Epidemiologi Kehamilan Postterm
Epidemiologi kehamilan postterm di seluruh dunia adalah 5-10% dari total seluruh kehamilan sedangkan di Indonesia angka kejadiannya sekitar 3.5-14% dari 358.000 kehamilan.
Global
Insiden terjadinya kehamilan postterm dari seluruh kehamilan keseluruhan sebesar 5-10%. Prevalensi kehamilan postterm secara global berkisar antara 4-19%. Di Amerika Serikat, prevalensi kehamilan postterm ini sebesar 6% dari sekitar 4 juta kelahiran per tahun.[1,2,6,8]
Indonesia
Di Indonesia, informasi mengenai data jumlah kehamilan postterm masih sedikit. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Defrin et al. pada tahun 2019 menyebutkan bahwa prevalensi kehamilan postterm di Indonesia adalah sekitar 10%.[3]
Mortalitas
Mortalitas pada janin dan ibu dengan kehamilan postterm lebih tinggi daripada pada kehamilan aterm.[9]
Angka kematian perinatal, kelahiran mati dan kematian neonatus dini meningkat dua kali lebih tinggi pada usia kehamilan 42 minggu dibandingkan pada usia kehamilan aterm (4-7 banding 2-3 per 1000 kelahiran).[1]
Kematian perinatal meningkat 4 kali lipat pada usia kehamilan 43 minggu dan meningkat 5-7 kali lipat pada usia 44 minggu. Dari data tersebut disimpulkan bahwa setiap 1000 kehamilan, angka kematian janin dan neonatus meningkat drastis setelah usia kehamilan di atas 40 minggu.[1]
Berdasarkan hasil studi dan kalkulasi dari Cotzias et al menyebutkan didapatkan risiko kelahiran mati pada kehamilan postterm, yaitu sebesar:
- Kelahiran mati 1 dari 926 pada kehamilan dengan usia 40 minggu
- Kelahiran mati 1 dari 826 pada kehamilan dengan usia 41 minggu
- Kelahiran mati 1 dari 769 pada kehamilan dengan usia 42 minggu
- Kelahiran mati 1 dari 633 pada kehamilan dengan usia 43 minggu[2]
Kehamilan postterm juga berhubungan dengan peningkatan biaya terkait pemantauan antenatal pada janin dan induksi persalinan atau sectio caesaria[1,2,4,6].