Pemberian Antikoagulan Profilaksis Dini untuk Mencegah Mortalitas COVID-19 – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Eduward Thendiono, SpPD,FINASIM

Early Initiation of Prophylactic Anticoagulation for Prevention of Coronavirus Disease 2019 Mortality in Patients Admitted to Hospital in the United States: Cohort Study

Rentsch CT, Beckman JA, Tomlinson L, et al. British Medical Journal. 2021;372:n311. PMID: 33574135.

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Abstrak

Tujuan: Studi ini mengevaluasi apakah pemberian antikoagulan profilaksis secara dini dapat mengurangi risiko kematian pada pasien COVID-19 di rumah sakit di Amerika Serikat bila dibandingkan dengan tidak diberikannya antikoagulan.

Desain: Studi ini adalah studi kohort observasional.

Pengaturan: Kohort nasional dilakukan terhadap pasien yang mendapatkan perawatan di Department of Veterans Affairs, yang merupakan suatu sistem pelayanan kesehatan terbesar milik pemerintah Amerika Serikat. Sistem ini terdiri dari bermacam rumah sakit, klinik rawat jalan, dan pusat rehabilitasi.

Partisipan: Sebanyak 4.297 pasien dirawat inap di rumah sakit sejak 1 Maret 2020 hingga 31 Juli 2020. Pasien memiliki hasil laboratorium yang terkonfirmasi sebagai infeksi SARS-CoV-2 dan pasien tidak memiliki riwayat antikoagulan sebelumnya.

Luaran utama: Luaran utama dari studi ini adalah mortalitas 30 hari. Sementara itu, luaran sekundernya adalah mortalitas pasien rawat inap, inisiasi antikoagulan terapeutik (menandakan perburukan klinis seperti kejadian tromboemboli), dan perdarahan yang membutuhkan transfusi.

Hasil: Dari total 4.297 pasien yang dirawat inap karena COVID-19, sebanyak 3.627 pasien (84,4%) mendapatkan antikoagulan profilaksis dalam waktu 24 jam setelah mulai rawat inap. Lebih dari 99% (n=3600) pasien mendapat heparin atau enoxaparin subkutan. Ada 622 kematian dalam waktu 30 hari sejak rawat inap di rumah sakit dan 513 di antaranya mendapatkan antikoagulan profilaksis.

Sebagian besar kematian (510/622; 82%) terjadi saat masa rawat inap di rumah sakit. Analisis inverse probability of treatment weighted menunjukkan bahwa insiden kumulatif mortalitas dalam 30 hari adalah 14,3% (95% CI 13,1–15,5%) untuk pasien yang mendapatkan antikoagulan profilaksis dan 18,7% (95% CI 15,1–22,9%) untuk pasien yang tidak mendapatkan antikoagulan.

Jika dibandingkan dengan pasien yang tidak mendapatkan antikoagulan profilaksis, pasien yang mendapatkan antikoagulan mengalami penurunan risiko kematian 30 hari sebesar 27% (HR 0,73; 95% CI 0,66–0,81). Hubungan serupa juga ditemukan pada mortalitas pasien rawat inap dan pemberian antikoagulan terapeutik.

Pasien yang mendapatkan antikoagulan profilaksis tidak mengalami peningkatan risiko perdarahan yang membutuhkan transfusi (HR 0,87; 95% CI 0,71–1,05). Analisis bias kuantitatif menunjukkan bahwa hasil studi ini bersifat kuat (robust) terhadap unmeasured confounding atau faktor perancu yang tidak diukur (e-value lower 95% CI 1,77 untuk mortalitas 30 hari). Hasil ini persisten dalam beberapa analisis sensitivitas.

Kesimpulan: Pemberian antikoagulan profilaksis secara dini pada pasien COVID-19 yang dirawat inap di rumah sakit dapat menurunkan risiko kematian dalam 30 hari. Hal ini juga tidak meningkatkan risiko perdarahan yang serius. Temuan ini menyajikan bukti riil yang mendukung pedoman yang merekomendasikan penggunaan antikoagulan profilaksis sebagai terapi awal pasien COVID-19 yang masuk rawat inap.

shutterstock_17314296977-min

Ulasan Alomedika

Berbagai studi telah menunjukkan bahwa infeksi SARS-CoV-2 berkaitan erat dengan koagulopati. Oleh karena itu, pemberian antikoagulan profilaksis mulai banyak ditelaah dan sudah dianjurkan oleh sejumlah organisasi medis, seperti American Society of Hematology dan International Society on Thrombosis and Haemostasis. Studi ini dilakukan untuk mengevaluasi pernyataan klinis tersebut dan melaporkan dampak antikoagulan profilaksis dini terhadap mortalitas pasien COVID-19.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan suatu kohort observasional yang dilakukan terhadap rekam medis elektronik Department of Veterans Affairs Amerika Serikat. Studi ini mengikutkan semua pasien COVID-19 yang dirawat inap di rumah sakit antara 1 Maret 2020 hingga 31 Juli 2020. Partisipan telah terkonfirmasi positif infeksi SARS-CoV-2 menurut tes laboratorium saat masuk rawat inap atau dalam waktu 14 hari sebelum rawat inap.

Kriteria eksklusi menyingkirkan pasien yang sudah mendapat perawatan sebelumnya, pasien yang telah menerima antikoagulan dalam waktu 30 hari sebelum masuk rumah sakit, atau pasien yang menerima transfusi sel darah merah dalam waktu 24 jam setelah masuk rawat inap. Antikoagulan yang dimaksud meliputi warfarin, heparin intravena, low molecular weight heparin (enoxaparin, fondaparinux, dalteparin) dan direct oral anticoagulant (apixaban, rivaroxaban, dabigatran).

Untuk memperkirakan dampak terapi, peneliti menerapkan analisis inverse probability of treatment weighting. Kovariat disimpulkan dengan menggunakan statistik deskriptif dan distratifikasi menurut grup terapi. Model regresi Cox dipakai dalam mengestimasi inverse probability of treatment weighted hazard ratio dengan 95% confidence interval terhadap dampak terapi. Analisis sensitivitas dilakukan dengan analisis bias kuantitatif dengan menghitung e-value.

Ulasan Hasil Penelitian

Sejak 1 Maret 2020 hingga 31 Juli 2020, ada 4.297 pasien terkonfirmasi COVID-19 yang dirawat inap di rumah sakit. Dari jumlah tersebut, sebanyak 3.627 pasien (84,4%) mendapatkan antikoagulan profilaksis.

Lebih dari 99% (n=3600) pasien mendapatkan heparin atau enoxaparin subkutan. Hasil studi menemukan 622 kematian dalam waktu 30 hari sejak masuk rawat inap di rumah sakit, di mana 513 di antaranya mendapatkan antikoagulan profilaksis. Sebagian besar kematian (510/622; 82%) terjadi saat masa rawat inap di rumah sakit.

Luaran primer menemukan bahwa insiden kumulatif mortalitas dalam 30 hari lebih kecil pada grup yang mendapatkan antikoagulan profilaksis daripada grup yang tidak mendapatkan antikoagulan profilaksis (14,3% [95% CI 13,1–15,5%]  vs 18,7% [95% CI 15,1–22,9%]). Ada penurunan risiko kematian 30 hari sebesar 27% (HR 0,73; 95% CI 0,66–0,81) pada pasien yang mendapat antikoagulan profilaksis.

Hubungan serupa juga ditemukan pada mortalitas pasien rawat inap dan pemberian antikoagulan terapeutik. Selain itu, proporsi pasien dengan saturasi oksigen >93% juga lebih besar pada grup yang mendapatkan antikoagulan profilaksis daripada grup yang tidak mendapatkannya (16,0% vs 10,7%).

Pasien yang mendapatkan antikoagulan profilaksis tidak menunjukkan peningkatan risiko perdarahan yang membutuhkan transfusi (HR 0,87; 95% CI 0,71–1,05). Analisis bias kuantitatif menunjukkan bahwa hasil studi ini bersifat kuat (robust) terhadap unmeasured confounding atau faktor perancu yang tidak diukur (e-value lower 95% CI 1,77 untuk mortalitas 30 hari).

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini menggunakan data rekam medis elektronik yang detail dan longitudinal, yang mencakup pasien-pasien di seluruh Amerika Serikat (nationwide). Penelitian ini juga menggunakan metodologi farmakoepidemiologi dan memberikan hasil yang sudah terbukti kuat (robust) terhadap berbagai faktor perancu yang tidak diukur (unmeasured confounding) dalam analisis sensitivitas.

Pelaku studi telah mengambil langkah pengurangan bias dengan memperhitungkan faktor perancu, seperti penyakit kronis yang dimiliki tiap pasien dan penggunaan terapi COVID-19 yang lain. Selain itu, pelaku studi juga telah menyesuaikan faktor usia, ras, dan jenis kelamin.

Limitasi Penelitian

Ada beberapa limitasi pada penelitian ini. Pertama, penelitian ini hanya merupakan penelitian observasional, sehingga uji klinis acak yang terkontrol masih diperlukan untuk menyingkirkan ketidakpastian yang ada dari faktor perancu. Kedua, informasi tentang penyebab kematian belum disebutkan secara detail pada studi ini. Ketiga, belum ada algoritme tervalidasi yang mengidentifikasi kejadian tromboemboli sebagai salah satu luaran yang diukur.

Keempat, data studi ini berasal dari sistem kesehatan Veterans Affairs yang didominasi oleh populasi lanjut usia dengan prevalensi tinggi penyakit kronis. Oleh karena itu, hasil studi mungkin akan berbeda pada populasi lain. Kelima, mayoritas peserta studi ini adalah laki-laki, sehingga hasil studi mungkin berbeda pada wanita.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Hasil penelitian ini dapat diterapkan di Indonesia secara berhati-hati menurut pedoman internasional yang sudah dipublikasikan, seperti pedoman dari American Society of Hematology, International Society on Thrombosis and Haemostasis, dan American College of Chest Physicians. Namun, dokter harus mempertimbangkan kondisi medis masing-masing pasien sebelum memulai terapi. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya efek samping, misalnya perdarahan.

Referensi