Kaitan IQ Orang Tua terhadap Masalah Perilaku dan Emosional Anak

Oleh :
dr. Soeklola SpKJ MSi

Belum diketahui secara pasti apakah terdapat korelasi langsung antara intelligence quotient (IQ) orang tua dengan gangguan perilaku dan emosional anak. Meski demikian, terdapat data yang mengindikasikan hubungan antara IQ maternal dengan kemampuan berbahasa dan kualitas lingkungan rumah, termasuk stimulasi kognitif yang dilakukan di rumah dan mungkin regulasi emosi.[1-3]

Kepintaran digambarkan sebagai kapasitas global seseorang untuk mampu bertindak bertujuan, berpikir rasional, dan mengatasi kendala di lingkungannya secara efektif. Secara umum, tingkat kepintaran seseorang diukur menggunakan intelligence quotient (IQ) yang dikembangkan oleh Wechsler di tahun 1950.[1]

Kaitan IQ Orang Tua terhadap Masalah Perilaku dan Emosional Anak-min

Pada subjek dewasa, nilai tes IQ yang lebih rendah telah diketahui berkaitan dengan peningkatan risiko mengalami gangguan psikiatri, terutama gangguan cemas; risiko bunuh diri; morbiditas dan penyebab mortalitas; serta gangguan fungsi sosial dan kemiskinan. Demikian pula sebaliknya, tingkat IQ normal berkaitan dengan rendahnya risiko tersebut. Pada anak, kaitan serupa juga telah dilaporkan. Anak dengan IQ rendah lebih mungkin mengalami gangguan perilaku, emosi, dan ansietas. Meski demikian, kaitan antara nilai IQ orang tua dengan luaran kesehatan mental keturunan mereka masih belum diketahui pasti.[2,4]

Heritabilitas Intelligence Quotient (IQ)

Secara genetik, sifat orang tua tidak hanya diwariskan dalam bentuk fisik saja melainkan turut mempengaruhi kemampuan kognitif, perilaku sosial, dan ranah perkembangan lain. Di lain pihak, fungsi intelektual sendiri merupakan fungsi kompleks dan dinamis yang tidak hanya dipengaruhi oleh faktor genetik.[1,5]

Genome-wide association studies (GWAS) yang tersedia sekarang, telah mengidentifikasi berbagai sekuens genome yang diwariskan terkait kecerdasan. Inti dari temuan GWAS yang ada adalah kecerdasan, termasuk di dalamnya IQ, bersifat poligenik. Hal ini tentu bisa dibilang mengonfirmasi heritabilitas dari kecerdasan. Meski demikian, IQ dan tingkat kecerdasan secara umum sangat dipengaruhi oleh banyak faktor lain, termasuk nutrisi, ada-tidaknya gangguan kesehatan selama masa pertumbuhan, serta stimulasi lingkungan yang didapat oleh seorang individu. Selain itu, heritabilitas IQ ditemukan tidak bersifat seragam di seluruh tahapan perkembangan. Bukti ilmiah yang ada mengungkapkan korelasi IQ orang tua-anak paling tinggi pada fase awal usia sekolah hingga remaja.[5,6]

Secara spesifik, dipercayai bahwa IQ maternal berkaitan erat secara genetik dengan IQ anak, serta secara langsung ikut mempengaruhi pola pengasuhan dan pembelajaran anak. IQ maternal akan mempengaruhi keterlibatan ibu dalam menciptakan aktivitas yang membantu anak untuk mendalami sebuah konsep ataupun menguasai suatu keterampilan. Kesemua faktor inilah yang kemudian berkorelasi dengan luaran fungsi kognitif, serta mungkin juga emosi dan perilaku.[3]

Pengaruh IQ Orang Tua Terhadap Perilaku dan Emosi Anak

Perkembangan emosi anak dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor lingkungan, dan pengalaman yang didapat semasa kanak. Lingkungan dan pengalaman masa kanak salah satunya dipengaruhi oleh pola asuh yang diterapkan orang tua atau pengasuh, yang diduga akan berbeda pada orang tua dengan IQ tinggi dan mereka dengan IQ yang lebih rendah.[7,8]

Emosi dikatakan stabil jika seseorang mampu mengetahui, memahami, dan menangani perasaan, serta mampu membaca maupun menghadapi perasaan orang lain dengan efektif. Selanjutnya, penguasaan emosi berhubungan langsung dengan perilaku dan karakter karena mempengaruhi cara seseorang untuk memotivasi diri, bertahan menghadapi frustasi, mengambil keputusan penting, menempatkan nalar seimbang dengan emosinya, mengendalikan dorongan hati, serta merasakan kesenangan secara sewajarnya. Tetapi, nilai IQ yang tinggi tidak selalu sebanding dengan kesiapan seseorang dalam mengolah emosinya.[7]

Di sisi lain, terdapat data yang menyebutkan bahwa masalah emosional dan perilaku lebih banyak dialami anak dengan IQ lebih rendah dengan eksternalisasi dan internalisasi masalah yang lebih tinggi. Eksternalisasi masalah pada masa kanak ditandai dengan agresi, pembangkangan, dan permusuhan. Hal ini berasal dari penurunan inhibisi perilaku, kontrol impuls yang buruk, dan hiperaktivitas. Sementara itu, internalisasi masalah pada masa kanak ditunjukkan dengan adanya gejala depresi, ansietas, penuh ketakutan, dan keluhan somatik. Anak-anak tersebut cenderung menunjukkan pengambilan keputusan yang buruk, mengalami perundungan atau menjadi korban perundungan, menunjukkan perilaku antisosial, bolos atau tidak menyukai sekolah, dan memiliki kepercayaan diri yang rendah.[2,9]

Peran IQ Orang Tua Terhadap Pola Asuh

IQ orang tua tidak secara tunggal menjadi prediktor pola pengasuhan terhadap anaknya. Studi yang ada menunjukkan bahwa orang tua dengan IQ yang lebih rendah tetap mampu melakukan pola asuh yang baik. Kualitas pengasuhan yang lebih rendah pada orang tua dengan IQ yang lebih rendah berkaitan dengan pengaruh kekerasan masa kanak, gangguan fisik, gangguan mental, pendapatan rendah, dan dukungan sosial yang rendah. Sejalan dengan pernyataan itu, orang tua dengan IQ rendah lebih berisiko mengalami kesulitan finansial yang secara tidak langsung mempengaruhi kualitas pengasuhannya.[10]

Peran Locus of Control (LOC) Terhadap Pola Asuh

Interpretasi orang tua terhadap perilaku dan emosi anaknya, dipengaruhi oleh kontrol terhadap locus of control (LOC). Kontrol LOC sendiri saling berkaitan dengan IQ seseorang dan LOC maternal dikatakan turut mempengaruhi luaran IQ anak.[1,11]

Konsep LOC diartikan sebagai besaran kontrol internal dibandingkan eksternal terhadap luaran perilaku seseorang. Kontrol ini berisi derajat pemahaman bahwa kontrol kekuatan berasal dari internal (karakteristik personal) atau dikontrol kekuatan eksternal (misalnya kesempatan, keberuntungan, takdir atau faktor tidak terduga lainnya).[1]

Pengenalan LOC selanjutnya akan mempengaruhi bagaimana orang tua:

  • Memahami secara akurat situasi yang ia hadapi
  • Mengembangkan interpretasi dan ekspektasi dari sebuah masalah
  • Mengintegrasikan seluruh informasi yang relevan, termasuk dalam memilih strategi pendisiplinan atau pengasuhan
  • Mengevaluasi implementasi pola pengasuhan[11]

Peran Pola Asuh Terhadap Gangguan Emosi dan Perilaku Anak

Hubungan trait gangguan emosi dan perilaku anak dengan pola asuh masih belum sepenuhnya diketahui. Namun, pola asuh orang tua dikatakan berperan terhadap luaran perilaku seorang anak walaupun bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi.

Pola asuh yang dingin, inkonsisten, reaksi negatif terhadap keterbukaan anak, rendahnya umpan balik positif, dan penuh kritik dikatakan sebagai pola asuh yang berkaitan dengan peningkatan terjadinya trait psikopatik pada anak.[8]

Bukti Ilmiah Kaitan IQ Orang Tua dengan Gangguan Emosi dan Perilaku Anak

Dalam sebuah kohort yang melibatkan 4287 pasangan anak dan orang tua di Inggris Raya, Whitley et al berusaha mengevaluasi hubungan antara IQ maternal dan paternal terhadap skor perilaku dan emosi keturunan mereka. Studi ini menggunakan Behavioral Problems Index untuk sampel anak usia 4-6 tahun dan skala Rutter A untuk anak berusia di atas 7 tahun. Kohort ini mengindikasikan adanya hubungan antara IQ orang tua yang lebih rendah dengan peningkatan risiko anaknya mengalami gangguan perilaku dan emosi. Meski demikian, peneliti menduga bahwa hubungan yang ditunjukan dalam studi tersebut mungkin dipengaruhi oleh lingkungan rumah, malaise parental, dan IQ anak.[4]

Kesimpulan

Temuan genome-wide association studies (GWAS) mengindikasikan bahwa kecerdasan, termasuk di dalamnya intelligence quotient (IQ), adalah suatu hal yang diwariskan. Meski demikian, pola pewarisan ini tidak serta merta mempengaruhi aspek perilaku dan emosi anak. Banyak faktor lain yang berperan, termasuk di dalamnya pola asuh, nutrisi, serta kondisi medis anak selama pertumbuhan dan perkembangan. Oleh karenanya, hingga kini masih sulit untuk membuktikan adanya kaitan langsung antara IQ orang tua dengan kualitas kendali emosi dan perilaku anak. Bukti ilmiah yang tersedia memiliki keterbatasan karena sulitnya mengendalikan faktor perancu yang dapat mempengaruhi luaran perilaku dan emosi anak. Meski begitu, sebuah kohort di Inggris Raya mengindikasikan bahwa IQ orang tua yang lebih rendah berhubungan dengan peningkatan risiko anak mengalami gangguan perilaku dan emosi.

Referensi