Rekomendasi Vaksinasi Japanese Encephalitis di Indonesia

Oleh :
Sunita

Rekomendasi vaksinasi Japanese encephalitis di Indonesia masih belum diikuti dengan baik,  padahal Japanese encephalitis (JE) merupakan salah satu penyebab ensefalitis viral yang paling sering di negara-negara Asia. JE merupakan salah satu penyakit menular dengan laju mortalitas dan morbiditas tinggi, khususnya di wilayah endemis.

Wilayah penyebaran penyakit ini mencakup Asia Timur, Australasia, subkontinen India, hingga Madagaskar. Di Indonesia, kasus JE turut ditemukan di beberapa wilayah seperti Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua Barat. Hingga kini belum ada terapi spesifik untuk mengatasi JE, sehingga tindakan pencegahan dengan vaksinasi masih menjadi pendekatan kesehatan masyarakat yang utama.[1-3]

Vaksin Encevac unutk Japanese encephalitis. Sumber: melvil, Wikimedia commons, 2016. Vaksin Encevac unutk Japanese encephalitis. Sumber: melvil, Wikimedia commons, 2016.

Beban Penyakit Japanese Encephalitis di Indonesia

Secara epidemiologi, Japanese Encephalitis (JE) ditemukan pada 27 negara di Asia Pasifik dan menjangkiti 68.000 pasien baru setiap tahun. Laju mortalitas penyakit ini mencapai 20-30%. Sementara itu, 30-50% proporsi pasien JE dapat mengalami paralisis, kejang, perubahan perilaku, serta disabilitas yang disertai gejala psikiatrik dan neurologik permanen. Meski memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi,  mekanisme surveilans yang diterapkan di negara yang terjangkit JE untuk memantau perkembangan penyakit di populasi masih minim.[1-3]

Berdasarkan data epidemiologi, pola penyebaran kasus JE sporadik endemik ditemukan di negara Asia Selatan dan Australasia. Negara ini termasuk India bagian Selatan, Vietnam, Thailand Selatan, Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pola wabah epidemik dapat dijumpai pada beberapa wilayah beriklim sedang dan subtropis, termasuk India bagian Utara, Thailand Utara, Nepal, Vietnam Utara, Bangladesh, Tiongkok, dan Korea.[4,5]

Kasus JE di Indonesia pertama kali diketahui pada sebuah survei serologi di Lombok dan Surabaya. Pada studi selanjutnya, dideteksi antibodi terhadap JE pada 52% spesimen serum manusia di Bali; 2-16% di Nusa Tenggara; 22-27% di Kalimantan; serta 3% di Sulawesi, Maluku, dan Papua Barat.[4]

Pentingnya Pencegahan Japanese Encephalitis

Terapi terhadap Japanese Encephalitis (JE) bersifat suportif dan belum ada terapi yang definitif. Terapi JE bertujuan untuk mengurangi tingkat kematian akibat JE. Pada kondisi akut, perawatan pasien JE dapat meliputi manajemen pernapasan, pemberian dan pemantauan keseimbangan cairan, terapi gizi, serta pencegahan luka tekan dan infeksi sekunder.

Pemberian mannitol dan terapi lain untuk mengendalikan tekanan intrakranial dapat diperlukan dan membantu mengendalikan kejang. Pada pasien yang mengalami penurunan kesadaran disertai gangguan refleks muntah, pencegahan pneumonia aspirasi dengan intubasi dan ventilasi diperlukan. Trihexyphenidyl dan agonis dopamin sentral dapat dipertimbangkan untuk mengatasi gejala ekstrapiramidal. Pemberian kanamycin dan tetrasiklin generasi dua dapat mempengaruhi struktur virian dan menghambat replikasi virus JE. Namun, hal ini masih terbatas dalam situasi penelitian klinis dan hingga kini belum ada antivirus spesifik yang terbukti efektif untuk terapi JE.[1,6,7]

Upaya Pencegahan Japanese Encephalitis

Pencegahan umum Japanese Encephalitis (JE) mencakup pengendalian vektor (nyamuk) dan pengendalian pejamu (babi). Pengendalian vektor dapat dilakukan dengan cara penyemprotan insektisida, pembasmian habitat nyamuk, dan penyediaan tempat pembuangan sampah yang baik. Selain itu, perlindungan terhadap gigitan nyamuk dengan mengenakan pakaian berbahan ringan, berwarna terang, menutupi seluruh tubuh, dan penggunaan penangkal serangga pada kulit juga dapat dipertimbangkan.

Pengendalian pejamu yang dilakukan dengan cara vaksinasi pernah dipelajari dalam sebuah studi dan terbukti menurunkan tingkat transmisi dari babi ke manusia. Namun, model intervensi ini sangat mahal dan tidak dapat diterapkan pada wilayah dengan laju kelahiran populasi babi yang tinggi, area dengan sistem peternakan babi yang tidak terkendali, dan wilayah dengan sumber daya terbatas. Dengan demikian, pada banyak wilayah di Asia, imunisasi babi tidak dapat diterapkan sebagai intervensi kesehatan masyarakat yang efektif dalam mencegah JE.

Pada manusia, upaya pencegahan yang direkomendasikan adalah vaksinasi Japanese Encephalitis.[6,7]

Vaksin Japanese Encephalitis

Vaksin Japanese Encephalitis (JE) terbukti efektif untuk upaya pencegahan infeksi dan reduksi beban sosial ekonomi imbas JE. Jenis vaksin JE yang telah dikembangkan dan memiliki lisensi penggunaan dirangkum dalam tabel 1.[6]

Tabel 1. Jenis Vaksin Japanese Encephalitis

Jenis vaksin Substrat Strain Virus Pengembang
Vaksin inaktif

Sel otak tikus (JE-MB)

 

Vero (JE-VC)

Vero (JE-VC)

Vero (JE-VC)

Sel ginjal hamster

Nakayama, Beijing-1

 

Beijing-1

Beijing-3

SA 14-14-2

Beijing-1

Korea, Thailand, Vietnam, Taiwan

Jepang

Tiongkok

Inggris Raya, India

Tiongkok

Vaksin hidup dilemahkan Sel ginjal hamster (PHK) SA 14-14-2 Tiongkok
Vaksin chimera

Vero (JE-CV) JE SA14-14-2/yellow fever 17D Thailand

Sumber: dr. Sunita, 2022.[6]

Di Indonesia, vaksin JE tersedia dalam merek dagang Imojev® yang merupakan vaksin JE-CV.[9]

Rekomendasi Vaksinasi Japanese Encephalitis di Indonesia

Rekomendasi vaksinasi Japanese Encephalitis (JE) di Indonesia didasarkan pada program imunisasi nasional, khususnya pada daerah dengan risiko transmisi yang tinggi. Dosis pertama vaksin JE direkomendasikan bagi individu berusia 8 bulan hingga 3 tahun. Vaksin JE juga disarankan untuk:

  • Individu yang hendak bepergian ke daerah endemik selama minimal 1 bulan pada musim transmisi JE, atau
  • Individu yang bekerja di laboratorium yang berpotensi terpapar infeksi JE, atau
  • Tenaga kesehatan yang bekerja di lapangan di daerah endemik, khususnya yang bekerja pada sektor pengendalian vektor[8]

Vaksin JE juga dapat dipertimbangkan untuk diberikan pada individu yang hendak bepergian ke daerah endemik selama < 1 bulan di musim transmisi, namun berencana bepergian ke luar dari perkotaan atau memiliki risiko paparan terhadap JE. Selain itu, individu yang akan mengunjungi daerah yang sedang mengalami wabah JE dan individu yang akan mengunjungi daerah endemik tanpa tujuan, aktivitas, atau durasi kunjungan yang spesifik juga perlu mendapatkan vaksin JE.[6,8]

Di Indonesia, rekomendasi pemberian vaksin JE pada anak-anak mengikuti panduan jadwal imunisasi anak yang dikeluarkan oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia tahun 2020. Vaksin JE-CV pada anak-anak dapat diberikan mulai usia 9 bulan di daerah endemis atau yang hendak bepergian ke daerah endemis. Untuk mendapatkan perlindungan jangka panjang, anak dapat diberikan dosis penguat vaksin JE-CV pada kurun waktu 1-2 tahun sejak pemberian vaksin JE pertama.[10]

Kesimpulan

Hingga kini masih belum ada pengobatan definitif untuk Japanese Encephalitis (JE). JE memiliki mortalitas dan morbiditas yang tinggi sehingga pencegahan merupakan pendekatan yang diutamakan. Salah satu intervensi profilaksis yang dapat dilakukan adalah dengan vaksinasi.

Di Indonesia, vaksin JE dimasukkan dalam rekomendasi vaksin oleh IDAI. Vaksin diberikan pada anak mulai usia 9 bulan yang tinggal di area endemis atau hendak bepergian ke daerah endemis. Pada dewasa, vaksin JE direkomendasikan diberikan pada individu yang hendak bepergian ke daerah endemis pada musim transmisi, pekerja laboratorium yang berpotensi terpapar, dan tenaga kesehatan.

 

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Josephine Darmawan

 

Referensi