Isu Etik dari Pengeditan Genetik

Oleh :
dr.Megawati Tanu

Pengeditan genetik, baik berupa pengeditan gen maupun genom, mempunyai potensi yang menjanjikan dalam dunia kesehatan tetapi juga mempunyai isu etik yang harus dipertimbangkan. Pengeditan genetik berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir karena munculnya teknologi CRISPR-Cas9 atau Clustered Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats through CRISPR-associated protein 9.[1-3]

Keunggulan CRISPR-Cas9 dibandingkan dengan teknologi pengeditan genetik yang sebelumnya adalah akurasi yang tinggi, teknik yang lebih mudah, dan biaya yang relatif lebih rendah. Hal-hal ini membuat CRISPR-Cas9 banyak digunakan untuk pengeditan genetik, baik berupa pengeditan gen maupun genom.[1-3]

Isu Etik dari Pengeditan Genetik

Dalam pengeditan gen yang hanya mempengaruhi sel-sel somatik tanpa mengubah genom, perubahan yang dihasilkan tidak diwariskan kepada keturunan. Sementara itu, dalam pengeditan genom pada sel germline dan embrio, perubahan akan diwariskan kepada keturunan. Isu etik yang serius terjadi pada pengeditan genom.[1-3]

Potensi Manfaat Pengeditan Genetik dengan CRISPR-Cas9

CRISPR-Cas9 sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan alami pada organisme prokariotik. Gen Cas merupakan gen yang mengkode protein nuklease atau helikase yang berfungsi untuk memotong atau melarutkan DNA. Sistem CRISPR-Cas awalnya bertujuan untuk mengenali DNA virus atau bakteri patogen dan mengarahkan protein Cas untuk menghancurkan DNA asing tersebut.[1-3]

Namun, seiring dengan perkembangan teknologi, CRISPR-Cas9 dapat digunakan untuk pengeditan genetik. Contoh aplikasinya dalam dunia kesehatan adalah pengeditan gen untuk menghilangkan mutasi protein distropin yang menyebabkan Duchenne muscular dystrophy. Selain itu, terdapat juga studi yang mempelajari pengeditan gen untuk terapi penyakit sickle cell dan cystic fibrosis.[2,3]

Pengeditan genetik dengan CRISPR-Cas9 dinilai berpotensi untuk terapi penyakit yang sulit atau tidak bisa diterapi dengan metode lain. Selain itu, teknologi ini juga mungkin berpotensi untuk pencegahan penyakit genetik yang serius atau penciptaan resistansi terhadap penyakit tertentu.[1-3]

Tantangan Etik dan Sosial terkait Pengeditan Genetik

Pengeditan gen untuk modifikasi sel somatik (dengan tujuan terapeutik) umumnya tidak begitu menuai kontroversi, karena berpotensi menjadi terapi untuk penyakit yang sulit ditangani, dan perubahan genetik yang dihasilkan tidak diwariskan. Namun, pengeditan genom untuk modifikasi sel germline dan embrio memiliki implikasi etik serius.[1-3]

Isu Eugenika dan Kesenjangan terkait Pengeditan Genetik

Saat ini, modifikasi sel germline dan embrio manusia dengan CRISPR-Cas9 dilarang karena masih belum ditemukan cara regulasi yang aman. Dari berbagai kekhawatiran terkait modifikasi genom, salah satu kekhawatiran yang sering didiskusikan adalah kemungkinan penggunaan untuk “enhancement”, bukan untuk terapi penyakit.[2-4]

Karena modifikasi genom akan diwariskan kepada keturunan, maka penggunaan untuk “enhancement” berisiko menyebabkan isu eugenika, yaitu praktik yang bertujuan untuk mengatur reproduksi demi "meningkatkan" kualitas genetik manusia. Individu yang lahir dengan metode ini mungkin akan memiliki kapasitas fisik dan mental yang lebih baik daripada individu lain, yang bisa menciptakan kesenjangan.[2-4]

Kekhawatiran terkait kesenjangan tersebut didasarkan pada perkiraan bahwa populasi yang akan mampu membayar dan menjalani modifikasi genom adalah mereka yang berkemampuan ekonomi tinggi, sedangkan mereka yang berkemampuan ekonomi rendah tidak akan mampu menjalani prosedur ini.[2-4]

Selain itu, ada juga kekhawatiran bahwa modifikasi genom akan digunakan oleh badan militer negara maju untuk “enhancement” tentara. Tindakan ini berpotensi memperlebar kesenjangan kekuatan militer antara negara maju dan berkembang, yang bisa memicu ketegangan global dan mengancam perdamaian dunia.[1,2]

Isu Persetujuan untuk Anak

Muncul dilema besar terkait persetujuan (informed consent) bagi anak hasil modifikasi genetik. Karena anak belum lahir saat prosedur dilakukan, maka tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas keputusan tersebut, terutama jika muncul efek samping di kemudian hari. Orang tua yang mengambil keputusan untuk melakukan modifikasi genetik dengan tujuan peningkatan karakter fisik anak mungkin tidak memahami risiko efek samping, seperti mutasi off-target dan mosaikisme genetik.[1-3]

Selain itu, terdapat juga kekhawatiran mengenai persetujuan dari keturunan individu hasil modifikasi genetik dan kemungkinan perlunya pemantauan jangka panjang untuk individu yang gennya telah diedit. Hal ini kemudian menimbulkan pertanyaan yang lebih lanjut tentang otonomi pribadi di masa depan.[3]

Isu Hewan Kimerik untuk Transplantasi Organ

Pengembangan hewan kimerik (organisme yang memiliki sistem saraf dan sel geminal manusia) dinilai dapat menjadi opsi untuk pasien yang membutuhkan donor organ dan memiliki kebutuhan mendesak akan transplantasi organ. Inovasi ini menawarkan solusi untuk masalah keterbatasan donor, dengan tujuan menyelamatkan nyawa pasien dan meningkatkan kualitas hidup.[2,3]

Namun, kemunculan hewan kimerik menuai kontroversi bioetik. Isu utama mencakup batas antara manusia dan hewan, serta status moral makhluk hasil rekayasa tersebut. Sebagian pihak khawatir bahwa embrio kimerik mengancam martabat manusia karena mengandung sel saraf dan reproduksi manusia. Di sisi lain, sejumlah ahli berpendapat bahwa kimerik tidak akan berkembang menjadi manusia seutuhnya dan tidak dapat mengganggu tatanan biologis maupun moral yang ada.[2]

Kontroversi Etika Modifikasi Gen pada Hewan

Percobaan modifikasi gen pada hewan dengan tujuan untuk memahami patofisiologi penyakit pada manusia dan mengetahui bagaimana modifikasi gen mungkin bekerja pada manusia turut menimbulkan kekhawatiran etis. Ada kekhawatiran bahwa mutasi off-target bisa menimbulkan penyakit ataupun efek samping yang merugikan. Hal ini bisa mengancam kesejahteraan hewan percobaan dan juga lingkungan.[1,2]

Risiko Keamanan Pengeditan Genetik

Risiko penggunaan teknologi CRISPR-Cas9 untuk modifikasi embrio manusia dapat dikategorikan dalam tiga kelompok utama, yaitu terhadap embrio itu sendiri, terhadap keluarganya, dan terhadap masyarakat luas.[3]

Tidak seperti modifikasi pada sel somatik, perubahan pada germline bersifat permanen dan dapat diwariskan ke generasi berikutnya. Kegagalan dalam proses ini berpotensi menimbulkan mutasi off-target dan mosaikisme. Mutasi off-target dapat menyebabkan kematian sel. Sementara itu, mosaikisme adalah kondisi di mana sebagian sel dalam embrio mengalami modifikasi genetik sementara yang lain tidak. Mosaikisme dapat menyebabkan disabilitas intelektual dan keterlambatan perkembangan.[2,5]

Efek samping jangka panjang pun masih belum bisa diprediksi hingga bertahun-tahun setelah kelahiran. Para ahli menyerukan perlunya evaluasi ulang dan pengawasan ketat atas penerapan teknologi ini.[2]

Meskipun potensial secara medis, risiko mutasi off-target dinilai lebih besar daripada manfaat terapeutik saat ini. Oleh karena itu, penggunaan klinis pada embrio manusia dipandang belum mungkin dalam waktu dekat. Ke depannya, penerapan CRISPR-Cas9 dalam terapi hanya akan terjadi jika seluruh aspek keamanan, etika, dan hukum telah terpenuhi.[2]

Berbagai literatur menekankan pentingnya regulasi ketat dan kesadaran publik tentang risiko-risiko yang ada sebelum teknologi ini diterapkan secara luas. Perumusan regulasi harus segera dilakukan seiring pesatnya perkembangan CRISPR dalam bidang medis. Proses ini harus dilakukan secara transparan dan melibatkan publik.[3]

Kesimpulan

Pengeditan genetik mungkin berpotensi untuk terapi penyakit yang sulit atau tidak dapat diterapi dengan metode lain, misalnya Duchenne muscular dystrophy, penyakit sickle cell, dan cystic fibrosis. Pengeditan genetik juga mungkin berpotensi untuk mencegah penyakit genetik serius dan menciptakan resistansi terhadap penyakit tertentu.

Namun, pengeditan genetik tidak terlepas dari isu bioetik, terutama pengeditan genom sel germline atau embrio untuk tujuan “enhancement”. Modifikasi genetik pada garis keturunan manusia untuk indikasi nonterapeutik dinilai dapat membuka jalan menuju isu eugenika, di mana sifat fisik dan mental manusia dimodifikasi sesuai keinginan, seperti mengubah warna kulit atau kecerdasan anak. Hal ini juga dikhawatirkan dapat semakin memperlebar kesenjangan antar kelas sosioekonomi.

Selain itu, ada juga risiko mutasi off-target dan mosaikisme yang merugikan. Banyak publikasi menyerukan perlunya kebijakan baru dan regulasi ketat, pedoman etika, serta keterlibatan publik secara aktif sebelum pengeditan genom boleh diterapkan.

Seruan moratorium atau penundaan praktik penyuntingan embrio untuk kehamilan juga muncul sebagai bentuk kehati-hatian. Para ilmuwan sepakat bahwa CRISPR-Cas9 layak digunakan untuk riset penyakit dan pemahaman mekanisme molekuler, tetapi menolak penggunaannya untuk tujuan eugenika atau peningkatan sifat manusia.

Referensi