Manajemen dan Dampak Jangka Panjang Mutisme Selektif

Oleh :
dr.Shofa Nisrina Luthfiyani

Manajemen mutisme selektif perlu dilakukan dengan tepat untuk menghindari dampak jangka panjang, misalnya gangguan pada hubungan interpersonal yang dapat berujung pada gangguan fungsi sosial dan gangguan kesehatan mental.[1-3]

Mutisme selektif merupakan salah satu bentuk ansietas pada anak yang bisa bicara dengan lancar di suatu tempat, misalnya di rumah, tetapi berubah menjadi tidak dapat berbicara dalam situasi lain, seperti di sekolah atau di tempat dengan banyak orang yang tidak dikenal. Ketidakmampuan untuk bicara ini disebabkan oleh rasa cemas yang berlebih, sehingga anak menjadi panik dan tidak dapat merespons bukan karena anak menolak untuk berbicara.[1-3]

Manajemen dan Dampak Mutisme Selektif

Anak dengan mutisme selektif akan menghindari kontak mata, menunjukkan bahasa tubuh yang kaku, dan menggunakan gestur tubuh untuk menjawab pertanyaan. Kondisi ini biasanya muncul pada awal masa anak-anak dan sering terlihat saat anak mulai masuk sekolah. Suatu studi menunjukkan bahwa onset terjadinya mutisme selektif berada di rentang usia 2–4 tahun dan usia rujukannya adalah 5–8 tahun.[1-3]

Kriteria Diagnosis Mutisme Selektif

Penegakkan diagnosis mutisme selektif dapat menggunakan kriteria dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fifth Edition (DSM-5) sebagai berikut:

  • Ketidakmampuan untuk berbicara yang konsisten terjadi di situasi sosial yang spesifik di mana kemampuan berbicara diharapkan, tetapi tetap dapat berbicara di situasi lain
  • Kondisi ini mengganggu pencapaian akademis atau okupasi atau komunikasi sosial
  • Durasi gangguan minimal selama 1 bulan
  • Ketidakmampuan untuk berbicara tidak disebabkan oleh kurangnya pengetahuan atau kenyamanan bahasa yang digunakan di situasi sosial tersebut
  • Gangguan ini tidak disebabkan oleh kelainan komunikasi lain (contohnya childhood-onset fluency disorder) dan tidak bersamaan dengan autisme, skizofrenia, atau gangguan psikotik lain[4]

Penyebab Mutisme Selektif dan Perbedaannya dengan Kondisi Lain

Penyebab mutisme belum diketahui secara pasti, tetapi melibatkan predisposisi genetik, respons terhadap lingkungan, dan faktor perkembangan sistem saraf. Beberapa hal yang diduga dapat memicu terjadinya mutisme selektif adalah timbulnya rasa ansietas saat berpisah dengan orang tua, berada di tempat yang tidak familiar, berada di tempat yang ribut atau sibuk, ketakutan akan membuat kesalahan, pengalaman ditindas, atau kondisi sensori yang sensitif.[1,5]

Mutisme selektif berbeda dengan anak yang merasa malu. Rasa malu merupakan salah satu bentuk kepribadian dan anak biasanya tetap dapat berbicara walaupun sedikit. Ketidakmampuan berbicara pada anak yang merasa malu bersifat sementara dan akan mengalami perbaikan seiring waktu. Sementara itu, anak dengan mutisme selektif tidak dapat berbicara pada suatu kondisi dan bersifat persisten.[6]

Anak dengan mutisme selektif akan menyulitkan orang lain untuk berkomunikasi atau melakukan interaksi sosial dengan dirinya. Sebagai contoh, guru di sekolah akan sulit menilai apakah anak telah memahami hal yang diajarkan atau menilai kemampuan akademik anak.[1,2]

Anak juga tidak dapat mengajukan pertanyaan untuk hal-hal yang tidak dimengerti. Ansietas yang dialami juga dapat mengganggu konsentrasi, memori, dan kemampuan mencerna informasi. Hal-hal ini menyebabkan performa akademik anak terganggu.[1,2]

Cara Manajemen Mutisme Selektif

Mutisme selektif dapat bertahan hingga dewasa jika tidak dilakukan tata laksana yang sesuai. Mutisme selektif membutuhkan tata laksana sedini mungkin setelah diagnosis agar tidak mengganggu interaksi sosial dan performa akademik anak. Tata laksana melibatkan kombinasi dari terapi perilaku, adaptasi lingkungan, dan dukungan dari lingkungan.[1,7]

Terapi perilaku dan cognitive-behavioural therapy (CBT) merupakan salah satu bentuk tata laksana yang banyak dikembangkan pada anak dengan mutisme selektif. Terapi ini berfokus untuk memaparkan anak secara bertahap terhadap lingkungan yang membuat anak kesulitan untuk berbicara. Pengenalan lingkungan dimulai dari lingkungan dengan pemicu stres yang rendah dan bertahap naik sampai ke lingkungan dengan pemicu stres yang tinggi.[1,7]

Saat anak mampu melakukan pembicaraan apa pun, apresiasi terhadap anak perlu dilakukan agar anak termotivasi untuk melakukan pembicaraan lebih banyak. Terapi ini juga mengajarkan anak untuk mengenal dan menangani rasa cemas yang timbul serta membantu anak untuk menghilangkan pikiran negatif yang muncul saat mengalami rasa cemas.[1,7]

Dalam aplikasinya di lingkungan rumah dan sekolah, anak dapat diminta untuk bermain peran yang melibatkan bicara. Permainan peran ini dapat dilakukan di lingkungan yang sedikit orang terlebih dahulu, kemudian bisa dinaikkan secara bertahap. Pada interaksi sosial, anak juga dapat diajarkan untuk berbicara melalui permainan sederhana yang melibatkan komponen verbal. Permainan juga dapat dimulai dari permainan satu lawan satu dan dinaikkan bertahap sesuai dengan kemampuan anak.[1,2]

Dalam menatalaksana mutisme selektif, peran lingkungan menjadi sangat penting (terutama lingkungan sekolah) karena sebagian besar kondisi ini muncul ketika anak berhadapan dengan lingkungan baru di luar rumah. Pengenalan kondisi mutisme selektif kepada staf pengajar diharapkan bisa membantu anak menjalani kehidupan sekolah dengan lebih baik.[1,2,7]

Beberapa hal yang dapat dilakukan di lingkungan sekolah antara lain:

  • Menerima bentuk komunikasi nonverbal pada tahap awal untuk membuat anak lebih nyaman dengan lingkungan baru
  • Menghindari pemaksaan berbicara kepada anak atau mengapresiasi anak dengan cara yang membuat anak malu
  • Usahakan agar anak memiliki waktu pemanasan terlebih dahulu dengan berbicara satu lawan satu dengan guru sebelum memulai pelajaran
  • Buatlah kegiatan berkelompok dalam skala kecil dibandingkan melakukan aktivitas dengan seluruh anak di dalam kelas
  • Memotivasi anak untuk melakukan komunikasi verbal dalam bentuk apa pun dan mengapresiasi anak terhadap usaha yang telah dilakukan
  • Jika anak ingin berpartisipasi tetapi belum mampu untuk melakukan komunikasi verbal, siapkan beberapa alternatif komunikasi nonverbal seperti menggunakan kartu atau tanda
  • Komunikasikan kondisi yang dialami anak dengan murid lain di kelas dengan cara yang mudah dipahami dan tetap ajak anak untuk melakukan kegiatan kelas walaupun menggunakan cara yang berbeda
  • Hindari untuk berasumsi jika anak menunjukkan gestur untuk bertanya, tetap tanyakan pertanyaan kepada anak
  • Identifikasi apakah ada faktor yang mencetuskan mutisme selektif di sekolah, seperti tindakan penindasan atau pengucilan[1,2,7]

Tingkat Remisi Setelah Manajemen Mutisme Selektif

Perlu diingat bahwa penatalaksanaan ini tidak mudah dan setiap anak menunjukkan respons yang berbeda-beda. Prosesnya dapat berlangsung dalam hitungan bulan hingga tahun. Studi yang menilai hasil dari CBT menemukan bahwa dalam pemantauan selama 5 tahun, sekitar 70% anak dengan mutisme selektif memiliki remisi penuh dan 17% memiliki remisi parsial. Hal ini menunjukkan bahwa mutisme selektif bukan merupakan suatu kondisi yang persisten jika diterapi dengan adekuat.[8-10]

Faktor yang diduga meningkatkan keberhasilan CBT adalah usia anak yang lebih muda, terapi CBT yang dilakukan secara berkelompok, dan keterlibatan orang tua yang lebih baik. Sementara itu, beberapa faktor yang menurunkan tingkat keberhasilan CBT adalah usia anak yang lebih tua, gejala yang lebih berat, adanya depresi, adanya riwayat keluarga dengan mutisme selektif atau gangguan psikologis lain, dan masalah pola asuh.[8-10]

Dampak Jangka Panjang dari Mutisme Selektif

Jika tidak ditata laksana dengan baik, mutisme selektif dapat menimbulkan beberapa efek jangka panjang, terutama jika mutisme selektif disertai dengan kondisi lain. Kondisi ini dapat menetap hingga anak menjadi remaja dan dewasa. Anak akan memiliki kepercayaan diri yang rendah, memiliki persepsi negatif tentang dirinya, dan memiliki gangguan interaksi sosial.[5,11]

Dalam hubungan interpersonal, komunikasi verbal sangat berperan penting. Anak akan sulit untuk membangun dan mempertahankan hubungan pertemanan karena kurangnya komunikasi verbal. Kegagalan untuk membangun hubungan yang terus berulang akan membuat anak merasa tereksklusi dan juga rawan menjadi korban penindasan.[5,11]

Kesulitan komunikasi secara persisten juga mempersulit fungsi sosial dan membatasi kesempatan pekerjaan. Anak dengan mutisme selektif dapat mengalami performa akademik yang lebih rendah dibanding anak seusianya dan membatasi dirinya untuk melakukan kegiatan yang tidak membutuhkan komunikasi verbal, sehingga kehilangan kesempatan untuk belajar. Saat mengerjakan tugas, anak juga dapat mengalami kesulitan dan tidak dapat mengemukakan kesulitan tersebut.[11]

Adanya mutisme selektif juga dapat menjadi pemicu munculnya gangguan mental lain, seperti ansietas sosial, depresi, atau gangguan ansietas lain. Gangguan ini juga dapat muncul pada individu yang sudah mengalami remisi dari mutisme selektif dan biasanya terlihat saat anak sudah remaja atau dewasa. Hal ini biasanya ditemukan pada kelompok yang memulai CBT saat usia lebih tua atau memiliki ansietas sosial. Adanya gangguan psikososial ini dapat meningkatkan risiko penggunaan obat-obatan terlarang atau keinginan untuk bunuh diri.[5,11]

Sampai saat ini hanya sedikit sekali bukti yang menunjukkan bahwa anak dapat lepas dari mutisme selektif tanpa intervensi apa pun. Semakin lama kondisi mutisme selektif dibiarkan, maka prognosisnya juga akan semakin buruk. Untuk itu, terapi CBT harus segera dimulai segera setelah anak terdiagnosis.[11]

Kesimpulan

Tata laksana mutisme selektif pada anak perlu melibatkan kombinasi terapi perilaku, adaptasi lingkungan, dan dukungan dari lingkungan. Terapi harus melibatkan orang tua, guru, dan juga murid lain di sekolah. Prosesnya dapat berlangsung dalam hitungan bulan hingga tahun. Faktor yang diduga meningkatkan keberhasilan terapi adalah usia anak yang lebih muda, terapi CBT berkelompok, dan keterlibatan orang tua yang baik.

Jika tidak ditata laksana dengan baik, mutisme selektif dapat menetap hingga anak menjadi remaja dan dewasa. Anak akan memiliki kepercayaan diri rendah, memiliki persepsi negatif tentang dirinya, dan memiliki gangguan interaksi sosial. Jika hal ini terus berlanjut, anak akan kesulitan menjalani pendidikan di sekolah, mendapatkan pekerjaan di kemudian hari, dan mungkin mengalami gangguan mental lainnya seperti depresi. Untuk itu, terapi CBT harus segera dimulai segera setelah anak terdiagnosis.

Referensi