Penatalaksanaan Hemothorax
Penatalaksanaan hemothorax dapat dibagi menjadi dua yaitu tata laksana awal menggunakan kateter interkostal dan tata laksana lanjutan yang dapat berupa medikamentosa ataupun pembedahan sesuai indikasi.
Penatalaksanaan Awal
Tujuan dari tata laksana awal pada pasien hemothorax bertujuan untuk menstabilisasi kardiopulmonal serta mengevakuasi darah dari pleura.
Survei Primer
Survei primer dilakukan untuk stabilisasi sumbatan jalan napas, gangguan pernapasan maupun gangguan sirkulasi. Setelah jalan napas, gangguan pernapasan, dan sirkulasi diamankan, segera lakukan rontgen thorax. [6]
Kateter Interkostal
Kateter interkostal merupakan tata laksana awal hemothorax. Kateter interkostal dimasukan ke dalam rongga pleura untuk mendrainase darah, udara, pus maupun cairan lainnya. Ukuran tabung yang biasa digunakan adalah 36 F, namun beberapa penelitian membuktikan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara ukuran 28-32F dengan 36-40F pada trauma thorax.
Kateter interkostal diarahkan ke posterior mempertimbangkan pergerakkan darah ke arah posterior pada pasien supinasi. Kateter interkostal umumnya dimasukkan pada sela iga ke-6 atau ke-7 pada linea midaksilaris.
Setelah pemasangan kateter interkostal, sebaiknya dilakukan rontgen thorax ulang untuk mengevaluasi posisi kateter interkostal dan menentukan jumlah hemothorax yang tersisa. [4]
Apabila terdapat darah yang menetap setelah 72 jam, tidak dianjurkan untuk melakukan pemasangan kateter interkostal kedua, melainkan segera dilakukan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS). [2,4,7]
Medikamentosa
Terapi medikamentosa dapat berupa pemberian antibiotik profilaksis dan fibrinolitik intrapleural.
Antibiotik Profilaksis
Pemberian antibiotik pada pasien hemothorax dianjurkan untuk mengurangi risiko terjadi komplikasi infeksius. Pedoman dari The Eastern Association for Trauma merekomendasikan penggunaan antibiotik sefalosporin generasi pertama dalam 24 jam pada pasien dengan kateter interkostal. Namun apabila sudah terjadi empiema maka antibiotik yang direkomendasikan adalah yang spesifik untuk bakteri Staphylococcus aureus dan Streptococcus.
Pemberian antibiotik dapat mengurangi angka kejadian pneumonia dari 14,8% menjadi 4,1%, dan empiema dari 8,7% menjadi 0,8%. [7]
Terapi Fibrinolitik Intrapleural
Terapi fibrinolitik intrapleural merupakan terapi nonoperatif yang dapat dilakukan untuk mengevakuasi residu gumpalan darah serta memecah perlengketan jika kateter interkostal tidak adekuat mengatasi hemothorax. Terapi ini dilakukan untuk mengurangi risiko lung entrapment, fibrothorax kronis, gangguan fungsi paru, serta infeksi yang diakibatkan retensi darah pada paru.
Fibrinolitik yang digunakan adalah streptokinase (250,000 IU), urokinase (100,000 IU atau 250,000 IU), atau tissue plasminogen activator (TPA). Terapi fibrinolitik intrapleura dapat diberikan selama 2-9 hari untuk streptokinase, dan 2-15 hari untuk urokinase. [7]
Pembedahan
Tatalaksana bedah dapat menggunakan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) dan juga thoracotomy.
Video-Assisted Thoracoscopic Surgery (VATS)
Penggunaan video-assisted thoracoscopic surgery (VATS) pada situasi akut hemothorax masih menjadi kontroversi. Tetapi tata laksana ini menjadi lini pertama pada Retained Hemothorax untuk mengevakuasi darah yang menggumpal dan tidak bisa dievakuasi oleh kateter interkostal. Apabila dibandingkan dengan thoracotomy, VATS memiliki komplikasi post operatif yang lebih sedikit serta lama rawat inap yang lebih pendek. [2,6]
Thoracotomy
Thoracotomy merupakan tata laksana operatif yang dilakukan apabila terdapat hemothorax masif atau perdarahan yang tidak berhenti. Indikasi untuk dilakukannya thoracotomy antara lain :
- Apabila terdapat drainase lebih dari 1500 ml dalam 24 jam atau >200 ml/jam
- Terdapat gumpalan hemothorax yang tidak dapat di evakuasi
- Cardiac tamponade
- Defek pada dinding dada
- Kebocoran udara atau ekspansi paru yang tidak adekuat meskipun telah dilakukan drainase
- Cedera pada pembuluh darah besar, esofagus, diafragma, serta jantung [1,7,8]