Pengaruh Durasi Aktivitas Luar Ruangan terhadap Miopia – Telaah Jurnal Alomedika

Oleh :
dr. Utami Noor Syabaniyah SpM

Time Outdoors in Reducing Myopia. A School-Based Cluster Randomized Trial with Objective Monitoring of Outdoor Time and Light Intensity

He X, Sankaridurg P, Wang J, et al. Ophthalmology. 2022. 129(11):1245-1254. doi: 10.1016/j.ophtha.2022.06.024.

studiberkelas

Abstrak

Latar Belakang: Mengevaluasi efikasi waktu di luar ruangan (outdoor) di sekolah terhadap onset dan perubahan miopia selama 2 tahun.

Metode: Uji prospektif dengan randomisasi klaster, pemeriksa disamarkan, dan terdiri atas tiga kelompok perlakuan. Sebanyak 6295 anak berusia 6-9 tahun yang berasal dari 24 SD di Shanghai, China, dibagi secara stratifikasi dan diacak berdasarkan sekolah ke dalam tiga kelompok dengan rasio 1:1:1: kelompok kontrol (n=2037), perlakuan I (n=2329), dan perlakuan II (n=1929).

Kelompok perlakuan I dan II menerima tambahan waktu outdoor selama masing-masing 40 dan 80 menit setiap hari di sekolah. Sementara itu, kelompok kontrol melanjutkan rutinitas waktu luar ruangan seperti biasa. Pemantauan waktu di luar dan dalam ruangan serta intensitas cahaya dilakukan menggunakan alat pemantau yang dikenakan di pergelangan tangan (wrist-worn wearable) selama tahun kedua pemantauan.

Luaran primer mencakup insidens kumulatif miopia selama dua tahun (didefinisikan sebagai spherical equivalent/SE dengan sikloplegia ≤ -0,5 D pada mata kanan) pada anak non-miopia saat pemeriksaan awal (baseline), serta perubahan SE dan panjang bola mata (axial length/AL) setelah dua tahun.

Hasil: Insidens kumulatif miopia selama dua tahun (tanpa penyesuaian) tercatat sebesar 24,9% pada kelompok kontrol, 20,6% pada kelompok perlakuan I, dan 23,8% pada kelompok perlakuan II. Dibandingkan kelompok kontrol, terdapat penurunan insidens sebesar 16% pada kelompok perlakuan I (risk ratio incidence/IRR: 0,84; p=0,035) dan sebesar 11% pada kelompok perlakuan II (IRR: 0,89; p=0,041), setelah penyesuaian terhadap faktor perancu.

Kelompok perlakuan juga menunjukkan perubahan miopia (pergeseran miopik) dan pemanjangan AL yang lebih rendah dibandingkan kelompok kontrol (perlakuan I: -0,84 D dan 0,55 mm; perlakuan II: -0,91 D dan 0,57 mm; kontrol: -1,04 D dan 0,65 mm). Tidak ditemukan perbedaan signifikan antara kedua kelompok perlakuan dalam hal insidens maupun progresi miopia.

Kedua kelompok perlakuan memiliki durasi waktu luar ruangan dan intensitas cahaya yang serupa, namun keduanya secara signifikan lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Waktu di luar ruangan selama 120–150 menit/hari dengan intensitas cahaya sekitar 5.000 lux/menit, atau paparan kumulatif cahaya luar ruangan sebesar 600.000–750.000 lux, secara signifikan menurunkan IRR sebesar 15–24%.

Kesimpulan: Peningkatan waktu outdoor terbukti dapat menurunkan risiko onset dan progresi miopia, terutama pada anak-anak yang belum mengalami miopia. Efek protektif dari aktivitas luar ruangan berkaitan erat dengan durasi dan intensitas paparan cahaya.

Tidak ditemukan efek dose-response yang nyata antara kelompok perlakuan I dan II, kemungkinan karena waktu luar ruangan yang dicapai di kedua kelompok masih belum optimal. Hal ini menunjukkan bahwa pemantauan kepatuhan terhadap intervensi luar ruangan sangat penting untuk memperoleh manfaat protektif secara maksimal.

Aktivitas Luar Ruangan terhadap Miopia

Ulasan Alomedika

Miopia memengaruhi sekitar 25% populasi dunia dan diperkirakan jumlahnya akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2050. Lebih dari 50% anak usia sekolah sudah mengalami miopia saat memasuki masa sekolah, dan sekitar 80% di antaranya mengalami miopia saat lulus.

Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan waktu outdoor dapat menurunkan risiko timbulnya miopia. Namun, masih terdapat beberapa kesenjangan pengetahuan yang menghambat penerapannya, termasuk kurangnya pengukuran paparan cahaya luar ruangan secara objektif. Selain itu, belum jelas apakah waktu di luar ruangan juga dapat memperlambat progresi miopia pada anak-anak yang sudah mengalami miopia.

Ulasan Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang berlangsung selama 2 tahun, randomisasi klaster dengan pemeriksa disamarkan, yang dilakukan di Shanghai dari tahun 2016-2018. Penelitian ini melibatkan anak dari 24 SD negeri yang berada di 8 distrik, dan secara acak dialokasikan terhadap satu dari tiga kelompok perlakuan, yaitu:

  • Kelompok kontrol
  • Kelompok perlakuan I: tambahan 40 menit waktu outdoor per hari masuk sekolah
  • Kelompok perlakuan II: tambahan 80 menit waktu outdoor per hari masuk sekolah.

Tujuannya adalah untuk menilai apakah peningkatan waktu outdoor menurunkan insidens miopia pada anak sekolah. Tingkat kepatuhan dimonitor melalui sensor yang dipakai pada pergelangan tangan (wearable) dan laporan dari sekolah. Alat wearable dapat mengukur durasi waktu outdoor dan indoor, intensitas cahaya (lux), cuaca, jumlah langkah, dan status pemakaian secara otomatis setiap 20 detik.

Evaluasi Data:

Pengumpulan data dilakukan melalui kuesioner orang tua dan pemeriksaan mata yang dilakukan di sekolah pada baseline, akhir tahun pertama, dan akhir tahun kedua. Sementara itu, pengumpulan data melalui wearable device dilakukan secara otomatis diunggah melalui cloud-based server. Insidens miopia didefinisikan sebagai terjadinya miopia (SE ≤ -0.5 D) pada anak yang sebelumnya non-miopia pada pemeriksaan awal.

Analisis efikasi dilakukan pada tingkat individu, dengan hanya menggunakan data mata kanan pada anak yang melakukan pemeriksaan sikloplegia. Insidens kumulatif miopia selama 2 tahun mencakup anak-anak yang mengalami miopia pada kunjungan tahun pertama atau kedua, sementara peserta yang tetap non-miopia selama studi dikategorikan sebagai non-incident myopes. Anak yang non-miopia pada pemeriksan awal dan 12 bulan tetapi drop out sebelum 24 bulan dianggap sebagai missing data.

Perbandingan insidens antar kelompok dilakukan dengan regresi Poisson termodifikasi menggunakan generalized estimating equation (GEE), dengan penyesuaian untuk faktor perancu seperti usia, jenis kelamin, riwayat miopia orang tua, status refraksi awal, kepatuhan, dan durasi istirahat siang. Risk ratio incidence (IRR) dihitung untuk membandingkan kelompok intervensi dan kontrol, dengan interval kepercayaan 95%. Konsistensi hasil juga diperiksa melalui model regresi hazard Cox.

Perubahan SE dan AL dianalisis menggunakan linear mixed-effects models dengan sekolah sebagai efek acak dan penyesuaian faktor perancu. Data dari wearable device diklasifikasikan setiap 20 detik menggunakan model machine learning (support vector machine) sebagai "indoor" atau "outdoor", dan dirangkum dalam menit per hari, intensitas cahaya (lux), serta total paparan cahaya kumulatif harian. Data ini dibandingkan antar kelompok menggunakan model campuran linier.

Ulasan Hasil Penelitian

Penelitian ini melibatkan total 6.295 anak, yang mana kelompok kontrol terdiri dari 2037 anak, kelompok perlakuan I 2.329 anak, dan kelompok perlakuan II 1.929 anak. Pada pemeriksaan awal, sebanyak 6,8% anak telah mengalami miopia. Selama periode dua tahun, sekitar 19,5% peserta mengundurkan diri dari penelitian. Alasan utama pengunduran diri adalah penolakan terhadap pemeriksaan sikloplegik, pindah sekolah, atau ketidakhadiran. Tingkat pengunduran diri serupa pada semua kelompok.

Sebanyak 5.067 anak diikutsertakan dalam analisis insidens, dan 5.340 anak dalam analisis progresivitas. Intervensi peningkatan waktu outdoor berhasil diterapkan pada 84% dari total hari masuk sekolah di kelompok perlakuan.

Temuan Miopia pada Populasi Studi:

Insidens kumulatif miopia (tanpa penyesuaian) selama 2 tahun adalah 24,9% pada kelompok kontrol, 20,6% pada kelompok perlakuan I, dan 23,8% pada kelompok perlakuan II. Setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor perancu, insidens miopia menurun secara signifikan sebesar 16% pada kelompok perlakuan I dan 11% pada kelompok perlakuan II dibandingkan kontrol.

Meskipun perubahan refraksi (dinyatakan sebagai spherical equivalent/SE) tidak berbeda secara signifikan antar kelompok, pemanjangan bola mata (axial length/AL) lebih kecil pada kelompok perlakuan dibandingkan dengan kontrol. Setelah dilakukan penyesuaian terhadap faktor perancu, progresi AL tetap lebih rendah pada kelompok perlakuan.

Temuan Mengenai Durasi Aktivitas Luar Ruangan dan Kaitannya dengan Miopia:

Data dari wearable device yang dikenakan di pergelangan tangan menunjukkan bahwa anak dalam kelompok perlakuan menghabiskan waktu outdoor secara signifikan lebih lama (127 menit/hari) dibandingkan dengan kelompok kontrol (106 menit/hari). Paparan intensitas cahaya juga secara signifikan lebih tinggi pada kelompok perlakuan. Namun, tidak ditemukan perbedaan antara kelompok perlakuan I dan II.

Analisis post-hoc terhadap seluruh peserta menunjukkan bahwa peningkatan waktu outdoor dan paparan cahaya outdoor secara signifikan menurunkan risiko terjadinya miopia. Setiap peningkatan waktu outdoor sebesar 60 menit per hari menurunkan insidens sebesar 18%, sedangkan peningkatan paparan cahaya sebesar 300.000 lux per hari menurunkan risiko miopia sebesar 20%.

Peningkatan waktu dan paparan cahaya outdoor juga ditemukan memperlambat progresivitas miopia (baik SE maupun AL), tetapi hanya pada anak-anak yang belum memiliki miopia pada pemeriksaan awal. Pada anak non-miopia, paparan cahaya kumulatif sebesar 300.000 lux per hari berhubungan dengan perlambatan pergeseran ke arah miopia. Sebaliknya, efek ini tidak ditemukan pada anak yang sudah mengalami miopia sebelumnya.

Model simulasi menunjukkan bahwa penurunan insidens miopia sebesar 15–24% dapat dicapai melalui paparan cahaya luar ruangan sebesar 600.000–750.000 lux per hari, yang setara dengan waktu di luar ruangan selama 2–2,5 jam per hari dengan intensitas cahaya sekitar 5.000 lux.

Kelebihan Penelitian

Studi ini memiliki beberapa keunggulan, termasuk jumlah sampel yang besar, durasi follow-up yang cukup lama, dan desain penelitian yang baik, yaitu menggunakan desain uji acak terklaster berbasis sekolah yang prospektif dan tertutup bagi pemeriksa. Hal ini akan memberikan tingkat validitas internal yang tinggi serta mengurangi bias seleksi dan pengukuran.

Studi ini juga menggunakan perangkat wearable berbasis machine learning yang mampu secara objektif mengukur durasi waktu outdoor dan indoor serta intensitas cahaya (lux) setiap 20 detik. Ini jauh lebih akurat dibandingkan data survei atau kuesioner self-reported. Selain itu, berbagai metode statistik yang diterapkan memungkinkan kontrol faktor perancu secara optimal dan meningkatkan validitas hasil.

Limitasi Penelitian

Penelitian ini didesain untuk mendeteksi 33% pengurangan insiden miopia, namun ternyata target ini tidak tercapai, kemungkinan karena jumlah sampel lebih sedikit dari yang diperkirakan. Selain itu, meskipun durasi spesifik untuk paparan luar ruangan telah ditetapkan untuk kelompok I dan II, studi ini tidak mempertimbangkan bagaimana intervensi tersebut dapat memengaruhi perilaku anak-anak di luar jam sekolah.

Penggunaan perangkat wearable mungkin telah menimbulkan efek Hawthorne, terutama pada tahun kedua, karena peserta mungkin mengubah perilakunya hanya karena merasa sedang dipantau. Selain itu, karena perangkat wearable dikenakan di pergelangan tangan, paparan cahaya yang diukur mungkin tidak secara akurat mencerminkan jumlah cahaya yang diterima oleh mata.

Hal lain yang perlu dicatat adalah meskipun ditemukan hubungan dosis–respon antara paparan outdoor dan penurunan risiko miopia, temuan ini berasal dari data observasional yang digabungkan, bukan dari desain uji coba terkontrol secara acak, sehingga hubungan kausalitas tidak dapat disimpulkan secara pasti.

Aplikasi Hasil Penelitian

Hasil studi ini menunjukkan bahwa peningkatan waktu aktivitas luar ruangan, terutama ketika disertai dengan intensitas paparan cahaya outdoor yang tinggi, dapat menjadi salah satu strategi paling efektif dalam mencegah timbulnya miopia dan memperlambat laju progresinya. Intervensi ini bersifat non-invasif, tidak membutuhkan biaya besar, dan relatif mudah untuk diterapkan, sehingga bisa menjadi solusi yang praktis untuk anak yang berisiko mengalami miopia.

Hasil studi ini dapat diterapkan di Indonesia dengan mendorong penambahan waktu aktivitas luar ruangan di sekolah. Mengingat iklim Indonesia yang mendukung paparan cahaya alami sepanjang tahun, kebijakan untuk menambah waktu luar ruangan per hari sekolah dapat bermanfaat menurunkan insiden miopia pada anak. Intervensi ini dapat diintegrasikan ke dalam program kesehatan mata anak atau kurikulum pendidikan jasmani dan kesehatan.

Referensi