Pendukung Keputusan Klinis Elektronik untuk Manajemen Penyakit Ginjal Kronik – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Gisheila Ruth Anggitha

Electronic Decision Support for Management of CKD in Primary Care: A Pragmatic Randomized Trial

Peralta CA, Livaudais-Toman J, Stebbins M, Lo L, Robinson A, et al. American Journal of Kidney Diseases. 2020;76(5):636-644. PMID: 32682696.

Abstrak

Tujuan: Sebagian besar pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK) di Amerika Serikat dirawat oleh tenaga kesehatan di layanan primer. Peneliti ingin mengevaluasi feasibility dan efektivitas awal dari electronic clinical decision support system (eCDSS) untuk memperbaiki manajemen PGK di layanan primer. Sistem eCDSS ini berada dalam rekam medis elektronik dan dilakukan dengan atau tanpa follow-up apoteker.

Desain: Studi ini merupakan suatu percobaan acak klaster pragmatis. Partisipan adalah 524 pasien yang memiliki estimasi laju filtrasi glomerulus berbasis kreatinin sebesar 30–59 mL/menit/1,73 m2, yang dirawat oleh 80 tenaga medis di layanan primer di University of California, San Francisco. Data rekam medis elektronik digunakan untuk identifikasi pasien, intervensi, dan penentuan hasil.

Intervensi: Setiap pasien layanan primer yang memenuhi syarat diacak menjadi tiga grup, yaitu: (1) perawatan biasa; (2) eCDSS: tes rasio kreatinin, cystatin C, dan rasio albumin-kreatinin urine dengan panduan yang disesuaikan secara individual untuk tenaga medis terkait tekanan darah, kalium, manajemen proteinuria, penurunan risiko kardiovaskular, dan edukasi pasien; (3) eCDSS dengan konseling apoteker atau eCDSS-PLUS.

Luaran Klinis: Luaran klinis primer adalah perubahan tekanan darah selama 12 bulan. Sementara itu, luaran sekunder adalah kesadaran tenaga medis layanan primer terhadap penyakit ginjal kronik dan penggunaan obat angiotensin-converting enzyme inhibitor (ACEI) atau angiotensin receptor blocker (ARB) bersama statin.

Hasil: Ada 80 tenaga medis layanan primer yang ikut berpartisipasi. Usia rerata pasien adalah 70 tahun (47% adalah ras non-Kaukasian) dan estimasi laju filtrasi glomerulus rerata adalah 56 ± 0,6 mL/menit/1,73 m2. Di antara pasien yang mendapatkan eCDSS dengan atau tanpa konseling apoteker (n=336), 178 (53%) menyelesaikan tes laboratorium dan 138 (41%) memiliki hasil tes laboratorium yang diikuti dengan kunjungan tenaga medis layanan primer dengan eCDSS.

eCDSS dibuka oleh tenaga medis layanan primer untuk 102 (74%) pasien, dengan minimal 1 permintaan untuk 83 dari 102 pasien (81%). Perubahaan tekanan darah sistolik adalah -2,1 ± 1,5 mmHg untuk grup dengan perawatan biasa, -2,8 ± 1,8 mmHg untuk grup dengan eCDSS, dan -1,1 ± 1,1 untuk grup dengan eCDSS-PLUS (p=0,09).

Melalui analisis “as-treated”, tingkat kesadaran tenaga medis layanan primer terhadap penyakit ginjal kronik meningkat secara signifikan dengan eCDSS dan eCDSS-PLUS (73% dan 69%) dibandingkan dengan perawatan biasa (47%; p=0,002).

Limitasi: Rekrutmen mendapatkan ukuran sampel yang lebih kecil dari yang diharapkan dan penggunaan komponen tes dalam intervensi masih terbatas.

Kesimpulan: Meskipun peneliti tidak dapat menunjukkan efektivitas eCDSS untuk penurunan tekanan darah dan penggunaan eCDSS dibatasi dengan angka tes yang rendah, penggunaan eCDSS tampak tinggi ketika fasilitas tes laboratorium tersedia. Selain itu, eCDSS dihubungkan dengan peningkatan kesadaran tenaga medis layanan primer terhadap penyakit ginjal kronik.

shutterstock_613913759

Ulasan Alomedika

Insidensi penyakit ginjal kronik (PGK) meningkat setiap tahunnya dan tidak jarang berakhir pada gagal ginjal atau kematian. Pasien sering kali baru terdiagnosis ketika PGK sudah mencapai tahap lanjut. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi manfaat penggunaan data rekam medis elektronik untuk membantu stratifikasi risiko dan manajemen PGK secara individual.

Penelitian ini mengevaluasi efektivitas dan feasibility sistem pendukung keputusan klinis elektronik (eCDSS) di dalam rekam medis elektronik untuk meningkatkan manajemen penyakit ginjal kronik di pelayanan primer, dengan atau tanpa follow-up apoteker.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan data rekam medis elektronik untuk mengidentifikasi partisipan, menjalankan eCDSS, dan melihat luaran studi. Partisipan dibagi menjadi tiga grup, yaitu grup perawatan biasa, grup dengan eCDSS, dan grup dengan eCDSS-PLUS yang menggunakan follow-up apoteker melalui telepon setelah ada kunjungan tenaga medis layanan primer dengan eCDSS.

Penelitian ini menggunakan block randomization pada tenaga medis berdasarkan ukuran panel. Ahli statistik juga melakukan blinding terhadap tenaga medis dan terhadap alokasi pasien ke masing-masing grup selama masa studi. Adanya blinding dan randomization ini meningkatkan validitas studi.

Langkah pertama intervensi adalah pemeriksaan laboratorium untuk stratifikasi risiko, yaitu pemeriksaan kreatinin serum, cystatin C serum, dan rasio albumin-kreatinin urine. Apabila pasien dikategorikan berisiko rendah, peringatan akan memberikan notifikasi untuk mengunjungi tenaga medis lalu merekomendasi tes ulang dalam waktu 6 bulan.

Untuk pasien yang terkonfirmasi penyakit ginjal kronik, terdapat alarm pada Smartset yang memiliki rekomendasi sesuai kebutuhan pasien, misalnya penggunaan obat statin, rekomendasi diet dan diuresis, penggunaan atau peningkatan dosis obat ACEI atau ARB, serta saran kunjungan ke dokter subspesialis nefrologi untuk pasien risiko tinggi.

Luaran klinis primer penelitian ini adalah perubahan tekanan darah sistolik dan diastolik. Luaran ini menggunakan data pengukuran objektif, yaitu tekanan darah yang berkaitan dengan penyakit ginjal. Luaran klinis sekunder pada penelitian ini adalah kesadaran tenaga medis terhadap penyakit ginjal kronik. Selain itu, luaran klinis sekunder yang juga diteliti adalah penggunaan ACEI/ARB dan statin.

Penelitian ini memiliki kriteria inklusi dan eksklusi yang jelas sehingga meminimalkan kemungkinan bias. Penelitian ini menggunakan as-treated analysis, yaitu analisis yang hanya melibatkan intervensi yang memang diterima oleh pasien yang menyelesaikan penelitian. Untuk menghindari potensi bias, penelitian ini juga membandingkan karakteristik kedua grup, yaitu grup intervensi dan grup perawatan biasa.

Ulasan Hasil Penelitian

Dari total 336 pasien yang menggunakan eCDSS, 178 pasien menyelesaikan skrining marker laboratorium. Sebanyak 138 (78%) di antaranya telah melakukan kunjungan tenaga medis primer selama periode intervensi. Dari 138 pasien yang mengunjungi tenaga medis, eCDSS dibuka oleh tenaga medis sebanyak 102 (74%). Ada 83 peserta yang mendapatkan rekomendasi dari sistem, yaitu 67 telah terkonfirmasi PGK risiko tinggi dan 16 memiliki risiko rendah.

Tidak ada perbedaan yang signifikan pada tekanan darah pasien grup perawatan biasa, eCDSS, maupun eCDSS-PLUS. Namun, ada peningkatan kesadaran tenaga medis yang signifikan terhadap PGK di grup intervensi daripada di grup perawatan biasa.

Dibandingkan dengan grup perawatan biasa, odds ratio peningkatan kesadaran tenaga medis mencapai 3,18 kali (95% CI 1,29-7,82) pada grup eCDSS dan 2,49 kali (95% CI 1,21-5,10) pada grup eCDSS-PLUS. Odds ratio kesadaran “baru” tenaga medis lebih tinggi pada eCDSS sebesar 10,3 kail dan pada eCDSS-PLUS sebesar 8,34 kali.

Sebanyak 35 tenaga medis juga diacak untuk melihat kembali eCDSS. Dari 35 tenaga medis tersebut, 20 (74%) orang melaporkan rendahnya atau tidak adanya kesulitan dari penggunaan eCDSS pada layanan klinis.

Kelebihan Penelitian

Intervensi dalam penelitian ini berhasil menunjukkan angka penggunaan eCDSS yang tinggi oleh tenaga medis layanan primer (74%) karena desainnya disesuaikan dengan saran dari dokter yang mempertimbangkan workflow praktikal sehari-hari. Selain itu, desainnya juga dapat memberikan aksi yang terindividualisasi untuk tiap pasien.

Hal ini menjadi keunggulan dibandingkan dengan desain studi-studi serupa sebelumnya yang kesulitan mengintegrasikan sistem pendukung elektronik ke dalam workflow klinis, membutuhkan biaya lebih tinggi, dan tidak memiliki aksi individual untuk tiap pasien.

Rendahnya angka opt-out dokter maupun pasien dalam studi ini juga memungkinkan analisis kohort partisipan penyakit ginjal kronik tahap awal yang beragam (diverse), termasuk partisipan dengan ras non-Kaukasian dan yang tidak berbahasa Inggris.

Limitasi Penelitian

Penelitian ini memiliki jumlah sampel yang lebih sedikit dari yang diharapkan karena sedikitnya pasien yang memenuhi kriteria inklusi. Hal ini akhirnya mengurangi kekuatan penelitian untuk membedakan luaran ketiga grup.

Selain itu, keterbatasan waktu menyebabkan salah satu investigator meminta semua triple test markers untuk dijalankan dengan harapan bahwa semua pasien grup intervensi akan menjalaninya di kunjungan laboratorium berikutnya. Namun, jumlah partisipan grup intervensi yang menjalani semua tes tersebut dan mendapat kunjungan follow-up untuk eCDSS ternyata hanya 41%.

Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa apoteker cukup sulit menjangkau pasien untuk follow-up. Oleh karena itu, diharapkan studi mendatang dapat melakukan komunikasi via teks atau video call dibandingkan dengan telepon.

Aplikasi Penelitian di Indonesia

Meskipun penelitian ini belum dapat menentukan apakah sistem pendukung keputusan klinis elektronik dapat memperbaiki luaran klinis pasien penyakit ginjal kronik, penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan eCDSS dapat meningkatkan kesadaran tenaga medis terhadap penyakit ginjal kronik.

Peningkatan kesadaran tersebut diperkirakan dapat membantu deteksi penyakit ginjal kronik lebih awal. Oleh karena itu, rumah sakit yang memiliki fasilitas rekam medis elektronik dan laboratorium yang memadai dapat menuai manfaat dari implementasi praktik ini. Bagi sebagian besar rumah sakit di Indonesia yang belum memiliki sistem rekam medis elektronik sendiri, penggunaan aplikasi dan sistem berbasis website dapat menjadi jalan keluar.

Referensi