Simulasi Digital Rekonstruksi Bibir Sumbing

Oleh :
dr. Johannes Albert B. SpBP-RE

Simulasi digital untuk pelatihan rekonstruksi bibir sumbing merupakan alternatif yang menarik dalam proses pendidikan peserta didik. Akan tetapi, karena keterbatasan bukti ilmiah dan akses fasilitas, simulasi digital ini masih belum banyak digunakan sebagai metode pembelajaran residen bedah.[1]

Metode pembelajaran klasik residen bedah seperti yang diungkapkan Halsted, yaitu “see one, do one, and teach one” yang menitikberatkan pada apprenticeship, saat ini tidak dapat dilakukan seperti pada masa lalu.

stimulasi digital, rekonstruksi bibir sumbing, teknologi untuk latihan rekonstruksi bibir sumbing, stimulasi digital untuk rekonstruksi bibir sumbing, bibir sumbing, alomedika

Penyebabnya adalah keterbatasan waktu pendidikan, rasio jumlah kasus dengan peserta didik, hingga masalah etik, dan regulasi patient safety. Oleh karena itu, dibutuhkan alat bantu dan metode pembelajaran alternatif untuk meningkatkan keterampilan residen bedah.[1]

Prosedur rekonstruksi bibir sumbing (labioplasti/cheiloplasty) merupakan salah satu core skill yang wajib dikuasai oleh residen bedah plastik. Kemampuan prosedural ini secara klasik diturunkan kepada peserta didik melalui kegiatan observasi, asistensi, hingga tindakan pembedahan di bawah pengawasan dokter spesialis penanggung jawab pasien.

Salah satu metode yang dikembangkan untuk mengatasi keterbatasan yang telah disebutkan di atas adalah dengan menggunakan simulasi digital rekonstruksi bibir sumbing dalam proses pendidikan residen bedah plastik.[1,2]

Keunggulan Metode Simulasi Digital pada Rekonstruksi Bibir Sumbing

Beberapa tahun terakhir ini telah diciptakan simulator digital dalam metode pembelajaran tindakan pembedahan. Schendel et.al. menciptakan simulator digital yang bertujuan untuk melatih residen bedah plastik dalam rekonstruksi bibir sumbing.[3]

Keunggulan dan Kekurangan Simulator Digital

Simulator tersebut dapat digunakan untuk melatih penandaan desain insisi dan landmark anatomis, simulasi proses insisi jaringan dan kondisi anatomis, serta anatomi bibir pasca labioplasti.

Alat tersebut juga dilengkapi dengan teknologi haptic, yang memberikan gaya tahan saat mengerjakan prosedur tindakan, sehingga simulator terasa lebih nyata. Penelitian ini membuktikan penggunaan simulator digital meningkatan akurasi dan kecepatan penandaan desain insisi yang signifikan seiring dengan semakin banyaknya repetisi latihan.[3,5]

Akan tetapi, kekurangan utama model simulator digital ini adalah kualitas grafis yang belum terlalu memuaskan bila dibandingkan dengan kondisi nyata pada pasien. Kekurangan ini akan menghambat proses pengenalan landmark anatomis secara akurat ketika kita akan mengaplikasikan proses pembelajaran pada kasus nyata.[3,5]

The Smile Train Virtual Surgery Simulator

Simulator digital lain yang dapat diakses secara bebas oleh praktisi medis adalah “The Smile Train Virtual Surgery Simulator”. Simulator ini memiliki tampilan grafis yang lebih baik dibandingkan simulator digital sebelumnya, menyediakan fitur pembelajaran berupa video yang dilengkapi narasi dan model virtual 3 dimensi, serta fitur post–test untuk mengevaluasi pemahaman terhadap teori dasar.[2]

Narasi audio disertai animasi virtual 3 dimensi mempermudah memahami prosedur rekonstruksi bibir sumbing dengan lebih baik. Di samping itu, animasi 3 dimensi yang disediakan secara detik menyerupai kondisi nyata pada tindakan operasi yang sesungguhnya.

Simulator ini juga menyediakan video operasi nyata, sehingga pengguna lebih mudah mengkorelasikan pemahaman yang di dapatkan dengan kondisi sesungguhnya saat tindakan operasi.[2,6]

Kekurangan simulator digital ini dibandingkan simulator digital Schendel et al adalah pengguna tidak dapat berlatih secara aktif untuk menggambar desain insisi atau melakukan simulasi tindakan insisi.

Hal ini menyebabkan simulator virtual Smile Train memberikan pengalaman belajar yang lebih dominan pada peningkatan pengetahuan melalui sarana audio dan visual. Sedangkan, pembelajaran di bidang skill hanya sebatas peningkatan pemahaman mengenai tahapan operasi, karena tidak adanya proses pembelajaran yang bersifat kinestetik.[2,3,6]

Hal ini didukung studi oleh Plana et al, yang menunjukkan bahwa metode pembelajaran menggunakan simulasi virtual tersebut menghasilkan peningkatan performa yang lebih baik dibandingkan dengan textbook. Hasil penelitian menunjukkan mahasiswa kedokteran yang melakukan simulasi digital lebih baik dalam menggambar penandaan desain insisi bibir sumbing.

Akan tetapi, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menyimpulkan bahwa sistem pembelajaran menggunakan simulasi digital lebih baik atau sebanding dengan pengalaman belajar pada kasus yang nyata.[2]

Selain itu, perlu juga dilakukan penelitian ilmiah untuk membandingkan metode pembelajaran menggunakan simulator virtual dengan metode baku yang saat ini digunakan, yaitu kegiatan observasi, asistensi, dan melakukan prosedur di bawah supervisi pengajar yang berkompeten.[2,3,6]

Keterbatasan Simulasi Digital dan Metode Pembelajaran Alternatif Lain

Metode pembelajaran menggunakan simulasi digital yang ada saat ini masih memiliki kekurangan, salah satunya adalah tidak adanya feedback taktil. Fitur ini merupakan salah satu komponen penting pada operasi labioplasti, karena berguna dalam proses pengenalan jaringan dan penilaian ada tidaknya tension yang berlebih pada saat menjahit otot orbicularis oris dan jaringan–jaringan lainnya.

Kegagalan untuk mengidentifikasi diseksi yang kurang adekuat dan adanya tension yang berlebih pada jaringan dapat menyebabkan komplikasi atau hasil operasi yang tidak optimal.[4,6]

Hal inilah yang membedakan simulasi digital untuk pembelajaran tindakan labioplasti dengan simulasi digital lainnya yang sudah well-established, seperti simulasi digital laparoskopi atau endoskopi. Tidak adanya feedback taktil tidak menjadi hambatan yang berarti, karena prosedur nyata pada tindakan–tindakan tersebut sebagian besar bergantung pada feedback visual.[4,6]

Metode pembelajaran yang dapat mengatasi kekurangan ini adalah dengan menggunakan model artifisial 3 dimensi. Model artifisial ini menyerupai model mannequin yang umum digunakan untuk melatih berbagai prosedur di bidang kedokteran.

Salah satu model 3 dimensi yang telah diciptakan untuk keperluan ini adalah simulator 3 dimensi yang dikembangkan oleh Boston’s Children Hospital. Model 3 dimensi tersebut dibuat semirip mungkin dengan jaringan asli dalam hal tampilan visual dan konsistensi bahannya.[4]

Media pembelajaran menggunakan model simulator 3 dimensi ini dapat memberikan pembelajaran skill yang sangat baik. Akan tetapi, model ini lebih mahal, ketersediaannya lebih terbatas, dan lebih sulit didapatkan dibandingkan dengan metode simulator digital. Selain itu, model ini hanya dapat digunakan untuk satu kali prosedur pelatihan sehingga kurang baik dari segi efektivitas biaya.[4,6]

Masa Depan Simulator Digital dalam Pendidikan Kedokteran

Kemajuan teknologi di masa depan akan berdampak besar pada perkembangan simulator digital ini. Teknologi virtual reality (VR) dan augmented reality (AR) telah mulai diterapkan dalam praktik klinik pada beberapa prosedur operasi bedah plastik, seperti tindakan operasi kraniofasial dan simulasi rekonstruksi.[1]

Dengan tersedianya teknologi tersebut, simulasi digital untuk berbagai pelatihan prosedur operasi dapat memberikan pengalaman yang semakin mendekati situasi nyata.

Peningkatan kualitas dalam pelatihan prosedur kedokteran menggunakan simulator digital ini, diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan medis bagi pasien. Simulator digital juga dapat memberikan akses yang seluas–luasnya bagi dokter untuk meningkatkan dan mengasah kemampuannya.[1,4,6]

Kesimpulan

Simulasi digital untuk pembelajaran skill rekonstruksi bibir sumbing merupakan alternatif yang menarik dan sesuai dengan kebutuhan proses pendidikan spesialis bedah plastik saat ini.

Seiring dengan kemajuan teknologi, simulasi ini diharapkan dapat menjadi semakin baik dan mendekati pengalaman belajar melalui tindakan operasi yang nyata, sehingga dapat sangat bermanfaat bagi pasien, peserta didik, dan institusi pendidikan.

 

 

Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli

Referensi