Watchful Waiting pada Otitis Media Akut Tanpa Komplikasi

Oleh :
dr. Tanessa Audrey Wihardji

Watchful waiting pada kasus otitis media akut tanpa komplikasi adalah suatu opsi tata laksana berupa observasi gejala pasien dan penundaan terapi antibiotik. Tata laksana ini biasanya dipertimbangkan untuk anak berusia 6–23 bulan yang mengalami otitis media akut unilateral tidak parah dan anak berusia ≥24 bulan yang mengalami otitis media akut unilateral maupun bilateral tidak parah.[1]

Watchful waiting dinilai dapat mengurangi penggunaan antibiotik yang tidak dibutuhkan, sehingga mengurangi risiko resistensi dan efek samping antibiotik. Namun, keputusan watchful waiting yang kurang tepat pada otitis media akut (OMA) berisiko menimbulkan komplikasi lanjutan pada anak. Keuntungan, kekurangan, indikasi, dan pedoman klinis watchful waiting pada anak dengan OMA harus diketahui oleh dokter.[1-3]

Watchful Waiting pada Otitis Media Akut Tanpa Komplikasi-min

Kriteria Pasien yang Bisa Menjadi Kandidat Watchful Waiting

Watchful waiting berarti bahwa pemberian antibiotik ditunda selama 48–72 jam sejak onset gejala. Saat watchful waiting, dokter hanya memberikan terapi simtomatik dan meminta pasien diobservasi. Bila gejala tidak membaik atau justru memburuk, pasien harus dibawa kembali ke dokter untuk mendapatkan terapi antibiotik sesuai pedoman penatalaksanaan OMA.[1,2]

Keputusan watchful waiting dibuat berdasarkan beberapa kriteria, yaitu usia pasien, keparahan gejala OMA, dan jaminan bahwa pasien bisa diobservasi dan bisa kembali ke dokter untuk follow-up. Kriteria pasien yang bisa dipertimbangkan untuk menjalani watchful waiting adalah:

  • Anak berusia 6–23 bulan yang mengalami OMA unilateral tidak parah, yakni OMA dengan gejala nyeri ringan selama <48 jam dan suhu tubuh <39°C
  • Anak berusia ≥24 bulan yang mengalami OMA unilateral atau bilateral tidak parah, yakni OMA dengan gejala nyeri ringan selama <48 jam dan suhu tubuh <39°C[1]

Pendapat orang tua tentang keputusan watchful waiting juga harus dipertimbangkan oleh dokter. Persetujuan orang tua mungkin dipengaruhi oleh tingkat pendidikan orang tua, pengalaman menangani OMA sebelumnya, pengetahuan mengenai antibiotik, serta risiko resistensi antibiotik dan efek samping. Semuanya saling terkait untuk memenuhi kriteria terakhir, yaitu jaminan pasien harus kembali untuk follow-up.[1,2]

Untuk anak berusia <6 bulan, tata laksana yang disarankan adalah inisiasi antibiotik segera tanpa watchful waiting. Watchful waiting juga tidak dapat diterapkan pada anak dengan abnormalitas anatomis seperti Down syndrome, palatoskisis, implan koklear, atau defisiensi sistem imun.[1,3,4]

Perbandingan Watchful Waiting dan Antibiotik pada Otitis Media Akut Tanpa Komplikasi

Suatu uji acak terkontrol membandingkan watchful waiting dan pemberian antibiotik segera pada 223 anak OMA berusia 6 bulan sampai 12 tahun. Hasil uji menunjukkan bahwa watchful waiting dapat diterapkan kepada pasien OMA non-komplikata selama pasien tidak mengalami komplikasi lanjutan atau ketidaknyamanan yang berarti.[5]

Studi tersebut menyimpulkan bahwa watchful waiting adalah alternatif penatalaksanaan yang cukup dapat diterima oleh orang tua pasien, dapat mengurangi peresepan dan biaya antibiotik, dan mengurangi angka resistensi antibiotik.[5]

Suatu meta analisis juga mempelajari 11 uji klinis acak yang membandingkan terapi antibiotik dan watchful waiting atau plasebo pada anak berusia 6 bulan sampai 12 tahun yang menderita OMA. Hasil analisis menunjukkan bahwa resolusi gejala OMA seperti demam, nyeri, dan iritabilitas lebih cepat dicapai dengan terapi antibiotik, yang akhirnya meningkatkan kualitas hidup pasien dan menurunkan tingkat kegelisahan orang tua.[6]

Namun, meta analisis tersebut menyebutkan bahwa margin perbedaan keuntungan yang diberikan oleh antibiotik tidak terlalu besar bila dibandingkan watchful waiting, sehingga penggunaannya harus mempertimbangkan aspek klinis lainnya.[6]

Tinjauan sistematik lain yang menganalisis 63 literatur juga menyimpulkan bahwa gejala OMA akan membaik dalam 24 jam pada 61% anak tanpa terapi antibiotik. Perbaikan ini lalu meningkat hingga 80% pada hari kedua dan ketiga. Hal ini juga didukung oleh uji klinis acak Tahtien, et al., yang menyatakan bahwa perbaikan gejala antara kelompok watchful waiting dan antibiotik tidak berbeda terlalu jauh (91% vs 96%).[7,8]

Uji klinis acak yang lebih baru oleh Shahbaznejad, et al., terhadap 396 anak dengan OMA yang tidak parah menunjukkan bahwa antibiotik memang lebih cepat memperbaiki gejala bila dibandingkan watchful waiting. Namun, risiko rekurensi dan efusi telinga tengah tidak berbeda signifikan antara kedua grup. Kejadian efek samping juga lebih banyak pada grup antibiotik. Keputusan dokter untuk memberikan antibiotik harus membandingkan manfaat dan risikonya.[3]

Watchful Waiting dan Risiko Komplikasi Otitis Media Akut

Komplikasi OMA yang sering terjadi adalah mastoiditis. Pemberian antibiotik sejak diagnosis awal OMA tanpa komplikasi dipercaya dapat mengurangi insiden mastoiditis pada OMA. Namun, penelitian membuktikan bahwa inisiasi antibiotik pada OMA tidak menghasilkan perbedaan bermakna dibandingkan plasebo atau observasi. Pemberian antibiotik bukan merupakan jaminan absolut tidak terjadinya mastoiditis.[1]

Selain itu, suatu studi observasional prospektif oleh Grossman, et al., menyatakan bahwa pemberian antibiotik tertunda pada OMA tidak berhubungan dengan tingkat keparahan pada komplikasi berupa mastoiditis akut. Penelitian ini melibatkan 512 anak dengan mastoiditis, di mana 216 anak menderita OMA.[9]

Pada anak dengan OMA, 159 (73%) mendapat antibiotik segera, sedangkan 57 (27%) sisanya mendapat antibiotik tertunda. Analisis regresi pada penelitian ini menunjukkan bahwa subjek yang mendapatkan antibiotik lebih awal memiliki kebutuhan manajemen operatif yang lebih tinggi, serta lebih mungkin mengalami OMA rekuren. Namun, studi ini memiliki kelemahan berupa jumlah sampel yang kecil.[9]

Komplikasi OMA yang lainnya adalah meningitis bakterialis. Studi Rosenfeld, et al., menyebutkan bahwa komplikasi supuratif (mastoiditis atau meningitis) terjadi pada 1 dari 843 anak (0,12%) yang diterapi dengan plasebo. Akan tetapi, jumlah ini masih berimbang dengan jumlah anak yang mengalami komplikasi meningitis meskipun sudah mendapat terapi antibiotik sejak awal (2 dari 932, atau 0,21%).[7]

Meta analisis Cochrane juga pernah mempelajari kejadian perforasi membran timpani, kontralateral otitis, dan komplikasi serius akibat OMA pada kelompok pasien yang mendapatkan antibiotik dan tidak mendapatkan antibiotik. Hasil menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok.[10]

Kesimpulan

Watchful waiting atau observasi dapat dipertimbangkan sebagai opsi bagi anak berusia 6–23 bulan yang mengalami otitis media akut unilateral tidak parah dan anak berusia ≥24 bulan yang mengalami otitis media akut unilateral maupun bilateral tidak parah (nyeri ringan <48 jam dan suhu tubuh <39°C).

Namun, watchful waiting hanya dianjurkan bila pengasuh anak bisa mengobservasi dan membawa anak kembali ke dokter untuk follow-up. Bila dalam 48–72 jam setelah onset gejala anak belum menunjukkan perbaikan atau justru menunjukkan perburukan gejala, dokter harus memberikan antibiotik sesuai pedoman terapi otitis media akut.

Watchful waiting dilaporkan dapat mengurangi beban biaya medis dan mengurangi risiko resistensi serta efek samping antibiotik. Namun, watchful waiting memerlukan waktu dan perhatian lebih dari pengasuh anak. Di Indonesia, untuk keluarga yang memiliki akses dekat ke fasilitas kesehatan dan anaknya memenuhi kriteria watchful waiting, tindakan ini dapat disarankan. Namun, bagi kasus yang sulit memenuhi kriteria watchful waiting, penggunaan antibiotik dianjurkan.

Kemungkinan komplikasi seperti mastoiditis dan meningitis akibat OMA tidak menjadi lebih besar bila watchful waiting dilakukan dengan tepat. Pemberian antibiotik segera pada pasien OMA bukan merupakan jaminan absolut tidak terjadinya mastoiditis atau komplikasi lain. Pemberian antibiotik hanya mempercepat perbaikan gejala, seperti durasi demam, otalgia, serta perbaikan nafsu makan dan aktivitas.

 

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi