Intervensi Pembedahan Dini pada Bell’s Palsy

Oleh :
dr. Evlyne Erlyana Suryawijaya, M.Biomed, Sp.S

Beberapa ahli menyarankan tindakan dekompresi bedah saraf dalam tata laksana Bell’s palsy segera setelah awitan gejala. Hal ini karena patofisiologi Bell’s palsy yang diduga berkaitan dengan pembengkakan dan jebakan saraf fasialis, sehingga dekompresi bedah diharapkan dapat menghilangkan paralisis unilateral yang terjadi.[1,2]

Kendala dalam Terapi Bell’s Palsy

Bell’s palsy merupakan penyebab paling umum dari kelumpuhan saraf wajah unilateral. Meskipun sebagian besar pasien Bell's palsy pulih dari disfungsi saraf fungsional, 30% pasien dilaporkan mengalami pemulihan yang inkomplit yang dapat menyebabkan gangguan estetika, psikologis, dan sosial.

pembedahandinibellspalsy

Saat ini, terapi inisial yang umum digunakan dalam tata laksana Bell’s palsy adalah kortikosteroid sistemik dosis tinggi, yang terkadang dikombinasikan dengan obat antivirus. Meski begitu, studi telah menunjukkan adanya pasien yang mengalami pemulihan inkomplit atau bahkan tidak pulih sama sekali meskipun telah mendapat terapi prednisolone dan obat antiviral seperti valganciclovir.

Pilihan terapi lain adalah pembedahan berupa dekompresi saraf fasialis. Namun, hasil dari tindakan ini dilaporkan bervariasi, tergantung kapan dilakukannya tindakan, bagaimana pendekatan pembedahan yang digunakan, serta faktor penyerta pada masing-masing pasien.[1,3-5]

Efikasi Tindakan Bedah dalam Tata Laksana Bell’s Palsy

Sebuah meta analisis oleh Lee et al mengevaluasi data dari 7 studi dengan total 381 pasien yang mengalami palsi fasialis berat (skor House Brackmann V dan VI). Studi ini menilai tentang perbaikan fungsi saraf fasialis setelah menjalani dekompresi saraf fasialis dibandingkan dengan terapi konservatif.[5]

Dalam pooled analysis, ditemukan bahwa pemulihan komplit lebih tinggi secara bermakna pada kelompok dekompresi saraf fasialis dibandingkan kontrol (odds ratio 2,06). Namun, angka pemulihan sebagian ataupun kegagalan pemulihan ditemukan tidak berbeda bermakna antara kedua kelompok. Oleh karenanya, peneliti menyimpulkan bahwa dekompresi saraf fasialis dapat menjadi opsi tata laksana yang efektif pada pasien dengan Bell’s palsy.[5]

Meski begitu, perlu diketahui bahwa kebanyakan pasien yang diikutkan dalam studi ini juga mendapat medikamentosa kortikosteroid dengan/tanpa terapi antiviral. Medikamentosa diberikan sebelum ataupun setelah pembedahan, dan tidak dilakukan kontrol.[5]

Tinjauan Cochrane yang dipublikasikan pada tahun 2021 menemukan hasil yang sedikit berbeda. Dalam tinjauan ini, peneliti mengevaluasi data dari satu uji klinis acak terkontrol (RCT) dan satu quasi-RCT. Studi pertama melakukan randomisasi 25 partisipan dalam kelompok bedah dan non bedah, tetapi 1 partisipan menolak pembedahan sehingga tersisa 24 partisipan saja. Studi kedua melakukan quasi-randomisasi pada 41 partisipan yang dibagi menjadi kelompok pembedahan dini, pembedahan lama, atau non-bedah.[2]

Meski demikian, kedua studi yang diikutkan dalam analisis memiliki risiko bias yang tinggi. Kedua studi tidak menyebutkan apakah dilakukan upaya untuk menyamarkan alokasi. Selain itu, partisipan dan evaluator tidak menjalani penyamaran terhadap intervensi yang diberikan.[2]

Dalam tinjauan ini, ahli bedah dalam studi yang dianalisis menggunakan pendekatan retroaurikular/transmastoid untuk melakukan dekompresi saraf fasialis. Dari hasil analisis, peneliti Cochrane menyimpulkan bahwa bukti yang tersedia belum cukup untuk menentukan apakah intervensi bedah bermanfaat atau berisiko bagi pasien dengan Bell’s palsy.[2]

Rekomendasi Tata Laksana Bell’s Palsy Menurut Panduan Klinis

Menurut American Academy of Neurology (AAN) dan American Academy of Otolaryngology Head and Neck Surgery (AAO-HNSF), terapi lini pertama yang disarankan dalam kasus Bell’s palsy adalah pemberian steroid oral dalam 72 jam setelah awitan. Antivirus dapat digunakan sebagai terapi kombinasi dengan steroid, tetapi tidak disarankan digunakan sebagai monoterapi.

Sementara itu, untuk terapi dekompresi bedah saraf fasialis, pedoman tata laksana menyatakan bahwa belum ada bukti ilmiah yang cukup untuk membuat rekomendasi terkait dekompresi bedah.[4,6]

Secara umum, dekompresi saraf fasialis membawa risiko dari tindakan bedah, seperti perdarahan dan infeksi, serta risiko dari tindakan anestesi. Selain itu, terdapat beberapa komplikasi yang telah dilaporkan, di antaranya gangguan pendengaran, tinnitus, dan kehilangan kontrol produksi air mata.[2,7]

Dekompresi saraf fasialis mungkin akan bermanfaat pada pasien dengan Bell’s palsy komplit yang tidak berespon terhadap medikamentosa dan memiliki lebih dari 90% degenerasi akson. Degenerasi akson ini dinilai menggunakan elektromiografi saraf fasialis dalam 3 minggu awitan paralisis.[6,8]

Kesimpulan

Dekompresi saraf fasialis diharapkan dapat menghilangkan paralisis unilateral akibat pembengkakan dan jebakan saraf fasialis yang ada pada Bell’s palsy. Meski demikian, studi yang tersedia saat ini belum cukup untuk menyarankan ataupun menentang penggunaannya dalam terapi Bell’s palsy. Selain itu, belum diketahui jelas kapan waktu yang terbaik untuk melakukan pembedahan dan tingkat keparahan seperti apa yang akan mendapat manfaat paling banyak dari dekompresi saraf. Studi lebih lanjut dengan desain yang lebih baik masih diperlukan.

Referensi