Peran Pemeriksaan Angiografi Perfusi Renal dan Indikator Biokimia dalam Deteksi Dini Nefropati Diabetik – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr.Petty Atmadja, Sp.PK

Significance of Renal Perfusion Angiography and Biochemical Indicators in Early Diagnosis of Type 2 Diabetic Nephropathy

Huiping Liang, Tingting Lu, Li Li, Xiaojun Tang. Pathology and Laboratory Medicine, 2019. 3(1): 5-9. doi: 10.11648/j.plm.20190301.12

Abstrak

Latar Belakang: Walaupun terdapat banyak indikator biokimia yang bisa merefleksikan perubahan fungsi renal, namun parameter ini tidak dapat mencerminkan kerusakan renal secara dini dan akurat. Perubahan mikrosirkulasi renal juga tidak dapat dinilai dengan parameter tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengevaluasi signifikansi angiografi perfusi renal dan indeks biokimia dalam mendiagnosis dini nefropati diabetik tipe 2.

Metode: 30 pasien nefropati diabetik dan 25 relawan sehat sebagai kontrol dievaluasi. Pada kedua kelompok dilakukan pemeriksaan CT angiografi perfusi renal dan indeks biokimia yang meliputi gula darah puasa (GDP), albumin urine, protein urine 24 jam, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, cystatin C, dan rasio albumin-kreatinin urine sewaktu (UACR). Kemudian, Modification of Diet in Renal Disease (MDRD) dan cystatin C digunakan untuk menghitung perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR). Double-renal perfusion contrast scanning dilakukan pada kedua kelompok untuk menilai double renal blood flow (BF), blood volume (BV), mean transit time (MTT), dan permeability surface (PS).

Hasil: parameter BF, MTT, gula darah puasa, albumin urine, protein urine 24 jam, rasio albumin-kreatinin urine, cystatin C, dan eGFR menunjukkan korelasi kuat dan bermakna secara statistik (P<0,05). Area receiver operating characteristic curve (ROC) albumin urine, rasio albumin kreatinin urine, BF, dan MTT adalah lebih dari 0,9, yang menunjukkan indeks ini memiliki efek positif untuk diagnosis awal nefropati diabetik. Indeks protein urine 24 jam, cystatin C, eGFR, dan BV menunjukkan area ROC antara 0,7-0,9 yang menunjukkan indeks ini cukup akurat dalam mendiagnosis nefropati diabetik.

Kesimpulan: Indeks biokimia seperti albumin urine dan rasio albumin-kreatinin urine, serta indeks perfusi renal seperti BF dan MTT dapat digunakan dalam skrining dan diagnosis dini nefropati diabetik.

Peran Pemeriksaan Angiografi Perfusi Renal-min

Ulasan Alomedika

Nefropati diabetik (ND) merupakan penyebab utama gagal ginjal stadium akhir dan diperkirakan bahwa 20-40% penderita diabetes melitus (DM) akan mengalami nefropati diabetik. Nefropati diabetik menyebabkan morbiditas bermakna bagi pasien, termasuk meningkatkan risiko dialisis dan mortalitas.

Saat ini, berbagai indikator biokimia digunakan dalam diagnosis dan pemantauan nefropati diabetik, misalnya laju ekskresi albumin urine  dan perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR). Meski demikian, berbagai indikator biokimia yang tersedia memiliki keterbatasan dalam kemampuannya mendeteksi dini nefropati diabetik dan perubahan mikrosirkulasi renal. Studi ini berusaha mengevaluasi signifikansi dari penggunaan angiografi perfusi renal dan indeks biokimia yang relevan dalam diagnosis dini nefropati diabetik.

Ulasan Metode Penelitian

Studi ini dilakukan di Rumah Sakit Afiliasi Pertama Universitas Kedokteran Guangxi dari September 2011 hingga  Maret 2017. Pemeriksaan angiografi perfusi renal dilakukan pada 30 pasien dengan diabetes mellitus tipe 2 dan nefropati diabetik awal, serta 25 kontrol sehat. Pasien dengan hipertensi, penyakit jantung, disfungsi hati dan ginjal yang berat, ketoasidosis, koma hiperosmolar, alergi agen yodium, dan telah menjalani angiografi dalam waktu 10 hari dieksklusi dari penelitian.

Sehari sebelum pemeriksaan CT angiografi renal, dilakukan pengukuran glukosa darah puasa (GDP), laju ekskresi albumin urine, kuantisasi protein urine 24 jam, blood urea nitrogen (BUN), kreatinin serum, Cystatin C (Cys C), dan rasio albumin-kreatinin urine sewaktu (UACR) pada kelompok nefropati diabetik dan kelompok kontrol. Perkiraan laju filtrasi glomerulus (eGFR) dihitung dengan rumus eGFR-MDRD=175×(Scr(mg/dl))-1.234×usia-0.179×(wanita×0,79). Nilai Cys C digunakan untuk memperkirakan eGFR berdasarkan rumus eGFR-cys=78,64×Cys C-0.964.

Sebelum prosedur CT angiografi renal dilakukan, pasien menjalani puasa selama 12 jam, latihan pernapasan perut, tes alergi yodium, dan boleh minum air. Saat pemeriksaan, pasien dalam posisi supinasi, pernapasan abdomen dangkal, pita abdomen difiksasi, serta bagian dada, tiroid, panggul, dan area organ reproduksi ditutup dengan pakaian pelindung. Sebanyak 50 ml zat kontras diinjeksikan dengan kecepatan 4,0 ml/detik. Setelah 6 detik penyuntikan, dilakukan pemindaian perfusi ginjal dengan 64 irisan spiral CT scan. Data yang didapat digunakan untuk mengkalkulasi double renal blood flow (BF), blood volume (BV), mean transit time (MTT), dan permeability surface (PS).

Ulasan Hasil Penelitian

Hasil analisis korelasi perfusi renal dan indeks biokimia menunjukkan bahwa indeks perfusi renal BF dan MTT memiliki korelasi yang kuat dengan GDP, laju ekskresi albumin urine, protein urine 24 jam, rasio albumin-kreatinin urine sewaktu, Cys C, dan eGFR-cys (P<0,05). Studi ini juga menemukan korelasi dengan BUN yang signifikan secara statistik (P<0,05). Sementara itu, ditemukan korelasi yang lemah tanpa perbedaan statistik (P>0,05) pada kreatinin serum dan eGFR-MDRD.

Ditemukan pula korelasi nilai PS dengan GDP, laju ekskresi albumin urine, protein urine 24 jam, dan rasio albumin-kreatinin urine sewaktu (P<0,05). Sedangkan, terdapat korelasi lemah antara nilai BV dengan Cys C (P<0,05). Hasil ini menunjukkan bahwa BF, nilai MTT, dan indeks biokimia untuk diagnosis nefropati diabetik memiliki korelasi yang lebih baik. Parameter BF berkorelasi negatif dengan parameter biokimia, sedangkan MTT berkorelasi positif. Parameter BF menunjukkan aliran darah ke korteks renal yang akan memburuk atau berkurang apabila terjadi kerusakan ginjal, yang juga akan nampak sebagai kenaikan parameter biokimia.

Analisis performa menggunakan ROC menunjukkan hasil yang baik untuk parameter GDP, laju ekskresi albumin urine, rasio albumin-kreatinin urine sewaktu, BF, dan MTT untuk diagnosis awal nefropati diabetik.

Kelebihan Penelitian

Penelitian ini membandingkan parameter biokimia fungsi ginjal dengan pemeriksaan CT angiografi yang mampu menilai perfusi, vaskulatur, dan struktur renal secara detil dan riil dengan menggunakan zat kontras. Perbandingan antara kedua modalitas pemeriksaan ini sangat bermanfaat dalam menentukan opsi pemeriksaan untuk mendiagnosis nefropati diabetik secara lebih akurat.

Limitasi Penelitian

Keterbatasan penelitian ini adalah diagnosis diabetes mellitus tipe 2 yang tidak dispesifikasi lebih lanjut. Peneliti hanya menyebutkan bahwa diagnosis ditegakkan berdasarkan pedoman  Cina dan subjek penelitian hanya diperiksa parameter GDP saja. Peneliti juga tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai karakteristik klinis dari partisipan pada kelompok diabetes mellitus, misalnya terapi yang digunakan pasien dan sudah berapa lama pasien menderita diabetes mellitus. Hal ini tentu dapat mempengaruhi luaran studi.

Selain itu, studi ini juga hanya melibatkan total 55 partisipan, yang merupakan jumlah yang relatif sedikit. Masih diperlukan studi lanjutan dalam skala yang lebih besar sehingga hasil studi dapat memiliki kekuatan bukti yang lebih baik.

Aplikasi Hasil Penelitian di Indonesia

Studi ini mengindikasikan bahwa parameter biokimia bersama dengan pemeriksaan angiografi perfusi renal memiliki manfaat dalam diagnosis dini nefropati diabetik. Mengingat jumlah kasus diabetes mellitus yang tinggi di Indonesia, aplikasi hasil penelitian ini dapat bermanfaat dalam upaya menurunkan morbiditas pasien. Meski demikian, ketersediaan pemeriksaan CT angiografi yang belum merata, terutama untuk daerah luar pulau Jawa, serta harga pemeriksaan yang cukup tinggi mungkin akan menyulitkan penerapannya secara umum. Selain itu, dengan adanya berbagai keterbatasan studi, masih dibutuhkan studi lebih lanjut agar dokter bisa mengidentifikasi secara dini pasien nefropati diabetik supaya optimalisasi tata laksana dapat dilakukan dan progresi ke arah gagal ginjal tahap akhir dapat dicegah.

Referensi