Pemeriksaan CCTA pada Nyeri Dada Akut Risiko Rendah

Oleh :
dr. Bunga Saridewi

Pemeriksaan coronary computed tomography angiography (CCTA) biasa dilakukan pada nyeri dada risiko rendah untuk menyingkirkan infark miokard akut setelah hasil biomarker ditemukan dalam batas normal.  Akan tetapi, berdasarkan AHA 2010 pemeriksaan nyeri dada ini dikatakan lengkap bila pemeriksaan jantung non invasif dilakukan. Diasumsikan, hasil pemeriksaan jantung non invasif yang positif dapat mengurangi angka kejadian major adverse cardiac events (MACEs). Selain itu tidak ada penundaan dalam rujukan ke sub spesialis jantung dan tidak adanya penundaan pada tindakan revaskularisasi. [1,2]

Sekitar tujuh juta pasien mengunjungi Instalasi Gawat Darurat (IGD) setiap tahun dengan keluhan nyeri dada. Sekitar 20% keluhan tersebut terkait penyebab kardiovaskular, namun hanya sekitar 5,5% dari kondisi tersebut merupakan kondisi yang mengancam jiwa. [1]  Sebaliknya, sebagian pasien menjalani pemeriksaan jantung akibat keluhan nyeri dada dan didiagnosis dengan penyebab non kardiak atau penyebab nyeri dada yang masih belum diketahui memiliki peningkatan risiko terhadap kejadian kardiovaskular lanjutan hingga kematian. [2]

CCTAcomp

Anamnesis, pemeriksaan fisik, serial elektrokardiografi dan  biomarker jantung dapat digunakan sebagai evaluasi awal nyeri dada akut untuk menyingkirkan sindrom koroner akut. Berbagai strategi pemeriksaan baru mulai dari biomarker hingga pemeriksaan jantung non invasif juga diusulkan untuk meningkatkan akurasi diagnostik dan efektivitas biaya. [3]

Pemeriksaan Jantung Non Invasif pada Nyeri Dada Akut Risiko Rendah

Pemeriksaan non invasif yang ideal dalam pemeriksaan nyeri dada adalah yang dapat memberikan gambaran mengenai struktur, fungsi, perfusi dan viabilitas miokardium serta ada-tidaknya lesi koroner dan pengaruhnya secara fungsional. Disamping itu, paparan radiasi yang minimal, faktor biaya dan tingkat sensitivitas dan spesifisitas terhadap diagnosis juga perlu diperhitungkan. [4]

Beberapa pemeriksaan jantung non invasif yang tersedia saat ini antara lain exercise electrocardiogram, single photon emission computed tomography (CT)-myocardial perfusion imaging, stress echocardiography, real time myocardial contrast echocardiography, coronary CT angiography, dan cardiovascular magnetic resonance.

American Heart Association (AHA) merekomendasikan pemeriksaan jantung non invasif ini dilaksanakan sebelum pasien dipulangkan atau dalam waktu kurang dari 72 jam  dimana pasien dengan hasil positif pada pemeriksaan non invasif akan menjalani angiografi koroner.[5,6] . European Society of Cardiology (ESC) juga merekomendasikan pemeriksaan jantung non invasif sebagai alternatif angiografi invasif untuk menyingkirkan sindrom koroner akut pada pasien dengan troponin dan elektrokardiografi inkonklusif. [7]

Bukti Ilmiah terkait Pemeriksaan Jantung Non Invasif

Di antara pemeriksaan-pemeriksaan jantung non invasif, coronary CT angiography merupakan satu-satunya modalitas diagnostik anatomi non invasif yang telah disarankan untuk mengatasi keterbatasan pemeriksaan sebelumnya dan telah mengalami pengawasan ketat selama beberapa tahun terakhir. [2]

Coronary Computed Tomographic Angiography (CCTA)

Coronary Computed Tomographic Angiography (CCTA) memungkinkan visualisasi langsung lumen dan dinding arteri koroner dengan menggunakan kontras intravena untuk menghasilkan computed tomographic angiogram koroner. Disamping itu, pemeriksaan non-kontras sebelum prosedur ini juga dapat digunakan untuk menilai keberadaan dan kalsium pada dinding pembuluh darah arteri koroner sebagai penanda luasnya aterosklerosis koroner dan risiko di masa mendatang. Meski begitu hal ini tidak selalu berhubungan dengan tingkat keparahan penyempitan arteri koroner. [2]

CCTA merupakan modalitas pencitraan dengan nilai prediktif negatif yang sangat baik terhadap penyakit jantung koroner. Penelitian mengenai performance diagnostik CCTA dengan membandingkan kemampuan untuk mendeteksi lesi koroner yang signifikan (penyumbatan lebih dari 50%) dibanding dengan lesi yang ditemukan pada angiografi koroner invasif berikutnya.

Keuntungan CCTA sebagai Prediktor Nyeri Dada

Studi awal 64-slice multi-detector CT (64-MDCT) memiliki sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif masing-masing 94%, 97%, 87%, dan 99%. Studi ini mengeksklusi atrial fibrilasi, atrial premature contractions, riwayat penyakit jantung koroner, dan ketidakmampuan untuk mentolerir beta-blokade. Studi inklusi pada pasien ini memiliki spesifisitas 93% dan nilai prediksi negatif 97% pada penilaian stenosis arteri koroner segmental lebih besar dari 50%.

Selanjutnya beberapa penelitian multisenter dengan uji klinis acak menyatakan bahwa CCTA merupakan alternatif yang aman dan efektif sebagai standar evaluasi di IGD jika dilakukan secara dini dalam evaluasi nyeri dada dan dikaitkan dengan berkurangnya durasi rawat inap. [8,9]

CCTA juga merupakan prediktor risiko yang baik, terutama pada hasil pemeriksaan yang normal. Data jangka panjang untuk menilai prognosis melebihi 5 tahun pada pasien dengan hasil CCTA normal memiliki rasio kemungkinan negatif 0,008 terhadap kejadian tidak diharapkan terkait penyakit jantung (major adverse cardiac events/MACE). Diketahui risiko MACE meningkat seiring dengan peningkatan plak. [10]

Kekurangan CCTA sebagai Prediktor Nyeri Dada

Disisi lain, sebuah penelitian retrospektif yang berasal dari multicenter Rule Out Myocardial Ischemia/Infarction by Computer Assisted tomography (ROMICAT-II) trial. Rekam medis sebanyak 1000 pasien dievaluasi yang memiliki keluhan awal nyeri dada dan datang ke IGD di 9 rumah sakit Amerika Serikat.  Sekitar 118 (12%) pasien hanya mendapatkan evaluasi klinis berupa pemeriksaan elektrokardiografi dan biomarker jantung, sedangkan 882 (88%) lainnya menjalani pemeriksaan jantung non invasif. Dari data tersebut didapatkan hasil bahwa pasien yang hanya mendapatkan evaluasi klinis saja memiliki durasi rawat yang lebih pendek (20,3 jam vs 27,9 jam; p<0,01), biaya pemeriksaan yang lebih rendah (Rp 32.000.000 vs Rp 37.000.000; p=0,009), proporsi pemeriksaan angiografi yang lebih rendah (2% vs 11%; p<0,001), dan paparan radiasi kumulatif yang lebih rendah (0 vs 9,9 mSv;p<0.001). Akan tetapi tidak ada perbedaan signifikan pada percutaneous coronary intervention (2% vs 5%;p=0,15), coronary artery bypass surgery (0% vs 1%; p=0,61), kunjungan ulang ke IGD (5,8% vs 2,8%;p=0,08), atau kejadian tidak diharapkan terkait penyakit jantung (major adverse cardiac events/MACE) (2% vs 1%; p=0,24) pada 28 hari masa follow-up. [9]

Selanjutnya, sebuah studi kohort retrospektif terhadap 926.633 pasien diambil dari pusat data nasional (Truven MarketScan) yang mengalami nyeri dada yang berdasarkan diagnosis awal tidak terkait dengan iskemia akut untuk menilai pengaruh pemeriksaaan jantung non invasif dalam waktu 2 hari atau 30 hari sejak presentasi. Pemeriksaan  dalam 2 hari dikaitkan dengan peningkatan signifikan revaskularisasi namun tidak ada perbedaan dalam kejadian infark miokard akut. Begitu juga pada pemeriksaan dalam 30 hari yang dikaitkan dengan peningkatan angiografi koroner (36,5 per 1000 pasien uji; 95% CI, 21,0-52,0) dan revaskularisasi (22,8 per 1000 pasien uji; 95% CI, 10,6-35,0) pada 1 tahun tidak memiliki perbedaan signifikan dalam terjadinya infark miokard akut (7,8 per 1000 pasien uji; 95% CI, -1,4 sampai 17,0).(5) Begitu juga beberapa penelitian lain juga memiliki hasil serupa. [2,11,12]

Berdasarkan laporan kasus yang dilakukan oleh Zaghlouk et al. terdapat beberapa kekurangan CCTA sebagai alat diagnosis. CCTA sulit mendeteksi non-obstructive CAD, disfungsi mikrovaskular, disfungsi endotelial, spasme microvaskular dan kekakukan pada pembuluh darah. Sehingga, pemeriksaan ini tetap harus dilakukan bersamaan dengan telaah klinis dan pemeriksaan lainnya. [13]

Kesimpulan

Pada tata laksana nyeri dada, diperlukan menyingkirkan adanya tanda-tanda infark miokard akut. Pemeriksaan dasar yang dilakukan adalah ekokardiografi dengan biomarker jantung. Hasil yang inkonklusif tidak cukup untuk menyingkirkan kasus nyeri dada. Pemeriksaan jantung non-invasif telah direkomendasikan pada nyeri dada dengan kadar troponin dan elektrokardiografi inkonklusif untuk meningkatkan akurasi diagnostik dan efektivitas biaya.

Meski begitu, beberapa penelitian menyatakan bahwa pemeriksaan jantung non invasif tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap durasi rawat, biaya pemeriksaan atau kejadian tidak diharapkan terkait penyakit jantung (major adverse cardiac events/MACE), hingga kejadian infark miokard akut selanjutnya. Beberapa keterbatasan dari CCTA adalah ketidakmampuan untuk mendeteksi spasme koroner, disfungsi microvaskular dan non- occlusive coronary artery disease.

Penggunaan CCTA menjadi modalitas sebagai prediktor terjadinya MACEs. Akan tetapi berdasarkan penelitian, penggunaan CCTA tidak mempengaruhi perubahan tindakan revaskularisasi dibandingkan dengan penilaian klinis. Penilaian klinis secara cepat dan tepat tetap menjadi pilar utama dalam menatalaksana nyeri dada akut.

Referensi