Keseimbangan Mikrobiota Usus: Peran Sinbiotik untuk Mencegah Alergi pada Anak

Oleh :
dr. Nurul Falah

Kolonisasi mikrobiota usus pada neonatus merupakan hal yang krusial dalam menjaga kesehatan bayi. Paparan pertama dengan komunitas mikrobiota maternal (vagina, feses, ASI, mulut dan kulit) akan menentukan kematangan usus, perkembangan metabolik dan imunologi serta konsekuensi status kesehatan jangka pendek dan jangka panjang.

Bayi yang lahir secara pervaginam akan dikolonisasi oleh bakteri vagina dan feses ibu, termasuk Lactobacillus dan Bifidobacterium spp. Berbagai faktor eksternal seperti persalinan sectio caesarea, jenis asupan, paparan antibiotik dan lingkungan dapat mempengaruhi kolonisasi mikrobiota usus sehingga menyebabkan terjadinya ketidakseimbangan mikrobiota usus. Adanya ketidakseimbangan dari mikrobiota usus atau disbiosis akan membuat anak rentan mengalami berbagai gangguan kesehatan, salah satunya adalah alergi susu sapi.[1,2]

shutterstock_1228925236-min

Prevalensi dari alergi susu sapi bervariasi sekitar 0,5-3% di negara berkembang, yang merupakan angka tertinggi kedua setelah alergi telur. Gejala alergi susu sapi mulai muncul sebelum bayi berusia 1 bulan.  Gejala klinis dapat muncul dalam waktu 30 menit sampai 1 jam setelah mengonsumsi protein susu sapi. Manifestasi klinis yang dapat timbul adalah urtikaria, angioedema, ruam kulit, dermatitis atopik, muntah, nyeri perut, diare, rinokonjungtivitis, bronkospasme, dan anafilaksis.

Selain itu, alergi yang terbentuk pada masa awal kehidupan memiliki dampak pada kehidupan saat dewasa, fenomena ini disebut sebagai atopic march. Hal ini berarti anak yang memiliki alergi di awal kehidupan memiliki risiko tinggi mengidap alergi lainnya seperti, dermatitis atopik, rhinitis alergi, dan asma di masa mendatang.[2,3,4]

Oleh karena itu, pencegahan terjadinya alergi susu sapi perlu untuk dilakukan terutama pada anak yang beresiko, misalnya memiliki riwayat atopi pada keluarga. Salah satu konsep yang tengah dikembangkan untuk mencegah terjadinya alergi susu sapi adalah dengan menyeimbangkan kolonisasi mikrobiota usus, contohnya dengan pemberian sinbiotik. Memahami ilmu mikrobioma serta interaksinya pada tubuh inang untuk menyeimbangkan mikrobiota usus merupakan kunci untuk mengembangkan pendekatan terapeutik yang lebih baik.[5,6]

Patogenesis Alergi dan Disbiosis Usus

Patogenesis alergi makanan melibatkan komponen imunologi seperti sel-sel imun dan senyawa kimia. Sel mediator dari alergi adalah basofil dan sel mast yang bereaksi terhadap IgE dan menghasilkan senyawa mediator peradangan. Alergen yang masuk akan dihadapi oleh sel penyaji antigen seperti makrofag dan akan diberikan kepada sel T helper. Selanjutnya terjadi pelepasan histamin, prostaglandin, leukotrien, dan kemokin.[5,7]

Terdapat pula komponen imunitas humoral dan seluler yang berkontribusi terhadap toleransi makanan. Untuk imunitas humoral, pada subjek alergi yang dimediasi IgE yang kemudian mengembangkan toleransi, kadar alergen spesifik IgE spesifik akhirnya berkurang. Untuk imunitas seluler, mekanisme toleransi melibatkan dua mekanisme yaitu penekanan efektor bawaan dan juga peningkatan regulasi TReg-sel. Regulasi TReg-sel merupakan cara yang utama untuk menginduksi dan mempertahankan toleransi terhadap alergen karena juga mempengaruhi mekanisme sebelumnya dalam perkembangan penyakit. [8,9]

Korelasi Antara Sel TReg Terhadap Mikrobiota Usus

Kolonisasi mikrobiota seperti spesies Clostridium dan Bifidobacterium dilaporkan terbukti meningkatkan induksi sel TReg yang mempunyai tugas penting untuk memodulasi sistem imun dan toleransi terhadap antigen sehingga dapat mencegah terjadinya reaksi alergi. Sebaliknya, penekanan pada sel TReg akan berkontribusi terhadap terjadinya reaksi alergi makanan. [8,10]

Sementara itu ketidakseimbangan mikrobiota dalam sistem gastrointestinal akan memicu terjadinya disbiosis. Disbiosis yang terjadi pada usia dini akan meningkatkan resiko terjadinya berbagai penyakit termasuk alergi makanan. Ketidakseimbangan mikrobiota usus akan meningkatkan level IgE. [12]

Studi Ilmiah Terkait Sistem Imun dan Mikrobiota Usus

Studi kohort oleh Rouhtula et al menemukan bahwa komposisi mikrobiota usus  neonatus akan memodulasi pematangan sel-sel TReg pada tahun pertama kehidupan serta peningkatan risiko penyakit alergi di masa mendatang. Keseimbangan komposisi mikrobiota usus terutama Bifidobacterium, Bacteroides dan E. coli terutama pada awal kehidupan sampai usia 3 bulan dilaporkan berkaitan dengan penurunan resiko penyakit alergi seperti asma, alergi makanan maupun eczema pada masa mendatang. Persentase Bifidobacterium yang lebih tinggi daripada bacteroides dan E. coli berisiko lebih rendah mengalami penyakit atopi. Sebaliknya, rendahnya Bifidobacterium dan tingginya bacteroides dan E coli akan berisiko tinggi mengalami penyakit atopi di masa mendatang.[8]

Terdapat beberapa bukti ilmiah lain mengenai efek disbiosis dalam patogenesis alergi makanan. Suatu studi potong lintang dari Ling et al membandingkan antara subjek dengan alergi makanan dengan subjek yang sehat. Ling menggunakan 16s rRNA sequencing untuk mempelajari perbedaan komposisi mikrobiota antara 17 anak yang memiliki alergi tipe IgE, 17 anak yang memiliki alergi tipe non-IgE, dan 45 anak yang sehat dengan rentang usia 2-11 bulan.[13]

Hasilnya tidak terlihat perbedaan pada komposisi mikrobiota, meski demikian terlihat peningkatan jumlah mikroba seperti Clostridium sensu stricto dan Aerobacter dan penurunan jumlah mikroba Bacteroides dan Clostridium XVIII pada anak yang memiliki alergi tipe IgE. Sebelumnya telah diketahui bahwa jumlah Clostridium sensu stricto yang tinggi berkaitan dengan peningkatan level IgE.[13]

Dampak Disbiosis Terhadap Alergi

Disbiosis usus meningkatkan risiko terjadinya alergi makanan termasuk alergi susu sapi. Semakin dini anak mengalami disbiosis usus, semakin rentan anak untuk mengalami penyakit atopi lainnya seperti dermatitis atopik, rinitis alergika, dan asma. Sistem gastrointestinal bayi akan memberikan lingkungan baru bagi kolonisasi mikroba. Pada minggu pertama awal kehidupan, kolonisasi mikrobiota di usus dipenuhi oleh Actinobacteria, Proteobacteria, Bacteroides, dan Firmicutes.[12,14]

Usia awal kehidupan hingga 3 tahun merupakan awal inisiasi kolonisasi dan perkembangan usus. Bila tidak ditangani, akan terjadi perubahan konfigurasi usus yang akan menetap hingga usia dewasa. Mikrobiota bayi yang dilahirkan dengan persalinan pervaginam memiliki kemiripan dengan mikrobiota di vagina ibunya pada 20 menit awal kehidupan, salah satu contohnya adalah Lactobacillus. Berbeda dengan bayi yang dilahirkan secara sectio Caesarea, yaitu Clostridium, Staphylococcus, Propionibacterium, dan Corynebacterium.[15]

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mikrobiota Usus Bayi

Usus bayi mengalami stadium perkembangan penting yang sangat dipengaruhi oleh proses kolonisasi mikrobiota. Penelitian pada model binatang coba yang ditumbuhkan pada kondisi bebas mikroba (germ-free) menunjukkan bahwa kolonisasi mikroba merangsang perkembangan sel epitel usus dan pematangan dari jaringan limfoid di sekitar usus (gut-associated lymphoid tissue/GALT).[16]

Mikrobiota usus bayi akan mengalami proses perkembangan untuk mencapai kondisi stabil pada saat usia dewasa. Diyakini bahwa kontak pertama dengan komunitas mikrobiota maternal (vaginal, feses, ASI, mulut dan kulit) akan menentukan kematangan usus, perkembangan metabolik dan imunologi serta konsekuensi status kesehatan jangka pendek dan jangka panjang.[6,16]

Beberapa faktor yang mempengaruhi disbiosis usus terbagi menjadi dua yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor genetik sementara faktor eksternal meliputi diet tinggi lemak/rendah, pengenalan makanan tambahan yang terlalu dini, usia persalinan, persalinan sectio Caesarea, kondisi geografis, tradisi kultur, penggunaan antiseptik, kurang atau tidak mendapatkan ASI, dan penggunaan obat-obatan seperti antibiotik. [6,17]

Peran Sinbiotik Sebagai Pencegahan Alergi

Salah satu strategi untuk merubah konfigurasi mikrobiota tersebut adalah menggunakan probiotik, prebiotik atau kombinasi dari keduanya yang dikenal sebagai sinbiotik. Probiotik merupakan mikroorganisme hidup yang memiliki manfaat bagi kesehatan manusia dengan efek imunomodulator yang khas untuk setiap strain dan berperan dalam perkembangan sistem imun sistemik dan mukosa terutama toleransi oral.[6]

Prebiotik telah banyak dilaporkan mempengaruhi komposisi mikrobiota usus, merangsang bakteri komensal yang bermanfaat selain bakteri asam laktat. Konsumsi prebiotik seperti fruktooligosakarida/FOS dan galaktooligosakarida/GOS dilaporkan dapat memicu peningkatan Bifidobacterium usus. Sementara itu, pemberian sinbiotik kepada bayi baru lahir dilaporkan aman untuk meningkatkan mikrobiota komensal seperti Bifidobacterium. Hal ini dapat meningkatkan resistensi terhadap infeksi pernafasan selama 2 tahun pertama kehidupan, namun hal ini tetap memerlukan studi lebih lanjut.[6,18,19]

Efektivitas Sinbiotik Terhadap Anak Sectio Caesarea

Studi multisenter, acak, buta ganda, terkontrol di Singapura dan Thailand meneliti fungsi sinbiotik terhadap mikrobiota 153 bayi pada Ibu yang dilakukan sectio Caesarea. Subjek dibagi menjadi 3 kelompok, 52 bayi diberikan sinbiotik (campuran dari probiotik Bifidobacterium breve M-16 dan prebiotik FOS/GOS), 51 bayi diberikan prebiotik FOS/GOS, dan 50 bayi kontrol diberikan susu formula tidak terhidrolisat dari sejak lahir sampai usia 16 minggu.[20]

Dibandingkan subjek kontrol, suplementasi dini dari sinbiotik terlihat lebih mampu meningkatkan proliferasi dari Bifidobacterium dan menurunkan proliferasi Enterobacteriaceae. Spesies Bifidobacterium diketahui merupakan salah satu mikrobiota penanda pada bayi non atopi yang sehat. Hasil studi ini mendukung konsep peran sinbiotik dalam modulasi Bifidobacterium terutama pada bayi yang lahir dengan operasi sectio Caesarea. Analisis post hoc menunjukkan persentase kejadian dermatitis atopik lebih rendah pada kelompok yang diberikan sinbiotik dibandingkan kelompok kontrol (20% versus 42%, P=0,017).[20]

Sementara itu, studi multisenter, acak, buta ganda, terkontrol di Belanda mencoba meneliti efek dari kombinasi sinbiotik (Bifidobacterium breve M-16 dan FOS/GOS) dan susu formula asam amino terhadap persentase Bifidobacterium dan Eubacterium rectale/Clostridium coccoides (ER/CC) pada feses bayi yang diduga alergi susu sapi tipe non IgE. Subjek dibagi dalam dua kelompok yaitu kelompok uji yang diberikan sinbiotik dan susu formula asam amino serta kelompok kontrol yang diberikan susu formula asam amino saja selama 8 minggu.[19]

Subjek penelitian dibagi dalam kedua kelompok yaitu yang diberikan sinbiotik sebanyak 35 bayi dan kelompok kontrol sebanyak 36 bayi. Dalam studi ini turut disertakan pula sampel feses dari 51 bayi sehat yang hanya mendapatkan ASI sebagai referensi (healthy breastfed reference/HBR). Menggunakan analisa FISH setelah 8 minggu, terlihat kenaikan signifikan dari level Bifidobacterium pada kelompok yang diberikan sinbiotik dibandingkan pada kelompok kontrol.

Proporsi untuk kelompok yang diberikan sinbiotik adalah (36.0 ± 22.4%) dibandingkan pada kelompok kontrol adalah (14.5 ± 16.4%) yang terlihat mendekati level Bifidobacterium pada kelompok HBR (48.1 ± 26.5%). Masih menggunakan analisa FISH, level ER/CC setelah 8 minggu terlihat menurun pada kelompok yang diberikan sinbiotik (11.8 ± 10.9%) dibandingkan kelompok kontrol (25.2 ± 16.9%). Level ER/CC kelompok yang diberikan sinbiotik terlihat mendekati level kelompok HBR (10.4 ± 10.6%).[19]

Rekomendasi Penggunaan Sinbiotik untuk Pencegahan Alergi Anak

Sebelum memutuskan penggunaan sinbiotik untuk pencegahan alergi anak penting untuk memahami cara mengidentifikasi anak dengan risiko tinggi mengidap alergi susu sapi. Risiko alergi pada seorang anak ditentukan berdasarkan riwayat penyakit atopi dalam keluarga seperti dermatitis atopik, asma, dan atau rinitis alergi, baik pada orang tua maupun saudara kandung.[1,21]

Penentuan risiko alergi berdasarkan riwayat penyakit atopi dalam keluarga memiliki sensitifitas 61% dan spesifisitas 83%. Penilaian risiko alergi ini dapat menggunakan kartu deteksi dini Unit Kerja Koordinasi (UKK) Alergi Imunologi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) yang memuat nilai risiko keluarga pada ayah, ibu dan saudara kandung.[21]

Dari beberapa studi yang telah dilaporkan sebelumnya, penggunaan sinbiotik terbukti mencegah terjadinya alergi susu sapi dan menurunkan resiko anak untuk mengalami dermatitis atopik. Studi lanjutan dengan subjek yang lebih besar akan dibutuhkan untuk mendukung penggunaan sinbiotik untuk mencegah terjadinya alergi terutama alergi susu sapi.[19,20]

Rekomendasi Word Allergy Organization dalam Penggunaan Sinbiotik

Rekomendasi World Allergy Organization (WAO) untuk mencegah alergi makanan adalah pemberian probiotik pada wanita hamil dengan resiko tinggi janin mengalami alergi, ibu menyusui dengan anak yang memiliki resiko tinggi mengalami alergi, dan neonatus dengan resiko tinggi mengalami alergi.[22]

Belum ada rekomendasi dari WAO terkait pemberian prebiotik maupun sinbiotik untuk mencegah alergi susu sapi. Meski demikian, saat ini studi Prevention Study On Preventing (PRESTO) prospektif buta ganda yang lebih besar terkait manfaat sinbiotik dalam mencegah alergi susu sapi sedang berjalan. [6,22]

Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Terhadap Penggunaan Sinbiotik

Senada dengan WAO, sampai saat ini, IDAI belum merekomendasikan penambahan probiotik, prebiotik dan sinbiotik untuk mencegah alergi pada anak. Kendala pada pemberian probiotik adalah jenis atau strain probiotik yang digunakan sangat beragam meskipun terdapat penurunan kejadian dermatitis atopik pada bayi yang cukup signifikan. Kendala dari pemberian prebiotik adalah bahwa pemberian prebiotik tidak menurunkan kejadian asma maupun penyakit alergi lain.

Sementara itu terkait pemberian sinbiotik, masih belum banyak penelitian tentang pemberian sinbiotik pada anak berisiko alergi dan penelitian yang ada memberikan hasil yang berbeda-beda.[21]

Walaupun terdapat banyak efek positif dari pemberian sinbiotik, ada beberapa efek samping yang pernah dilaporkan dari pemberian sinbiotik, seperti diare, mual, dan muntah pada anak.[6,23]

Kesimpulan

Alergi susu sapi merupakan kasus alergi makanan tertinggi kedua setelah alergi telur. Berdasarkan penelitian sejak lama, banyak faktor-faktor yang mempengaruhi insidensi alergi susu sapi pada anak yang meliputi riwayat atopi di keluarga.

Sementara itu, penelitian terkini mengatakan terdapat hubungan antara komposisi mikrobiota usus terhadap alergi makanan pada anak yang dapat berdampak hingga masa dewasa. Mikrobiota sendiri berperan untuk membantu mencerna makanan, mempengaruhi perubahan epigenetik, meregulasi sistem imun, dan perlindungan terhadap bakteri patogen.

Faktor eksternal seperti penggunaan antibiotik, asupan makanan modern yang tinggi lemak dan rendah serat, metode persalinan seperti persalinan sectio caesura, faktor lingkungan dan lainnya dapat mempengaruhi ketidakseimbangan mikrobiota yang akhirnya membuat bayi lebih rentan mengalami alergi susu sapi. Awal kehidupan hingga usia 3 tahun merupakan jangka waktu penting pada anak untuk mendapatkan suplemen makanan agar kolonisasi bakteri usus tetap seimbang. Sinbiotik berdasarkan penelitian in vitro dan manusia terbukti memberikan efek positif pada komposisi mikrobiota usus. Hal ini menyebabkan penurunan risiko anak mengidap penyakit alergi, termasuk alergi makanan.

Rekomendasi WAO sampai saat ini terbatas pada pemberian probiotik sebagai salah satu langkah pencegahan alergi pada anak, walaupun sampai saat ini belum ada rekomendasi resmi terkait penggunaan sinbiotik untuk mengontrol alergi. Senada dengan WAO, IDAI juga belum merekomendasikan pemberian sinbiotik sebagai pencegahan alergi primer pada anak.

Walaupun banyak efek positif dari pemberian sinbiotik, ada beberapa efek samping yang ditemukan, seperti diare, mual, muntah pada anak. Oleh karena itu, penelitian lanjutan terkait jenis, jumlah dari sinbiotik yang aman serta waktu pemberian yang tepat akan dibutuhkan.

Referensi