Pencegahan transmisi methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) penting dilakukan karena patogen ini bisa menyebabkan infeksi serius bagi pasien di rumah sakit. MRSA merupakan salah satu patogen utama penyebab healthcare-associated infections (HAIs) di rumah sakit.[1]
Penerapan kewaspadaan standar, kewaspadaan berbasis transmisi dalam bentuk kewaspadaan kontak, serta penggunaan antibiotik secara bijak menjadi strategi utama pencegahan transmisi MRSA. Pelaksanaan skrining aktif yang diikuti tindak lanjut berupa strategi dekolonisasi serta isolasi atau kohorting, manajemen tenaga kesehatan dengan kolonisasi, pengendalian lingkungan, surveilans, serta penatagunaan antibiotik juga merupakan tindakan yang direkomendasikan dalam pengendalian MRSA di rumah sakit.[1,2]
Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) Sebagai Patogen Penyebab Healthcare-Associated Infections
Healthcare-associated infections (HAIs) adalah infeksi yang terjadi pada pasien selama perawatan di rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lain, dimana ketika masuk tidak ada infeksi dan tidak dalam masa inkubasi tetapi muncul infeksi setelah pasien pulang. HAIs juga mencakup infeksi karena pekerjaan pada petugas rumah sakit dan tenaga kesehatan terkait proses pelayanan kesehatan. HAIs meningkatkan angka morbiditas dan mortalitas pasien, meningkatkan lama rawat inap, serta menambah beban biaya dan perawatan di rumah sakit.[1]
Diperkirakan sebanyak 7 hingga 15 dari 100 pasien yang dirawat inap di rumah sakit mengalami HAIs, dengan 10% pasien mengalami kematian. Patogen penyebab HAIs sebagian besar adalah multidrug-resistant organism (MDRO), dimana 41% isolat S.aureus yang diisolasi dari pasien dengan HAIs adalah methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA).[3]
Mekanisme Resistensi Methicillin pada Staphylococcus aureus
MRSA merupakan bakteri resisten multiobat yang pertama kali diisolasi setahun setelah methicillin, yang merupakan penicillinase-resistant penicillin, digunakan secara klinis. Resistensi terhadap methicillin diperantarai oleh gen mecA dan homolog mecA yakni mecC, yang berada pada mobile genetic element (MGE) staphylococcal cassette chromosome mec (SCCmec).
Gen tersebut mengkode pembentukan penicillin-binding protein (PBP) 2a yang memiliki afinitas lebih rendah terhadap molekul beta laktam. Ini membuat isolat MRSA resisten terhadap seluruh antibiotik golongan beta-laktam, termasuk penicillin, sefalosporin, dan karbapenem, kecuali dua antibiotik beta laktam terbaru yaitu ceftarolin dan ceftobiprol.[4]
Dampak Klinis Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Sindrom klinis yang disebabkan oleh MRSA bervariasi, mulai dari kolonisasi asimtomatik pada host, infeksi kulit dan jaringan lunak, hingga infeksi invasif fulminan yang mengancam jiwa. Kolonisasi MRSA didefinisikan sebagai ditemukannya bakteri MRSA dari hasil biakan spesimen klinis tanpa disertai tanda dan gejala klinis infeksi lokal maupun sistemik. Di sisi lain, infeksi MRSA didefinisikan sebagai masuk dan berkembang biaknya bakteri MRSA dalam tubuh disertai respon tubuh dengan tanda dan gejala klinis infeksi lokal maupun sistemik.
MRSA dapat melakukan kolonisasi kulit maupun permukaan benda dan dapat menginfeksi seluruh bagian tubuh dengan berbagai faktor virulensi yang dimilikinya. Kolonisasi dari MRSA meningkatkan risiko infeksi hingga 20 kali lipat. MRSA juga dapat berpindah dari satu pasien ke pasien yang lain melalui tangan tenaga kesehatan yang terkontaminasi atau terkolonisasi, peralatan kesehatan, maupun permukaan benda.[5]
Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)
Strategi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI) didesain untuk memutus rantai infeksi dan mencegah transmisi mikroorganisme antar pasien, pengunjung rumah sakit, dan tenaga kesehatan yang mengalami kolonisasi atau infeksi. PPI dilakukan melalui penerapan kewaspadaan standar serta kewaspadaan berbasis transmisi.[1,6]
Komponen Kewaspadaan Standar dalam Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi MRSA
Kewaspadaan standar dirancang untuk diterapkan secara rutin dalam perawatan seluruh pasien. Terdapat 11 komponen utama yang direkomendasikan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika Serikat. Ini mencakup praktik hand-hygiene yang adekuat, penggunaan alat pelindung diri, serta pembersihan alat kesehatan dan lingkungan.[1,6]
Komponen Kewaspadaan Berbasis Transmisi dalam Strategi Pencegahan dan Pengendalian Infeksi MRSA
Kewaspadaan berbasis transmisi dalam bentuk kewaspadaan kontak diterapkan pada pasien yang telah terbukti mengalami kolonisasi atau infeksi oleh MRSA. Kewaspadaan kontak utama mencakup penggunaan apron atau gown serta sarung tangan khusus setiap interaksi dengan pasien dan lingkungan terkontaminasi.
Komponen lain mencakup penggunaan peralatan kesehatan disposable atau khusus didedikasikan per pasien, serta isolasi maupun kohorting pasien di ruangan yang terpisah dengan pasien lain yang sering disebut sebagai strategi contact isolation (CI) atau contact precaution (CP).[1,6]
Deteksi Dini Kolonisasi dan Infeksi MRSA
Deteksi dini dari kolonisasi dan infeksi MRSA memungkinkan dilakukannya penerapan kewaspadaan kontak dan tindakan dekolonisasi atau tata laksana infeksi, sehingga mencegah transmisi berkelanjutan dari MRSA di rumah sakit. Skrining MRSA dapat dilakukan secara bertarget pada kelompok risiko tinggi, dimana penentuan kriteria kelompok pasien risiko tinggi dapat disesuaikan dengan kondisi masing-masing rumah sakit.
Contoh kelompok pasien risiko tinggi adalah:
- Pasien dengan riwayat kolonisasi atau infeksi MRSA sebelumnya
- Pasien dengan riwayat rawat inap dalam 6 bulan terakhir
- Pasien rujukan dari rumah sakit lain
- Pasien dengan kulit tidak intak atau menggunakan alat penunjang medis
- Pasien dengan dialisis
- Pasien yang dirawat di ruang rawat intensif
Selain skrining pada kelompok tertentu, kebijakan skrining dapat diterapkan pada seluruh pasien baru atau disebut sebagai kebijakan skrining universal. Skrining universal meningkatkan cakupan deteksi MRSA, terutama pasien dengan kolonisasi maupun infeksi community acquired MRSA (CA-MRSA) yang cenderung terjadi pada pasien tanpa faktor risiko epidemiologi khas kolonisasi atau infeksi akibat hospital-acquired MRSA (HA-MRSA).
Pengambilan Sampel untuk Skrining:
Pengambilan spesimen untuk skrining kolonisasi MRSA dapat dilakukan dengan swab dari minimal 2 lokasi pada nares, perineum, aksila, port alat medis, luka kulit, maupun lokasi lain yang sesuai dengan manifestasi klinis pada pasien dengan kecurigaan infeksi. Deteksi MRSA dilakukan dengan metode kultur konvensional atau PCR.
Bila menggunakan metode molekuler, maka metode kultur ditambahkan pada kasus investigasi outbreak atau saat mengumpulkan data terkait kepekaan dalam surveilans aktif MRSA. Skrining terhadap tenaga kesehatan dan lingkungan rumah sakit dilakukan sebagai bagian dari respon terhadap outbreak MRSA, yang dapat diketahui apabila surveilans terhadap MRSA berjalan aktif di rumah sakit.[6,7]
Dekolonisasi
Pada pasien dengan kolonisasi MRSA, dilakukan tindakan dekolonisasi serta isolasi atau kohorting. Dekontaminasi dengan mupirocin salep topikal disarankan pada pasien dengan kolonisasi MRSA pada nares. Penggunaan bilas chlorhexidine 2-4% disarankan sebagai upaya dekolonisasi tubuh untuk mengurangi load MRSA.[8]
Pasien disarankan untuk dirawat di ruang khusus yang terpisah dengan ruang rawat pasien non-MRSA, dapat dilakukan rawat isolasi maupun rawat kohorting. Kohorting, atau perawatan lebih dari satu pasien MRSA dalam satu ruang khusus, dilakukan apabila terdapat keterbatasan jumlah ruangan yang dapat digunakan untuk mengisolasi pasien.
Isolasi maupun kohorting dilakukan untuk mencegah kontak antar pasien serta mengurangi risiko perpindahan MRSA dari pasien ke tenaga kesehatan perawat pasien yang efektif apabila dilakukan bersamaan dengan penerapan kewaspadaan standar yang adekuat serta penggunaan gown dan sarung tangan yang diganti setiap kontak dengan masing-masing pasien. Tenaga kesehatan yang memberikan perawatan pada pasien MRSA dibedakan dengan tenaga kesehatan yang merawat pasien non-MRSA.[9-11]
Perawatan Tenaga Kesehatan dengan MRSA
Tenaga kesehatan yang mengalami kolonisasi MRSA pada nares disarankan untuk menjalani proses dekolonisasi dengan mupirocin topikal. Tenaga kesehatan yang juga mengalami lesi kulit atau lesi infeksi MRSA bersamaan dengan kolonisasi nares disarankan untuk menjalani alih tugas sementara ke tugas yang minim atau tidak ada kontak terhadap pasien selama proses dekolonisasi.[2]
Desinfeksi Lingkungan
Penelitian yang dilakukan di Singapura menampilkan data pengambilan spesimen dari pasien terinfeksi MRSA, dari telapak tangan tenaga kesehatan, dan dari lingkungan sekitar pasien. MRSA didapatkan dari 74% sampel lingkungan sekitar pasien dan 5% tangan tenaga kesehatan dengan kesamaan klon MRSA yang terisolasi dari ketiganya.
Penemuan ini menunjukkan bahwa permukaan benda dan lingkungan sekitar pasien merupakan reservoir penting yang dapat memfasilitasi transmisi silang dari MRSA. Pembersihan dan desinfeksi lingkungan menjadi komponen penting dari bundle pencegahan transmisi MRSA.
Perlu dilakukan edukasi terkait pembersihan lingkungan yang adekuat bagi petugas rumah sakit disertai penerapan monitoring dan evaluasi rutin dari manajemen. Hydrogen peroxide vapour (HPV) maupun sinar ultraviolet (UV-C) dapat digunakan pada akhir proses desinfeksi untuk memastikan eradikasi MRSA.[2,12]
Implementasi Strategi Pengendalian Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) di Indonesia
Keterbatasan sumber daya menjadi kendala utama dalam pengendalian transmisi MRSA di negara berkembang seperti Indonesia. Penelitian menunjukkan sebagian besar negara di Asia Tenggara belum menerapkan strategi skrining aktif bagi pasien baru, isolasi, maupun dekolonisasi. Upaya pengendalian transmisi MRSA masih bergantung hanya pada penerapan kewaspadaan standar.[12]
Studi intervensi di Yogyakarta menunjukkan bahwa penerapan cuci tangan adekuat menurunkan kejadian kolonisasi dan infeksi HA-MRSA pada pasien pasca intervensi hingga 0,3% dari angka sebelum intervensi 12,6%. Strategi hand-hygiene merupakan cara yang sederhana namun sangat efektif dalam mengurangi angka kejadian HAIs. Edukasi berkala mengenai cara cuci tangan yang benar dan kapan cuci tangan harus dilakukan perlu diberikan pada pasien, perawat pasien, pengunjung RS, dan tenaga kesehatan.[13,14]
Strategi implementasi lainnya sesungguhnya serupa dengan strategi yang telah disebutkan di atas. Ini mencakup promosi dan observasi kepatuhan cuci tangan, penambahan akses terhadap sarana cuci tangan, serta implementasi skrining aktif MRSA terhadap pasien, tenaga kesehatan, dan lingkungan sekitar pasien. Selain itu, perlu dilakukan penerapan strategi kohorting, penerapan strategi dekolonisasi, serta pembersihan dan desinfeksi alat dan lingkungan pasien. Dengan strategi tersebut, sebuah studi di Malang menunjukkan penurunan laju akuisisi MRSA signifikan.[14]
Kesimpulan
Upaya pengendalian methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dilakukan dengan pencegahan kemunculan MRSA disertai pencegahan transmisinya. Kemunculan isolat baru MRSA ditekan dengan penerapan penatagunaan antibiotik sebagai bagian dari program pengendalian resistensi antimikroba (PPRA). Pencegahan transmisi dilakukan melalui penerapan prinsip kewaspadaan standar dan kewaspadaan kontak dari PPI, bersamaan dengan strategi surveilans, manajemen kolonisasi dan terapi, serta pembersihan alat dan lingkungan untuk mengurangi transmisi silang dari MRSA di rumah sakit. Cuci tangan di rumah sakit oleh dokter, perawat dan petugas kesehatan lain, serta pasien dan pengunjung merupakan intervensi yang murah dan efektif untuk mengurangi transmisi.