Peran Ganda Feritin sebagai Reaktan Fase Akut Inflamasi pada Defisiensi Besi

Oleh :
dr.Petty Atmadja, Sp.PK

Peran ganda feritin atau ferritin sebagai parameter status cadangan besi dan protein fase akut inflamasi mengakibatkan interpretasi pemeriksaan tersebut harus dikaji secara menyeluruh terutama pada kondisi inflamasi.

Defisiensi besi seringkali tidak terdiagnosis dan luput diterapi pada kondisi penyakit-penyakit yang disertai inflamasi. Kondisi defisiensi besi dengan atau tanpa anemia akan mempengaruhi kualitas hidup pasien dan prognosis penyakit penyerta. Maka dari itu, defisiensi besi harus dapat terdeteksi dan diterapi secara adekuat terutama pada kondisi inflamasi. Interpretasi feritin serum sebagai penanda status cadangan besi tubuh harus dapat dinilai secara kritis bersamaan dengan pemeriksaan penunjang lainnya dan gejala klinis penderita, sehingga dapat mendiagnosis defisiensi besi pada kondisi inflamasi secara akurat.[1]

Peran Ganda Feritin sebagai Reaktan Fase Akut Inflamasi pada Defisiensi Besi-min

Feritin merupakan protein utama pembentuk cadangan besi dalam tubuh manusia. Konsentrasi feritin dalam serum atau plasma darah berbanding lurus dengan cadangan besi tubuh total pada kondisi non-inflamasi. Namun, peran ganda feritin sebagai protein fase akut inflamasi dapat mengakibatkan terjadinya peningkatan kadar pada beberapa kondisi dan penyakit tertentu sehingga tidak dapat lagi menggambarkan status cadangan besi tubuh secara akurat.[1,2]

Hingga saat ini, feritin secara berkesinambungan terus menerus diteliti bukan hanya sebagai parameter cadangan status besi tubuh, namun perannya dalam berbagai proses inflamasi, infeksi, dan malignansi. Maka dari itu, interpretasi feritin sebagai penanda status cadangan besi menjadi lebih sulit pada kondisi infeksi maupun inflamasi dan perlu dikaji secara lebih mendalam.[1-4]

Feritin dan Homeostasis Besi

Proses ambilan (uptake), transport, dan penyimpanan besi diregulasi secara ketat oleh sistem tubuh, dan feritin berperan penting di dalamnya. Molekul zat besi yang beredar di sirkulasi akan berikatan dengan glikoprotein pengangkut besi, yaitu transferin. Jika zat besi tidak diperlukan oleh tubuh, maka besi akan disimpan dalam bentuk feritin terutama di hepatosit dan makrofag sistem retikuloendotelial.[2,6]

Homeostasis besi sistemik dalam berbagai kondisi asupan makanan maupun peningkatan kebutuhan sistem tubuh diregulasi oleh hormon yang diproduksi oleh hepar, yaitu hepsidin. Pada individu sehat, peningkatan kadar zat besi yang terikat pada transferin dan cadangan besi yang tinggi akan menstimulasi upregulasi hepsidin, yang kemudian akan menekan effluks besi dari enterosit sehingga kadar besi dalam sirkulasi akan menurun. Secara berbanding terbalik, produksi hepsidin akan diinhibisi pada saat kadar besi tubuh rendah di sirkulasi maupun jaringan, kondisi hipoksia, dan eritropoiesis intensif setelah kehilangan darah. Pada keadaan ini, maka penurunan kadar hepsidin akan menstimulasi absorbsi besi oleh enterosit di duodenum dan efluks cadangan besi sehingga meningkatkan bioavailabilitas besi di sirkulasi sesuai kebutuhan.[2,6]

dignas 2018-min

Gambar 1. Peran Hepsidin dalam Homeostasis Besi Sistemik. Sumber: Dignass, 2018.[2]

  • Pada individu normal, produksi hepsidin meningkat sebagai respons peningkatan kadar besi serum dan cadangan besi. Hepsidin menginternalisasi dan mendegradasi iron transporter ferroportin, menghambat effluks besi dari enterosit dan dari cadangan besi di hepatosit dan makrofag untuk mengembalikan kadar besi menjadi normal.
  • Pada kondisi inflamasi, produksi hepsidin akan meningkat sebagai respons terhadap sitokin inflamasi (IL6) sehingga mengganggu mekanisme homeostasis besi normal. Feroportin akan terinternalisasi dan terdegradasi, mengakibatkan penurunan ekspor besi trans-membran dan restriksi avalibilitas besi untuk terikat pada transferin.

Feritin dan Respons Fase Akut Inflamasi

Respons fase akut merupakan reaksi pertahanan tubuh utama dalam mengembalikan homeostasis fisiologis tubuh terhadap berbagai kasus. Kasus tersebut adalah infeksi, inflamasi, trauma, pembedahan, perlukaan jaringan, pertumbuhan neoplastik, dan gangguan imunologis tubuh.[2,4,7]

Respons fase akut biasanya bersifat transien dengan tujuan utama untuk mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap jaringan yang terlibat dan/atau untuk membebaskan tubuh dari molekul yang berbahaya. Feritin serum merupakan protein reaktan fase akut positif dengan kenaikan kadar yang berbanding lurus dengan derajat inflamasi akut ataupun kronis pada kondisi infeksi, gangguan autoimun, kelainan hematologi, dan malignansi.[4,7]

Interpretasi Feritin pada Defisiensi Besi dan Kondisi Inflamasi

Feritin serum telah dikenal secara umum sebagai reaktan fase akut dan penanda inflamasi akut dan kronis yang akan meningkat secara nonspesifik pada berbagai kondisi inflamasi seperti penyakit ginjal kronik, artritis reumatoid, gangguan autoimun, infeksi, dan malignansi. Peningkatan kadar feritin pada kondisi-kondisi tersebut menggambarkan peningkatan cadangan besi total tubuh, namun secara paradoks cadangan besi tersebut tidak tersedia untuk proses hematopoiesis. Hal ini merupakan salah satu patofisiologi terjadinya anemia akibat inflamasi. Defisiensi besi relatif yang terjadi pada kondisi inflamasi dan malignansi merupakan mekanisme pertahanan tubuh untuk membatasi jumlah zat besi serum yang dapat digunakan oleh patogen maupun sel tumor.[3,7]

Defisiensi besi tidak boleh diekslusi sebagai penyebab anemia apabila ditemukan kadar feritin normal atau meningkat pada keadaan inflamasi. Untuk menilai status besi pada kondisi infeksi maupun inflamasi, pemeriksaan profil besi dan parameter penunjang laboratorium lainnya dapat digunakan. Apabila berbagai pemeriksaan masih belum dapat menentukan keadaan defisiensi besi, maka pemeriksaan baku emas berupa biopsi sumsum tulang untuk pewarnaan cadangan besi dapat dilakukan untuk diagnosis.[8,9]

Pemahaman dalam interpretasi kadar feritin serum pada keadaan inflamasi memerlukan ketelitian dan pendekatan klinis secara menyeluruh. Rekomendasi awal dari WHO menganjurkan dilakukan minimal satu pemeriksaan protein fase akut reaktan selain feritin dalam mendiagnosis kondisi inflamasi. Pemeriksaan sederhana yang dapat dilakukan antara lain yaitu C-Reactive Protein (CRP) dan laju endap darah (LED). Peningkatan kadar feritin serum sebagai protein reaktan fase akut mengakibatkan parameter tersebut tidak dapat diinterpretasi secara mandiri sehingga memerlukan pemeriksaan tambahan lainnya dalam interpretasi.[7]

Adapun beberapa pemeriksaan yang dapat digunakan dalam membantu penilaian status besi pada kondisi inflamasi antara lain: Saturasi transferrin, penanda hematologic, soluble transferrin receptor, c-reactive protein, dan hepsidin.[2]

Saturasi Transferin (TSAT)

Pemeriksaan saturasi transferin dapat dikerjakan di laboratorium secara umum. Panduan ekspertise untuk mendiagnosis defisiensi besi pada kondisi inflamasi biasanya menganjurkan pemeriksaan feritin serum dan saturasi transferin. Pada populasi umum, batas cut-off feritin serum < 30 ?g/L  menunjukkan sensitivitas 92% dan spesifisitas 98% dalam mendiagnosis defisiensi besi.[2]

Namun untuk pendekatan diagnosis defisiensi besi secara sederhana pada pasien dengan kondisi inflamasi seperti gagal jantung kronis, gagal ginjal kronis, atau IBD yaitu dengan menggunakan nilai kadar feritin serum < 100 ?g/L atau TSAT < 20%. Apabila kadar feritin serum 100-300 ?g/L, maka perlu dilakukan konfirmasi lanjutan dengan pemeriksaan TSAT dan pemeriksaan lainnya.[2]

Penanda Hematologi

Persentase eritrosit hipokromik (%HYPO) dan kadar hemoglobin retikulosit (RetHb atau CHr) merupakan indeks hematologi yang sering digunakan untuk menilai status besi. Eritropoiesis yang terjadi dengan kondisi defisiensi besi akan meningkatkan jumlah %HYPO, yang secara umum didefinisikan berdasarkan mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) <28 g/dL.[2]

Peningkatan %HYPO dapat menjadi indikator awal yang sensitif dalam menilai defisiensi besi dengan batas cutoff 6% sebagai indikator defisiensi besi fungsional bersama-sama dengan kadar TSAT yang rendah. Pemeriksaan RetHb menunjukkan kadar hemoglobin dalam retikulosit yang menggambarkan status fungsional besi di sumsum tulang dengan cutoff <28 pg untuk diagnosis eritropoiesis defisit besi (iron-deficient erythropoiesis). Pemeriksaan %HYPO dan RetHb dapat dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan hematologi pada alat-alat otomatis di laboratorium secara umum.[2]

Soluble Transferrin Receptor (sTfR)

Parameter sTfR merupakan penanda aktivitas prekursor eritrosit di sumsum tulang dan tidak terpengaruh oleh kondisi inflamasi, sehingga lebih sensitif dalam menilai defisiensi besi fungsional. Pada kondisi defisiensi besi dengan peningkatan aktivitas eritrosit maka akan terjadi peningkatan ekspresi transferrin receptor yang dapat terdeteksi dalam serum.[2,7,8]

Kekurangan pemeriksaan soluble transferrin receptor yaitu pemeriksaan ini masih jarang dilakukan dan seringkali tidak tersedia di laboratorium umum. Kadar sTfR akan berada dalam batas normal pada kondisi anemia akibat inflamasi kronis, namun kadar sTfR akan meningkat pada keadaan defisiensi besi tanpa anemia (>9 mg/L), dan lebih meningkat lagi pada kondisi anemia defisiensi besi (>25 mg/dL). Soluble transferrin receptor dapat menjadi penanda laboratorium untuk membedakan anemia defisiensi besi dan anemia akibat inflamasi kronis.[2,7,8]

C-Reactive Protein (CRP)

Pemeriksaan CRP dapat membantu penilaian derajat inflamasi pada kenaikan feritin serum sebagai protein reaktan fase akut. Peningkatan CRP dengan cutoff 5mg/dL dapat membantu dalam menilai derajat inflamasi bersamaan dengan parameter inflamasi lainnya.[2]

Hepsidin

Zat besi dalam tubuh berperan dalam regulasi homeostasis hepsidin. Peningkatan zat besi dalam sirkulasi dan cadangan zat besi yang tinggi akan menstimulasi produksi hepsidin yang berujung pada penurunan absorbsi besi di intestinal. Sedangkan kondisi defisiensi akan mensupresi produksi hepsidin sehingga absorbsi besi di gastrointestinal dapat berlangsung maksimal untuk memenuhi kebutuhan zat besi tubuh.[10,11]

Hepsidin akan meningkat pada kondisi inflamasi dan infeksi, sehingga pemeriksaan hepsidin dapat menjadi penentu dalam membedakan anemia defisiensi besi dan anemia inflamasi. Pada kondisi anemia defisiensi besi maka akan terjadi penurunan kadar hepsidin, sedangkan pada kondisi anemia inflamasi maka akan terjadi peningkatan kadar hepsidin di atas nilai normal. Nilai cut-off hepsidin 110 ng/mL menunjukkan sensitivitas 96,7% dan spesifisitas 100% dalam menentukan peningkatan kadar yang diakibatkan oleh proses inflamasi.[10-12]

Tabel 1. Pemeriksaan Laboratorium Untuk Menilai Defisiensi Besi Dan Kondisi Inflamasi

Defisiensi besi absolut Defisiensi besi fungsional pada inflamasi Kombinasi defisiensi besi absolut dan fungsional pada inflamasi
Feritin serum Bergantung pada derajat defisiensi besi
TSAT
%HYPO
RetHb
sTfR ↓ atau normal
CRP Normal
Hepsidin Bergantung pada derajat defisiensi besi

Sumber: Dignas, 2018.[2]

Keterangan: TSAT: saturasi transferin; %HYPO: persentase eritrosit hipokromik; RetHb: kadar hemoglobin dalam retikulosit; sTfR: soluble transferrin receptor; CRP: C-Reactive Protein

Kesimpulan

Defisiensi besi seringkali luput dan terlewatkan pada penderita-penderita dengan infeksi, gangguan autoimun, IBD, artritis reumatoid, gagal ginjal kronis, malignansi, ataupun penyakit inflamasi lainnya. Parameter feritin sebagai penanda status cadangan besi tubuh tidak dapat diinterpretasi secara mandiri pada kondisi-kondisi tersebut, sehingga membutuhkan modalitas pemeriksaan lainnya.

Beberapa parameter laboratorium dapat  membantu dalam membedakan status defisiensi besi absolut ataupun defisiensi besi fungsional akibat inflamasi. Hal ini diharapkan dapat membantu dalam penegakkan diagnosis secara akurat sehingga dapat memberikan pelayanan kesehatan yang maksimal pada pasien.

Referensi