Terapi Operatif Vs Non-Operatif untuk Adhesive Small Bowel Obstruction

Oleh :
dr. Harris Bartimeus, Sp.B

Terapi untuk obstruksi usus halus adhesif atau adhesive small bowel obstruction (ASBO) dapat dilakukan secara non-operatif maupun operatif.  Terapi non-operatif merupakan terapi lini pertama untuk sebagian besar pasien ASBO.  Terapi non-operatif pada ASBO harus disertai dengan kesiapan untuk konversi ke terapi operatif apabila dalam perjalanan penyakitnya terjadi perburukan klinis.[1,2]

Sekitar 75% dari kasus obstruksi usus halus disebabkan karena ASBO.  ASBO sendiri biasanya berkaitan dengan riwayat operasi abdomen sebelumnya.  Patogenesis terjadinya ASBO banyak dikaitkan dengan adanya ketidakseimbangan antara pembentukan fibrin dan fibrinolisis dalam proses penyembuhan luka operasi abdomen.[2,3]

shutterstock_360227828-min

Fibrin akan berubah menjadi adhesi yang permanen dan menyebabkan ASBO.  Faktor risiko terjadinya ASBO adalah riwayat operasi abdomen berulang, terutama bila lokasi operasinya di pelvis dan rektum.[2,3]

Dilema Dalam Manajemen Adhesive Small Bowel Obstruction (ASBO)

Mayoritas kasus ASBO dapat ditangani dengan terapi non-operatif, dengan tingkat keberhasilan mencapai 70‒80%.  Khusus kasus ASBO pada anak-anak, tingkat keberhasilan terapi non-operatif bervariasi antara 16‒48,6%. Namun, terdapat dilema pada terapi non-operatif, karena membiarkan adhesi yang merupakan penyebab dari obstruksi tetap ada dalam abdomen.[4,5]

Pemilihan modalitas terapi ASBO, antara non-operatif atau operatif, saat ini masih belum memiliki konsensus yang jelas. Namun, ada rekomendasi manajemen terapi ASBO sesuai Bologna Guidelines tahun 2017, yang menganjurkan untuk dilakukan terapi non-operatif sebagai terapi lini pertama pada kasus ASBO.[1,2]

Ada beberapa keadaan seperti tanda strangulasi usus, iskemia usus dan peritonitis yang menjadi kontraindikasi dilakukannya terapi non-operatif pada kasus ASBO.  Periode yang dianggap aman untuk dilakukan terapi non-operatif pada kasus ASBO adalah <72 jam. Apabila setelah lebih dari 72 jam tidak tidak terjadi resolusi dari adhesi, maka perlu dipertimbangkan pilihan untuk terapi operatif.[1,2]

Studi oleh Bauer et al (2015), yang melibatkan 460 subjek, menyatakan bahwa tidak ada perbedaan temuan operasi dan angka komplikasi yang signifikan antara kelompok pasien ASBO yang segera dioperasi maupun yang dioperasi setelah terapi non-operatif gagal.[9]

Sebaliknya, studi oleh Tabchouri et al (2018) menyatakan bahwa terapi operatif segera pada ASBO memberikan luaran klinis yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan terapi operatif yang dilakukan setelah menunggu terapi non-operatif gagal. Studi ini melibatkan 154 subjek.[10]

Keuntungan dan Risiko Terapi Non-Operatif pada ASBO

Bologna Guidelines tahun 2017 menyatakan bahwa ASBO dapat diterapi non-operatif bila tidak ada tanda-tanda iskemia usus, strangulasi, dan peritonitis.  Modalitas non-operatif pada ASBO antara lain puasa, pemberian cairan intravena, dan dekompresi dengan pemasangan nasogastric tube (NGT) atau long intestinal tube.[1-3]

Penggunaan Water Soluble Contrast Media

Penggunaan water soluble contrast media (WSCM) dapat bertujuan untuk diagnostik dan terapetik. WSCM yang saat ini banyak diteliti dan dipakai adalah gastrografin, yang dinyatakan aman dan efektif untuk manajemen terapi non-operatif ASBO.[2,3]

Sebagai alat diagnostik, WSCM akan dinilai pada foto polos abdomen kontrol, di mana bila terapi non-operatif berhasil maka WSCM akan terlihat sudah sampai kolon antara 6‒24 jam setelah pemberian WSCM.  Sebagai alat terapetik, WSCM berfungsi sebagai hiperosmolar yang dapat membantu mengurangi edema dari dinding usus yang obstruksi, sehingga dapat mengurangi tekanan intraluminal dan mengatasi obstruksi usus halus.[2,3]

Selain itu, WSCM juga dapat meningkatkan motilitas usus dan mengencerkan konten usus dengan cara meningkatkan perpindahan cairan dari interstisial ke dalam lumen usus.  Studi oleh Zhou et al (2021) melaporkan tingkat keberhasilan penggunaan WSCM pada terapi non-operatif ASBO dapat mencapai 90%, sedangkan studi  Jung et al (2021) melaporkan keberhasilan hingga 81%.[2,3,7,8]

Batas Waktu Percobaan Terapi Non-operatif

Terapi non-operatif tidak sama dengan terapi konservatif, karena adanya komponen kemungkinan konversi menjadi terapi operatif bila terjadi kegagalan. Batas waktu percobaan terapi non-operatif sangat bervariasi dari banyak studi, tetapi Bologna guidelines menetapkan 72 jam sebagai batas durasi untuk menentukan berhasil atau tidaknya terapi non-operatif.[1,2]

Salah satu indikator yang dapat dipakai adalah apabila WSCM tetap tidak terlihat di kolon pada foto abdomen polos 72 jam setelah pemberian WSCM.  Indikator lain gagalnya terapi non-operatif pada ASBO adalah perburukan gejala dan tanda-tanda iskemia atau strangulasi usus.[1,2]

Keuntungan dan Risiko Terapi Non-operatif

Keuntungan dari penggunaan WSCM dalam terapi non-operatif ASBO adalah waktu perawatan dan pemulihan pasien yang lebih singkat.  Selain itu, pasien juga terhindar dari risiko-risiko pasca operasi.  Namun, beberapa risiko terapi non-operatif, terutama dengan penggunaan WSCM, adalah risiko dehidrasi serta risiko re-admisi dan rekurensi yang lebih tinggi daripada terapi operatif.[2,3]

Keuntungan dan Risiko Terapi Operatif pada ASBO

Terapi operatif diindikasikan untuk pasien ASBO dengan tanda-tanda iskemia usus,  strangulasi usus, dan peritonitis.  Kegagalan terapi non-operatif juga menjadi salah satu indikasi dilakukannya terapi operatif pada pasien ASBO.

Batas Waktu Dilakukan Terapi Operatif

Menurut Bologna guidelines, waktu 72 jam menjadi batas maksimal dilakukannya terapi non-operatif, sebelum dikonversi menjadi terapi operatif apabila terjadi kegagalan.  Namun, beberapa studi belakangan ini menganjurkan terapi operatif yang lebih dini pada pasien dengan ASBO, dengan tujuan untuk mengurangi komplikasi.[1-3]

Terapi operatif dapat lebih dini dilakukan, yaitu jika foto abdomen polos belum menunjukkan adanya WSCM masuk ke dalam kolon dalam 6‒24 jam setelah pemberian WSCM.[1-3,11]

Keuntungan dan Risiko Terapi Operatif

Keuntungan terapi operatif dini pada pasien ASBO adalah tingkat rekurensi yang lebih rendah. Namun, studi oleh Tong et al (2020) menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan secara statistik.  Hal yang cukup mencolok mengenai tingkat rekurensi pada pasien ASBO yang mendapat terapi operatif dini adalah kejadian rekurensi yang cenderung lebih lambat dibandingkan pasien yang diterapi non-operatif.  Keuntungan lain dari terapi operatif adalah kemungkinan komplikasi berat yang lebih rendah, seperti reseksi usus dan mortalitas.[2,3,11]

Kekurangan terapi operatif adalah waktu sembuh dan rawat di rumah sakit yang lebih lama.  Risiko-risiko yang bisa terjadi pasca operatif antara lain hernia insisional, infeksi luka operasi, dan adhesi berulang di masa mendatang. Insidensi adhesi usus di masa mendatang 50% lebih tinggi pada metode operasi laparotomi daripada laparoskopi.  Risiko terjadinya cedera usus pada proses adhesiolisis pun dapat terjadi, baik pada metode operasi laparotomi maupun laparoskopi, dengan insidensi mencapai 22‒24%.[2,3]

Perbandingan Morbiditas, Mortalitas, dan Tingkat Rekurensi Pasca Terapi Non-Operatif Vs Operatif pada ASBO

Isu yang banyak dibahas seputar terapi ASBO adalah morbiditas, mortalitas, dan tingkat rekurensi setelah terapi.  Studi oleh Bauer et al (2015) tidak mendapatkan adanya perbedaan yang bermakna pada tingkat komplikasi atau morbiditas, baik pada kelompok terapi operatif maupun kelompok non-operatif.

Angka komplikasi pada kelompok terapi operatif berkisar 2,8‒10,3%, dengan komplikasi tersering adalah re-obstruksi (10,3%).  Sementara itu, angka komplikasi pada kelompok non-operatif berkisar 0,4‒11,4%, dengan komplikasi tersering adalah re-obstruksi (11,4%).

Hasil lain didapat pada studi oleh Behman et al, pada tahun 2019 dan 2020, di mana terapi operatif lebih unggul daripada terapi non-operatif untuk pasien ASBO, terutama dalam hal kurangnya tingkat rekurensi.  Studi Behman et al (2019) mendapatkan tingkat rekurensi pada kelompok terapi operatif hanya 13% dibandingkan dengan kelompok non-operatif sebesar 21,3%.  Behman et al (2020) juga mendapatkan tingkat rekurensi pada kelompok terapi operatif lebih rendah dibandingkan kelompok non-operatif (13,2% vs 20,9%).[4,9,12]

Kesimpulan

Terapi ASBO terdiri atas terapi non-operatif dan terapi operatif.  Pada kondisi ASBO tanpa tanda strangulasi, iskemia usus, dan peritonitis, dapat dicoba terapi non-operatif selama 72 jam sesuai Bologna Guidelines tahun 2017.   Pemberian water soluble contrast media (WSCM) dapat dilakukan dengan tujuan diagnostik sekaligus terapeutik.

Saat ini, studi-studi lebih cenderung untuk melakukan terapi operatif dini, yaitu dalam kurun waktu 24 jam, pada pasien dengan ASBO.  Hal ini mempertimbangkan risiko rekurensi yang lebih rendah dibandingkan dengan terapi non-operatif.

 

 

Penulisan pertama oleh: dr. Sonny Seputra, Sp.B, M.Ked.Klin, FINACS

Referensi