Insidensi dan Derajat Keparahan MIS-C Pasca Vaksinasi COVID-19

Oleh :
dr. Nurul Falah

Bagaimana sesungguhnya insidensi dan derajat keparahan MIS-C pasca vaksinasi COVID-19? Saat ini belum diketahui bahwa pemberian vaksin COVID-19 berhubungan dengan multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C), tetapi terdapat laporan kejadian multisystem Inflammatory Syndrome in Adults (MIS-A) pasca vaksinasi COVID-19.[1-3]

Kemenkes ft Alodokter Alomedika 650x250

Vaksinasi COVID-19 telah menjadi metode yang efektif dalam menurunkan risiko COVID-19. Meskipun tidak 100% melindungi diri dari virus SARS-CoV-2, sejumlah studi telah melaporkan keberhasilan vaksinasi COVID-19 dalam menurunkan morbiditas dan mortalitas akibat COVID-19 secara global, termasuk pada populasi anak.[1-3]

Dengan semakin luasnya pemberian vaksin COVID-19  pada populasi anak, maka dibutuhkan informasi bagaimana sesungguhnya pengaruh vaksinasi COVID-19 terhadap MIS-C? Apakah ada kejadian MIS-C pasca vaksinasi COVID-19? Lalu, apakah ada rekomendasi untuk pasien pasca MIS-C yang ingin mendapatkan vaksinasi COVID-19?

Insidensi dan Derajat Keparahan MIS-C Pasca Vaksinasi COVID-19-min

Sekilas Mengenai MIS-C

Pada umumnya, anak-anak yang terinfeksi COVID-19 memiliki gejala yang ringan dan seringkali asimtomatik. Meskipun demikian, sejumlah anak dilaporkan mengalami kondisi hiperinflamasi berat, atau disebut MIS-C, yang terjadi sekitar 4−6 minggu pasca infeksi SARS-CoV-2.[3-5]

Kondisi MIS-C berbeda jauh dengan infeksi COVID-19 akut. COVID-19 gejala berat ditandai dengan limfopenia, aktivasi sel T, dan peningkatan kadar interferon-gamma. Sementara MIS-C dapat didiagnosis pada anak usia 0−19 tahun dengan gejala demam dengan 2 gejala penyerta, seperti ruam, konjungtivitis, diare, muntah, dan nyeri perut, hipotensi, atau syok, yang disertai peningkatan penanda inflamasi (interleukin-10, tumor necrosis factor alpha), serta terbukti memiliki riwayat infeksi COVID-19.[3-5]

Mekanisme yang mendasari patogenesis MIS-C masih belum dipahami, sehingga peneliti merekomendasikan bagi anak yang mengalami MIS-C pasca-COVID untuk mendapatkan vaksinasi COVID-19. Upaya ini untuk mencegah hiperinflamasi kembali.[4,6]

Hubungan antara Vaksinasi COVID-19 dengan Kejadian MIS-C

Pada tahun 2021, The Brighton Collaboration Case Definition for MIS-C telah dipublikasikan untuk digunakan sebagai pedoman evaluasi kejadian efek samping pada pasien pasca vaksinasi. Beberapa efek samping serius yang dilaporkan pasca vaksinasi COVID-19 meliputi reaksi anafilaksis, trombositopenia imun, dan trombosis vena.[7,8]

Adapun efek samping lain yang berat tapi cukup jarang adalah miokarditis dan perikarditis, terutama pasca vaksinasi COVID-19 jenis mRNA. Mekanisme yang telah dikemukakan para ahli terkait fenomena pasca vaksinasi, terutama untuk jenis mRNA, adalah reaksi hipersensitivitas, cross-reactivity pada sistem imun, serta faktor genetik atau jenis kelamin.[7,8]

Sejumlah peneliti telah mengemukakan kekhawatiran kalau MIS-C juga dapat terjadi pasca vaksinasi COVID-19, karena patogenesis MIS-C yang belum dipahami sepenuhnya. Terdapat analisis kasus yang memaparkan bahwa 60% pasien MIS-C memiliki serologi positif dan PCR negatif pada saat diagnosis ditegakkan, 34% pasien C memiliki serologi dan PCR positif, dan 5% pasien memiliki hasil negatif untuk kedua tes tersebut.[7-9]

Jadi, meskipun vaksinasi COVID-19 tergolong aman dan penting dalam mengontrol pandemi, tetap perlu diwaspadai terjadinya MIS-C pasca vaksinasi pada pasien tanpa riwayat infeksi COVID-19.[7-9]

Pemahaman tentang variasi fenotip MIS-C masih berkembang, di mana saat ini tidak ada satu gambaran khas terkait kondisi MIS-C. Untungnya, kejadian MIS-C pasca vaksinasi COVID-19 pada anak tanpa riwayat infeksi COVID-19 akut sebelumnya dapat dianggap memiliki derajat keparahan yang ringan, tidak memiliki gejala sisa jantung (cardiac sequelae), dan dapat merespon cepat terhadap imunomodulasi. Namun, diperlukan data lebih lanjut untuk memastikan hal ini.[3,10]

Insidensi MIS-C Pasca Vaksinasi COVID-19

Hingga kini, belum ada data epidemiologi yang memaparkan insidensi MIS-C pasca vaksinasi COVID-19. Yang tersedia hanyalah laporan kasus ataupun case series yang umumnya terjadi pada orang dewasa (MIS-A).[3,10]

Salzman et al baru-baru ini mencurigai vaksinasi COVID-19 dapat memicu MIS, baik MIS-C maupun MIS-A. Hal ini terkait dengan adanya laporan kasus di California, Amerika Serikat, di mana 3 pasien dewasa mengalami MIS pasca vaksinasi COVID-19 dan juga sindrom respiratori akut berat akibat COVID-19. Ketiga pasien tersebut diketahui memiliki riwayat terinfeksi SARS-CoV-2 yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan molekuler.[8]

Nune et al juga melaporkan hal yang sama, yaitu kasus MIS pasca vaksinasi COVID-19 jenis mRNA pada wanita berusia 44 tahun. Pasien ini datang dengan gejala demam, diare, nyeri abdomen, ruam, udem subkutan, emboli paru, dan cedera ginjal akut. Pemeriksaan molekuler untuk SARS-CoV-2 telah dilakukan berulang kali dan hasilnya adalah negatif.[11]

Pasien ini tidak merespon terapi antibiotik spektrum luas, tetapi langsung pulih dengan cepat setelah diberikan metilprednisolon. Sejumlah investigasi untuk mencari etiologi infeksi dan inflamasi telah dilakukan, tetapi tidak dijumpai etiologi lain yang meyakinkan.[11]

Sementara itu, Yousaf et al baru-baru ini melaporkan 21 pasien berusia <21 tahun mengalami MIS-C pasca vaksinasi COVID-19 jenis mRNA. Enam pasien di antaranya tidak terbukti memiliki riwayat infeksi COVID-19.[12]

Wangu et al melaporkan kasus MIS-C pada remaja perempuan pada 12 minggu pasca pemberian dosis kedua vaksin COVID-19 Pfizer BioNTech. Kondisi ini sedikit melampaui definisi kasus yang dipaparkan oleh CDC, tetapi masih dalam rentang yang dijabarkan WHO dan The Brighton Collaboration Case Definition. Pasien datang dengan gejala demam mencapai suhu 40°C, menggigil, berkeringat, takikardi, sulit bernapas, fatigue, dan sakit kepala berat. Hasil dua kali pemeriksaan PCR untuk deteksi SARS-CoV-2 menunjukkan hasil negatif.[10]

Rekomendasi Pasien Pasca MIS-C yang Ingin Mendapatkan Vaksinasi COVID-19

Hingga kini, belum ada rekomendasi terkait keamanan vaksinasi COVID-19 untuk pasien pasca MIS-C. Dalam case series oleh Wisniewski  et al,  dinilai outcome pasca vaksinasi COVID-19 pada 15 pasien berusia 12−18 tahun yang dirawat karena MIS-C pasca COVID-19, yang dibuktikan dengan pemeriksaan asam nukleat pada 4−6 minggu sebelum kejadian MIS-C.[3]

Saat menderita MIS-C, pasien mengalami gangguan jantung terjadi pada 14 pasien (93%), yang ditandai dengan elevasi troponin atau perubahan ekokardiografi/elektrokardiografi. Perawatan intensif diperlukan oleh 10 pasien (73%), pemberian vasoaktif dilakukan pada 5 pasien (33%), dan penggunaan ventilasi mekanis invasif pada 2 pasien (13%). Rata-rata lama rawat inap di rumah sakit adalah 10,9 (2−33) hari.[3]

Kemudian, pasien anak yang telah >90 hari sembuh dari MIS-C mendapatkan vaksin COVID-19. Pada evaluasi jantung saat rawat jalan terakhir, semua pasien memiliki fungsi jantung normal tanpa dilatasi koroner. Studi ini menunjukkan bahwa semua subjek mentoleransi vaksinasi COVID-19 dengan baik, tanpa mengalami kejadian hiperinflamasi, miokarditis, atau terulangnya MIS-C hingga 9,5 bulan setelah vaksinasi.[3]

Studi ini memberikan informasi penting dalam situasi pandemi COVID-19 yang kini masih berlanjut. Vaksinasi COVID-19 juga sudah tersedia untuk anak-anak dalam rentang usia yang paling berisiko mengalami MIS-C. Karena kasus MIS-C masih tergolong jarang, studi ini pun tergolong terbatas karena ukuran sampel yang kecil dan bersifat retrospektif. Meskipun demikian, temuan dari studi ini menunjukkan bahwa pasien dengan riwayat MIS-C dapat tetap dilakukan vaksinasi COVID-19 dengan monitoring ketat.[3,8]

KESIMPULAN

Multisystem inflammatory syndrome in children (MIS-C) merupakan kondisi hiperinflamasi yang dapat dikaitkan dengan pasca infeksi COVID-19, tanpa ada etiologi lain. Hal ini membuat para peneliti bekerja keras untuk memastikan cakupan vaksinasi COVID-19 pada anak-anak dapat tercapai.

Selain dikaitkan dengan kondisi COVID-19, sejumlah peneliti juga menduga adanya kasus MIS-C A pasca vaksinasi COVID-19. Hal ini karena tidak terdapat bukti riwayat infeksi COVID-19 sebelumnya pada pasien MIS-C. Namun, sejumlah kasus menunjukkan bahwa MIS-C yang diduga terkait vaksinasi COVID-19 memiliki gejala yang lebih ringan bila dibandingkan MIS-C terkait infeksi COVID-19. Hal ini tetap tidak dapat dianggap remeh sehingga perlu untuk terus mengevaluasi dan melakukan tracking outcomes dan reaksi pasca vaksinasi COVID-19, agar dapat lebih memahami patogenesis, insidensi, dan derajat keparahan dari MIS-C. pasca vaksinasi COVID-19.

Telah ada case series  yang melaporkan pasien MIS-C akibat infeksi COVID-19 dan menerima vaksinasi COVID-19 pada >90 hari setelah sembuh. Laporan ini menunjukkan pasien tidak mengalami efek samping jantung atau inflamasi akibat vaksin. Namun sekali lagi, jumlah case series ini masih kecil.

Referensi