Pilihan Metode Terbaik untuk Reduksi Subluksasi Kaput Radius

Oleh :
Sunita

Terdapat dua metode sederhana yang dapat dilakukan untuk mereduksi subluksasi kaput radius atau kondisi yang sering juga dikenal sebagai pulled elbow atau nursemaid elbow. Kedua metode reduksi tersebut adalah metode supinasi-fleksi dan metode hiperpronasi. Perdebatan mengenai metode mana yang terbaik masih sering terjadi.

Dislokasi ekstremitas atas yang paling sering terjadi pada anak, terutama pada anak yang berusia kurang dari 6 tahun, adalah subluksasi kaput radius. Subluksasi ini terjadi ketika kepala tulang radius (caput radii) bergeser keluar dari ligamen anular siku (ligamentum anulare radii) dan capitellum tulang humerus distal. Hal ini disebabkan oleh tarikan paksa longitudinal yang terjadi secara mendadak pada tangan saat lengan bawah berada dalam posisi pronasi dan siku berada dalam posisi ekstensi.[1,2]

Depositphotos_46855871_original_leungchopan_compressed

Metode supinasi-fleksi (SF) maupun metode hiperpronasi atau pronasi paksa (PR) sama-sama bertujuan untuk mengembalikan posisi caput radii dan ligamen anular siku sehingga fungsi lengan kembali normal dan nyeri berkurang.

Metode Supinasi-fleksi (SF)

Metode ini diawali dengan lengan pasien berada dalam posisi pronasi dan siku pasien berada dalam posisi fleksi 90 derajat. Dokter memegang siku pasien dengan salah satu tangan kemudian melakukan supinasi pergelangan tangan pasien dengan tangan yang lain. Lalu, siku pasien difleksikan secara sempurna oleh dokter. Reduksi dianggap berhasil ketika ada “klik” yang teraba atau terdengar pada caput radii saat lengan berada dalam posisi fleksi sempurna.[2]

Metode Pronasi Paksa atau Hiperpronasi (PR)

Metode ini diawali dengan siku pasien berada dalam posisi fleksi 90 derajat dan salah satu tangan dokter memegang siku tersebut. Kemudian, dengan menggunakan tangan yang lain, dokter melakukan hiperpronasi pada pergelangan tangan pasien. Reduksi dianggap berhasil bila ada “klik” yang teraba atau terdengar pada caput radii saat lengan dalam posisi hiperpronasi.[2]

Studi Klinis Acak terkait Metode Reduksi Subluksasi Kaput Radius

Ulici et al melakukan studi acak prospektif pada 116 pasien anak-anak dengan pulled elbow pada tahun 2016–2017. Studi ini menunjukkan bahwa metode hiperpronasi memiliki angka keberhasilan lebih tinggi daripada metode supinasi-fleksi, baik pada percobaan pertama (85% vs. 53%), percobaan kedua (50% vs. 28%) maupun pada pergantian metode saat metode supinasi-fleksi gagal.[1]

Dalam studi klinis acak lainnya oleh Bek et al, metode hiperpronasi juga dikaitkan dengan tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam percobaan pertama dibandingkan metode supinasi-fleksi (94% vs 69%). Selain itu, para dokter dalam penelitian ini secara subjektif menganggap metode hiperpronasi lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan metode supinasi-fleksi.[3]

Studi prospektif acak lain yang dilakukan pada 115 anak dengan subluksasi kaput radius juga menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan metode hiperpronasi dalam mengembalikan posisi sendi siku pada percobaan pertama lebih tinggi daripada metode supinasi-fleksi (93,84% vs 80%).[4]

Tinjauan Sistematis terkait Metode Reduksi Subluksasi Kaput Radius

Tinjauan sistematis dan meta analisis oleh Bexkens et al terhadap 7 studi klinis acak dengan total 701 subjek menunjukkan bahwa teknik hiperpronasi lebih efektif pada percobaan pertama dibandingkan teknik supinasi-fleksi. Studi ini juga menunjukkan bahwa untuk setiap 4 anak yang mendapat terapi hiperpronasi pada kasus subluksasi kaput radius, terdapat 1 kegagalan reduksi manual pada percobaan pertama yang dapat dicegah.[5]

Studi Krul et al terhadap 8 uji klinis acak maupun semiacak pada 811 anak berusia di bawah 7 tahun juga menunjukkan bahwa teknik hiperpronasi memiliki tingkat kegagalan pada percobaan pertama yang lebih rendah. Berdasarkan perbedaan risiko absolut pada studi Krul et al, didapatkan bahwa 1 kegagalan pada percobaan pertama reduksi subluksasi kaput radius dapat dicegah bila terdapat 6 anak yang mendapat terapi hiperpronasi. Namun, estimasi ini didasarkan pada hasil analisis terhadap delapan uji klinis dengan tingkat bukti yang lemah (low-quality evidence).[6]

Keterbatasan Studi yang Ada

Studi-studi yang membandingkan metode supinasi-fleksi dan hiperpronasi masih belum menganalisis outcome sekunder kedua metode tersebut, seperti skala nyeri, jumlah pengulangan metode reduksi manual, efek samping, dan rekurensi subluksasi kaput radius. Oleh karena itu, metode mana yang menyebabkan nyeri lebih ringan dan rekurensi lebih rendah belum dapat dipastikan.

Terdapat variasi interpretasi skala nyeri yang dialami oleh pasien pada kedua metode reduksi. Hal ini disebabkan oleh tidak adanya blinding terhadap pemeriksa level nyeri dan adanya kesulitan teknis dalam penilaian nyeri yang dialami pasien. Selain itu, beberapa studi yang ada juga memiliki bukti yang lemah mengingat analisis dilakukan terhadap uji klinis yang memiliki risiko bias seleksi dan bias deteksi yang cukup tinggi.[5,6]

Kesimpulan

Berbagai studi menunjukkan bahwa metode hiperpronasi memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dibandingkan teknik supinasi-fleksi dalam mereduksi subluksasi kaput radius. Namun, beberapa uji klinis tersebut masih memiliki bukti yang lemah sehingga studi lebih lanjut masih diperlukan. Hingga saat ini belum dapat disimpulkan metode mana yang menyebabkan nyeri lebih ringan dan memiliki tingkat rekurensi subluksasi kaput radius yang lebih rendah.

 

Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur

Referensi