Pengajaran konvensional menyatakan bahwa koreksi hiponatremia berat yang terlalu cepat dapat menyebabkan demielinasi osmotik, sedangkan ada penelitian yang menyebutkan bahwa penanganan yang lambat akan meningkatkan risiko mortalitas. Pertentangan ini kerap menyebabkan kebingungan di praktik klinis mengenai pendekatan terapi mana yang paling baik untuk pasien dengan hiponatremia.[1]
Kontroversi Terkait Laju Koreksi Terbaik Untuk Hiponatremia
Perdebatan mengenai kecepatan koreksi hiponatremia berat berfokus pada keseimbangan antara risiko edema serebri akibat hiponatremia yang tidak ditangani dan risiko mielinolisis sentral pontin (osmotic demyelination syndrome/ODS) akibat koreksi terlalu cepat. Pendekatan cepat sering dipertimbangkan pada pasien dengan gejala berat, seperti kejang, untuk mencegah kerusakan neurologis. Namun, koreksi cepat berisiko tinggi menyebabkan ODS, yang merupakan kondisi neurologis serius dan irreversible.[1-3]
Pertimbangan Kecepatan Koreksi Hiponatremia Yang Berbasis Bukti
Kecepatan terbaik untuk koreksi hiponatremia masih belum memiliki ketetapan yang pasti. Berbagai pusat kesehatan kerap merekomendasikan kecepatan koreksi yang berbeda satu sama lain. Meski demikian, telah ada beberapa studi yang mencoba menilai efikasi dan tingkat risiko dari berbagai kecepatan koreksi hiponatremia.[4,5]
Basis Bukti Ilmiah Mengenai Kecepatan Koreksi Hiponatremia
Suatu studi observasional multisenter meneliti hubungan antara kecepatan koreksi natrium dengan mortalitas, lama rawat inap, dan kejadian ODS pada 3.274 pasien dengan hiponatremia berat. Hasilnya menunjukkan bahwa pasien dengan koreksi lambat (<6 mEq/L/24 jam) memiliki mortalitas lebih tinggi dibandingkan yang mendapat koreksi 6–10 mEq/L/24 jam.
Bahkan, pasien dengan koreksi >10 mEq/L/24 jam menunjukkan mortalitas yang lebih rendah dan lama rawat inap lebih singkat. Dalam studi tersebut, ODS hanya terjadi pada 7 pasien, dan sebagian besar justru menjalani koreksi ≤8 mEq/L/24 jam, serta memiliki faktor risiko lain seperti alkoholisme, malnutrisi, dan gangguan elektrolit.[6]
Hasil serupa diungkapkan dalam studi kohort retrospektif yang menganalisis data ICU untuk mengevaluasi dampak kecepatan koreksi natrium pada pasien hiponatremia berat. Dari 1.024 pasien yang dianalisis, kelompok dengan koreksi >8 mEq/L/24 jam menunjukkan mortalitas rumah sakit lebih rendah, serta hari bebas rawat inap dan ICU lebih banyak dibanding kelompok dengan koreksi ≤8 mEq/L/24 jam. Tidak ditemukan perbedaan kejadian komplikasi neurologis antara kedua kelompok.[2]
Kedua studi di atas juga didukung oleh sebuah tinjauan sistematik dan meta analisis terhadap 16 studi kohort dengan total 11.811 pasien. Hasilnya menunjukkan bahwa koreksi natrium yang cepat (≥8–10 mEq/L/24 jam) berhubungan dengan penurunan mortalitas rumah sakit dan 30 hari, serta waktu rawat inap yang lebih singkat dibandingkan koreksi lambat. Tidak ditemukan peningkatan risiko kejadian ODS akibat koreksi cepat.[1]
Pendapat Pedoman Klinis Mengenai Kecepatan Koreksi Hiponatremia
Secara umum, kecepatan koreksi hiponatremia perlu disesuaikan dengan derajat keparahan dan gejala klinis pasien, dengan pemantauan biokimia yang ketat. Untuk hiponatremia simptomatik, pemberian natrium klorida hipertonik 3% secara bolus intermiten (100–150 ml) lebih disukai dibandingkan infus kontinu, guna mencapai peningkatan kadar natrium serum yang terkontrol tanpa risiko koreksi berlebihan (overcorrection).
Pada kasus hiponatremia berat, penanganan difokuskan untuk menaikkan kadar natrium serum sebesar 4–6 mEq/L dalam 1–2 jam pertama, tetapi tidak melebihi 10 mEq/L dalam 24 jam. Ini bertujuan untuk membalikkan ensefalopati akibat hiponatremia tanpa mencapai koreksi yang berlebihan, mengingat risiko ODS akibat koreksi cepat, terutama pada pasien dengan hiponatremia kronik.
Sebaliknya, pada hiponatremia ringan tanpa gejala, pendekatan konservatif dengan pembatasan cairan (500 ml/hari) dan peningkatan asupan solut (garam dan protein) merupakan terapi yang lebih dianjurkan. Pada kasus syndrome of inappropriate antidiuretic hormone (SIADH) yang tidak responsif terhadap restriksi cairan, urea oral dan tolvaptan menjadi pilihan lini kedua yang dinilai efektif dan aman, meskipun belum ada konsensus pasti.[7,8]
Kesimpulan
Kecepatan koreksi hiponatremia masih menuai perdebatan, terutama pada hiponatremia berat di mana koreksi yang terlalu cepat ditakutkan akan menyebabkan osmotic demyelination syndrome (ODS). Beberapa studi observasional dan tinjauan sistematik terhadap studi observasional telah mengindikasikan bahwa koreksi yang cepat tidak meningkatkan risiko perburukan luaran, malah sebaliknya, koreksi lambat akan meningkatkan mortalitas dan lama rawat.
Walau begitu, perlu disadari bahwa studi observasional kurang memiliki kekuatan bukti yang mumpuni, sehingga masih diperlukan uji klinis acak terkontrol skala besar untuk memvalidasi hasil tersebut. Untuk saat ini, koreksi hiponatremia dapat dilakukan sesuai dengan derajat keparahan, skenario klinis pasien, dan di bawah pemantauan klinis yang adekuat.