Konsumsi Gula dengan Gangguan Perilaku Anak

Oleh :
dr. Anastasia Feliciana

Konsumsi gula sering kali dikaitkan dengan gangguan perilaku anak, bahkan seringkali terdapat pandangan bahwa konsumsi gula berlebih mengarah pada suatu peningkatan mood dan hiperaktivitas anak atau disebut ‘sugar rush’. Namun benarkah demikian adanya?

Terminologi Sugar Rush

Konsumsi produk dengan kandungan gula tinggi meningkat secara global seiring berjalannya waktu. Pemahaman hubungan antara konsumsi karbohidrat dengan perubahan mood perlu diluruskan.

 

shutterstock_558030877-min

Sebuah meta analisis mengemukakan dari 31 studi (1259 subjek) menunjukkan tidak ada efek positif antara konsumsi karbohidrat dengan mood di  waktu kapanpun, justru konsumsi karbohidrat berhubungan dengan meningkatnya tingkat lelah dan kekurang-waspadaan atau ‘sugar crash’ dibandingkan plasebo dalam empat jam pertama setelah konsumsi karbohidrat. Dari artikel tersebut disimpulkan bahwa ‘sugar rush’ hanyalah mitos belaka.[1]

Hipotesis Asosiasi Konsumsi Gula terhadap ADHD

Secara teori, glukosa diasumsi dapat meningkatkan pelepasan dopamin ekstraseluler di area striatum, yang berhubungan dengan sistem reward.  Konsumsi gula dalam jangka waktu panjang, akan berujung pada desensitisasi reseptor dopaminergik, sehingga memerlukan asupan glukosa yang lebih tinggi sebagai kompensasinya untuk mencapai level kepuasan yang sama.

Konsekuensinya, setelah konsumsi gula, akan terjadi penurunan respon dopamin yang progresif. Disfungsi ini akan menghambat mekanisme inhibisi di korteks frontal, dimana area ini berkaitan dengan patomekanisme terjadinya attention deficit and hyperactivity disorder (ADHD).[2]

Mekanisme Sistem Reward pada Attention Deficit and Hyperactivity Disorder (ADHD)

ADHD dialami hampir 10% dari seluruh anak di Amerika Serikat, dan cenderung meningkat seiring waktu. Penyebab ADHD masih belum diketahui, namun beberapa penelitian menyebutkan kemungkinan adanya asosiasi dengan gangguan sinyal dopamin, dimana reseptor dopamin D2 mengalami penurunan di regio otak yang berhubungan dengan sistem reward.

Pola yang sama juga dijumpai pada beberapa sindrom defisiensi reward seperti adiksi obat-obatan, adiksi makanan, seperti yang ditemukan pada orang dengan obesitas.[3]

Penelitian mengenai Konsumsi Gula dengan ADHD

Sebuah penelitian case-control oleh Yu et al. tahun 2016 meneliti 173 anak dengan ADHD dan 159 anak tanpa ADHD, berusia 4-15 tahun. Penelitian tersebut menemukan adanya hubungan dosis-respons antara konsumsi sugar-sweetened beverage (SSB) dengan ADHD (odd ratio pada konsumsi SSB sedang: 1.36, odd ratio pada konsumsi SSB tinggi: 3.69, signifikan secara statistik), apabila subjek anak perempuan dieksklusi, hasil yang sama juga didapatkan.[4]

Meskipun demikian, penelitian  oleh Yu et al. ini bertentangan dengan penelitian yang  memiliki level/kekuatan bukti ilmiah lebih kuat, seperti penelitian kohort dan metaanalisis.

Metaanalisis yang dilakukan oleh Wolraich pada tahun 1995, menyimpulkan bahwa dari 16 studi eksperimental, konsumsi gula tidak meningkatkan risiko terjadinya defisit atensi dan/atau hiperaktivitas pada anak.[2,5]

Dalam penelitian kohort yang dilakukan Del Ponte et al. pada tahun 2019 dari 2924 anak usia 6-11 tahun, juga menunjukkan tidak ada asosiasi antara konsumsi tinggi sukrosa dengan kejadian ADHD bila dibandingkan dengan kelompok anak yang konsumsi rendah sukrosa (odd ratio pada anak laki-laki 0.66 dan anak perempuan 2.71).[3]

Dalam sebuah penelitian oleh Kim dan Chang, dari 107 anak yang termasuk dalam kategori berisiko menurut kriteria diagnosis ADHD, disimpulkan bahwa tidak ada asosiasi signifikan antara konsumsi gula sederhana dengan perkembangan ADHD. [6]

Rekomendasi Konsumsi Gula pada Anak

Walaupun tidak berpengaruh terhadap kejadian ADHD, European Society for Paediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (ESPGHAN) Committee on Nutrition merekomendasikan maksimal asupan gula harian sebaiknya kurang dari 5% asupan energi harian berdasarkan usia (4 gram gula setara dengan satu sendok teh).

Berikut rekomendasi asupan gula harian oleh ESPGHAN:

  • Usia 2-4 tahun maksimal 15-16 gram gula
  • Usia 4-7 tahun maksimal 18-20 gram gula
  • Usia 7-10 tahun maksimal 22-23 gram gula
  • Usia 10-13 tahun maksimal 24-27 gram gula
  • Usia 13-15 tahun maksimal 27-32 gram gula
  • Usia 15-19 tahun maksimal 28-37 gram gula

ESPGHAN merekomendasikan asupan gula harian karena konsumsi gula berlebih dapat meningkatkan risiko obesitas, penyakit kardiovaskular, diabetes mellitus tipe 2, keluhan pencernaan (malabsorpsi gula dari jus buah berlebih dapat menyebabkan kembung, diare kronik, nyeri perut) dan karies gigi. Tak hanya itu, asupan gula berlebihan juga dinilai tidak memiliki manfaat gizi bagi anak.[7]

Kesimpulan

Istilah ‘sugar rush’ atau kondisi peningkatan energi dan mood yang muncul tiba-tiba akibat konsumsi pangan yang mengandung gula, dinilai tidak terbukti secara ilmiah. Berdasarkan meta analisis oleh Mantantzis et al. tidak ada korelasi antara konsumsi gula atau karbohidrat dengan mood dan perilaku. Berdasarkan penelitian ini konsumsi gula diasosiasikan dengan peningkatan kelelahan dan ketidakwaspadaan atau disebut ‘sugar crash’.

Pada beberapa penelitian konsumsi gula berlebih pada anak tidak terbukti meningkatkan perilaku ‘hiperaktif’ pada anak maupun hubungan risiko menjadi ADHD. Bukti ilmiah mengenai konsumsi karbohidrat berlebih justru cenderung membuat letih dan tidak fokus atau ‘sugar crash’. Selain itu, konsumsi gula berlebih selain tidak memiliki manfaat nutrisi, juga dapat meningkatkan risiko obesitas, diabetes melitus, penyakit jantung dan pembuluh, serta karies gigi.

 

 

Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri

 

Referensi