaan yang berbeda antara dua pemeriksaan (A1+, A2-), pengulangan pemeriksaan dengan menggunakan spesimen yang sama diperlukan untuk menegakkan diagnosis. Bila pada pemeriksaan pengulangan hasil tetap didapatkan diskrepansi, status spesimen dianggap sebagai HIV-negatif. Namun, bila pemeriksaan lini pertama merupakan uji serologi generasi keempat, ulangi pemeriksaan setelah 14 hari.

Pada daerah dengan prevalensi rendah, hasil reaktif pada 2 pemeriksaan (A1+, A2+) tidak dapat menjadi dasar untuk menentukan status HIV. Uji harus dilanjutkan dengan pemeriksaan konfirmasi ketiga (A3). Hal ini karena nilai prediksi positif pada 2 pemeriksaan dianggap belum cukup untuk dijadikan dasar diagnosis dan memerlukan uji tambahan untuk konfirmasi.

Hasil reaktif pada tiga pemeriksaan (A1+, A2+, A3+) akan menegakkan status HIV positif. Bila didapatkan hasil nonreaktif pada pemeriksaan ketiga (A1+, A2+, A3-), lakukan pengulangan pemeriksaan setelah 14 hari.[2]

Kesimpulan

Pemeriksaan HIV berdasarkan WHO dipengaruhi oleh usia bayi, ibu hamil, dan prevalensi kasus HIV di tempat pasien tinggal. Dokter harus melakukan interpretasi hasil pemeriksaan HIV secara hati-hati dan cermat. Target WHO adalah 95% penderita HIV mengetahui status HIV-nya pada tahun 2025. Status HIV yang diketahui dengan cepat harus disertai dengan penatalaksanaan dini dan tepat, termasuk upaya pencegahan penyebaran penyakit sehingga eradikasi AIDS dapat tercapai pada tahun 2030.

 

Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini

Referensi