Cegah Overdiagnosis pada Pasien Bronkiolitis

Oleh :
dr. Hunied Kautsar

Studi menunjukkan overdiagnosis dapat terjadi pada pasien bronkiolitis. Hal ini disebabkan karena 2 hal, yaitu keterbatasan pulse oximetry untuk menentukan tingkat keparahan bronkiolitis dan ambang batas saturasi oksigen yang terlalu tinggi.

Pulse oximetry adalah salah satu alat dan metode noninvasif untuk mengukur tingkat saturasi oksigen dan sudah digunakan secara massal di dunia medis sejak sekitar tahun 1980. Penggunaan pulse oximetry untuk mengukur kadar oksigenasi mendapat julukan "tanda vital kelima", di samping tekanan darah, nadi, respirasi dan suhu, dan menjadi standar metode pengukuran oksigenasi noninvasif.

Sumber: J Heilman, Wikimedia commons. Sumber: J Heilman, Wikimedia commons.

Hasil pengukuran tingkat saturasi oksigen dengan pulse oximetry juga merupakan salah satu pertimbangan dalam tata laksana pasien bronkiolitis, terutama pada anak-anak. Padahal, penggunaan pulse oximetry dengan tidak tepat dapat menyebabkan risiko terjadinya overdiagnosis.[1]

Pulse Oximetry dan Overdiagnosis Bronkiolitis

Bronkiolitis adalah penyakit infeksi saluran pernafasan bawah yang disebabkan oleh infeksi virus yang sering terjadi pada anak-anak di bawah usia 2 tahun. Penyebab tersering bronkiolitis adalah respiratory syncytial virus (RSV). Dalam tahun pertama kehidupan, insidensi bronkiolitis dilaporkan sebesar 11–15%.[2]

Gejala awal bronkiolitis mungkin tidak tampak jelas, karena terutama menyerang bayi. Biasanya, bayi menjadi lebih rewel dan sulit menyusu atau makan, terutama saat masa inkubasi hari ke-2 sampai hari ke-5. Selain itu dapat ditemukan demam yang tidak begitu tinggi suhunya, batuk, dan hidung tersumbat. Hidung tersumbat menyebabkan kesulitan bernafas sehingga timbul wheezing saat bayi menghembuskan nafas.[3]

Diagnosis bronkiolitis dibuat berdasarkan usia, takipnea, dan adanya hidung tersumbat. Pada auskultasi, dapat ditemukan suara nafas rales, wheezing, atau kedua-duanya. Gejala hipoksia, dianggap sebagai penanda perburukan penyakit ini. Hipoksia dapat ditandai dengan takipnea, yaitu frekuensi napas di atas 50 kali/menit.[3]

Pulse oximetry kerap digunakan untuk mengevaluasi gejala pasien. Namun, definisi hipoksemia pada kasus bronkiolitis masih beragam. Berdasarkan pedoman American Academy of Pediatrics (AAP), ambang batas saturasi oksigen pada bronkiolitis adalah 90%. Sedangkan UK National Institute for Health and Care Excellence (NICE) memberikan rekomendasi ambang batas saturasi oksigen untuk kasus bronkiolitis sebesar 92%.[1]

Overdiagnosis Bronkiolitis

Overdiagnosis suatu penyakit didefinisikan sebagai identifikasi dari abnormalitas, tetapi deteksi dari anomali tersebut tidak mendatangkan manfaat bagi pasien. Kasus rawat inap akibat bronkiolitis meningkat hampir tiga kali lipat, sejak sekitar tahun 1980, bersamaan dengan penggunaan pulse oximetry secara massal di dunia medis.

Namun, derajat keparahan dan tingkat mortalitas dari bronkiolitis tidak berubah selama periode tersebut. Hal ini menunjukkan kemungkinan anak dengan gejala bronkiolitis yang tidak berat menjadi lebih sering dirawat. Overdiagnosis hipoksemia merupakan penyebab terjadinya peningkatan angka rawat inap pasien bronkiolitis.

Ambang batas konsentrasi oksigen yang lebih rendah untuk penentuan tata laksana mungkin berhubungan dengan luaran yang lebih baik, misalnya masa rawat inap yang lebih singkat, dan tidak berefek membahayakan. Pada pasien dengan bronkiolitis yang stabil, indikasi rawat dan penanganan pasien sebaiknya didasarkan bukan pada kondisi hipoksemia yang ditunjukkan oleh pulse oximetry. Namun, berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien.[1,4]

Bukti Klinis Penggunaan Pulse Oximetry pada Bronkiolitis

Penggunaan pulse oximetry secara tidak tepat pada bronkiolitis berpotensi merugikan pasien. Hal ini terutama berhubungan dengan target saturasi oksigen yang terlalu tinggi, dan pemantauan yang dilakukan secara terus-menerus.

Target Saturasi Oksigen yang Terlampau Tinggi

The Bronchiolitis of Infancy Discharge Study (BIDS) pada tahun 2015 dilakukan terhadap 615 bayi berusia 6 minggu–12 bulan yang menjalani rawat inap karena bronkiolitis. Ambang batas saturasi oksigen yang dipakai dalam penelitian ini adalah 94%. Jika pulse oximeter menampilkan nilai saturasi oksigen <94%, maka bayi dinilai mengalami hipoksemia dan akan diberikan suplementasi oksigen.[5]

Secara acak, bayi-bayi tersebut dibagi kedalam dua kelompok, yakni kelompok pertama yang mendapat pengukuran saturasi oksigen dengan menggunakan pulse oximeter standar dan kelompok kedua yang mendapat pengukuran saturasi oksigen dengan pulse oximeter yang sudah dimodifikasi.[5]

Modifikasi yang dilakukan terhadap pulse oximeter yang digunakan oleh kelompok kedua adalah angka saturasi oksigen yang ditampilkan tidak sesuai dengan nilai aslinya. Pada pulse oximeter yang sudah dimodifikasi, angka saturasi 94% memiliki nilai asli 90%. Oleh karena itu pada kelompok kedua, sesungguhnya suplementasi oksigen baru akan diberikan ketika saturasi oksigen mencapai <90%.[5]

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan dari durasi batuk, kebutuhan perawatan intensif dan kebutuhan rawat inap ulang pada kedua kelompok. Durasi pemakaian suplementasi oksigen dan waktu pemulangan pada kelompok ambang 90% lebih singkat sebanyak 22 jam dan 10 jam. Dapat disimpulkan, pemberian suplementasi oksigen yang mengacu pada ambang batas <90% memiliki tingkat keamanan yang sama dengan ambang batas <94%.[5]

Studi oleh Hasselt, et al. pada tahun 2020 membandingkan beberapa fasilitas kesehatan yang menggunakan ambang batas saturasi oksigen sebesar 90% versus 92%, untuk menentukan rawat inap bagi bronkiolitis. Peserta studi adalah 320 pasien dengan rentang usia 6 minggu hingga 1 tahun, yang memiliki diagnosis bronkiolitis.[6]

Hasil mendapatkan pada 80% pasien, alasan rawat inap disebabkan karena asupan makanan yang tidak cukup. Hanya 20 pasien yang dirawat karena saturasi yang rendah. Median waktu rawat inap pada fasilitas kesehatan yang menggunakan ambang batas 90% adalah 41 jam, sedangkan pada fasilitas kesehatan dengan ambang batas 92%, median waktu rawat inap adalah 59 jam.[6]

Berdasarkan studi tersebut, dapat disimpulkan bahwa menurunkan ambang batas oksigen dari 92% menjadi 90% berhubungan dengan masa rawat inap yang lebih singkat. Penurunan durasi masa rawat pada studi ini serupa dengan temuan pada BIDS, sehingga menguatkan bukti bahwa kebutuhan oksigen merupakan faktor penentu lama masa rawat inap pada bronkiolitis.[6]

Sebuah single-arm intervention trial oleh Nagakura, et al. pada tahun 2022 meneliti target saturasi oksigen pada 248 pasien rawat inap pediatrik dengan penyakit saluran pernapasan, antara lain bronkiolitis, bronkitis, pneumonia, dan asma.[7]

Intervensi yang diberikan adalah dengan menurunkan target saturasi oksigen dari 94% menjadi 90% pada pasien yang kondisi umumnya telah membaik. Hasil studi mendapatkan, pada pasien dengan keadaan umum yang sudah membaik, penggunaan target oksigen sebesar 90% aman untuk dilakukan.[7]

Pemantauan Oksigen Secara Terus Menerus atau Intermittent

Pada tahun 2015, sebuah RCT dilakukan oleh McCulloh, et al. untuk menilai efek pemantauan pulse oximetry secara intermittent atau terus-menerus terhadap lama masa rawat. Subjek penelitian adalah 449 bayi dan anak-anak dengan bronkiolitis yang tidak hipoksemia, dengan saturasi oksigen di atas 90%.[8]

Hasil penelitian mendapatkan bahwa pemantauan pulse oximetry secara intermittent dan terus-menerus tidak menghasilkan lama masa rawat yang berbeda. Pemantauan intermittent juga tidak berhubungan dengan peningkatan transfer ke intensive care unit (ICU) dan durasi suplementasi oksigen. Pemantauan pulse oximetry secara intermittent dapat dipertimbangkan pada kasus bronkiolitis yang telat menunjukkan perbaikan.[8]

Sebuah RCT pada tahun 2019 oleh Mahant, et al. dilakukan terhadap 229 bayi usia 4 minggu hingga 23 bulan yang dirawat karena bronkiolitis, baik dengan maupun tanpa suplementasi oksigen. Uji klinis ini membandingkan pemantauan dengan pulse oximetry secara intermittent, yaitu setiap 4 jam, atau pemantauan terus-menerus. Target saturasi oksigen yang digunakan adalah 90%.[9]

Hasil RCT mendapatkan bahwa durasi rawat inap dan keamanan/safety pasien adalah serupa antara kelompok pemantauan intermittent dan terus-menerus. Kepuasan tenaga perawat didapatkan lebih besar pada pemantauan intermittent. Temuan tersebut mendukung pemantauan dengan pulse oximetry yang lebih tidak intensif, terutama pada pasien dengan keadaan stabil.[9]

Kerugian yang Ditimbulkan Akibat Overdiagnosis Kondisi Hipoksemia pada Pasien Bronkiolitis

Overdiagnosis kondisi hipoksemia pada pasien bronkiolitis yang stabil berakibat pada meningkatnya angka kasus rawat inap yang sesungguhnya tidak diperlukan. Rawat inap tidak hanya membutuhkan biaya yang lebih besar, tetapi juga diasosiasikan dengan angka kejadian tidak diharapkan (adverse event) yang cukup tinggi yakni sebesar 10 dari 100 kasus rawat inap.[10,11]

Kejadian yang tidak diharapkan dapat berupa infeksi nosokomial, seperti infeksi saluran kemih atau infeksi saluran pencernaan.[12]

Selain itu, tidak terdapat terdapat bukti klinis bahwa penggunaan pulse oximetry secara terus-menerus berhubungan dengan berkurangnya masa rawat inap. Pemantauan terus-menerus dihubungkan dengan peningkatan biaya kesehatan, yang menyebabkan kerugian pada pasien. Namun, masih sedikit data kontekstual yang diketahui mengenai penggunaan pulse oximetry secara terus-menerus.[8,11]

Studi potong lintang oleh Bonafide, et al. pada tahun 2020 mempelajari prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan penggunaan pulse oximetry secara terus-menerus pada 49 rumah sakit. Hasilnya, sebanyak 46% kasus bronkiolitis mendapatkan pemantauan secara terus-menerus dengan pulse oximetry .

Faktor yang berhubungan dengan pemantauan pulse oximetry secara terus-menerus, antara lain usia yang lebih muda, terutama jika disertai dengan riwayat kelahiran preterm, waktu yang lebih singkat sejak penghentian suplementasi oksigen, adanya apnea atau sianosis, penggunaan selang makanan, dan pemantauan pada malam hari.[13]

Pemantauan dengan pulse oximetry secara terus-menerus memberikan rasa aman (reassurance), terutama bagi orang tua pasien. Namun, sebenarnya tidak berkontribusi terhadap luaran klinis.[11]

Kesimpulan

Penggunaan pulse oximetry untuk mengukur saturasi oksigen diasosiasikan dengan overdiagnosis kondisi hipoksemia pada pasien bronkiolitis stabil. Overdiagnosis kondisi hipoksemia pada pasien bronkiolitis stabil berakibat pada peningkatan jumlah kasus, serta durasi rawat inap. Sebaiknya, keputusan untuk merawat dan menangani pasien tidak didasarkan pada hasil pulse oximetry, tetapi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik pasien.

Target saturasi oksigen pada pasien bronkiolitis yang dirawat inap sebaiknya diturunkan menjadi 90% dan pengukurannya dilakukan secara intermitten. Target saturasi oksigen yang lebih tinggi, yaitu di atas 94%, dan pengukuran saturasi oksigen secara terus-menerus mengakibatkan peningkatan suplementasi oksigen yang berujung pada masa rawat yang lebih panjang dan meningkatnya biaya perawatan, tanpa memperbaiki luaran klinis pasien.

Pemantauan pulse oximetry yang dilakukan secara terus-menerus mungkin memberikan rasa aman bagi orang tua pasien, tetapi tidak terbukti bermanfaat secara klinis. Hal tersebut mengakibatkan penurunan kualitas pelayanan kesehatan, serta tidak cost-effective.

 

 

Direvisi oleh: dr. Livia Saputra

Referensi