Rasionalisasi dan Keamanan Pemberian Analgesik pada Kehamilan

Oleh :
dr. Isna Arifah Rahmawati

Pemberian analgesik pada kehamilan perlu dilakukan secara hati-hati dengan mempertimbangkan risiko, manfaat, keamanan bagi ibu dan janin yang dikandung. Rasa nyeri, dari yang bersifat ringan hingga berat, baik yang berhubungan maupun tidak berhubungan dengan proses fisiologis kehamilan, sering kali dirasakan oleh ibu hamil. Pada beberapa kasus, nyeri yang tidak ditangani dengan baik dapat berakibat pada stres, depresi, gangguan tidur, dan hipertensi pada ibu, sehingga dapat berefek buruk pada kehamilan.[1]

Di sisi lain, penggunaan analgesik yang tidak tepat atau berlebihan dapat meningkatkan risiko abortus, kelahiran prematur, lahir mati, berat badan lahir rendah, kelainan kongenital atau penyakit tertentu pada anak di masa depan.[1]

cara-mengatasi-perut-kembung-saat-hamil-alodokter

Penelitian mengenai keamanan penggunaan analgesik pada ibu hamil sebagian besar dilakukan pada hewan atau manusia, tetapi dengan desain penelitian yang terbatas, sehingga hasilnya dapat bersifat bias dan tidak meyakinkan.[1] Belum terdapatnya panduan dari otoritas yang berwenang mengenai penggunaan analgesik pada kehamilan menambah kebimbangan petugas kesehatan dalam meresepkan analgesik pada ibu hamil.

Manajemen Nyeri pada Ibu Hamil

Prinsip tata laksana awal nyeri pada ibu hamil adalah terapi nonfarmakologi, meliputi konseling, latihan fisik, relaksasi, dan akupuntur.[1] Jika tata laksana nonfarmakologi tidak dapat meringankan nyeri, maka pemberian analgesik dapat dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Berikut ini merupakan pembahasan aspek keamanan beberapa obat analgesik yang umum dikonsumsi pada ibu hamil.

Paracetamol

Paracetamol diklasifikasikan ke dalam kategori B oleh FDA dan kategori A oleh TGA, sehingga dapat dijadikan analgesik lini pertama pada kehamilan.[2] Paracetamol efektif untuk mengurangi nyeri akut yang bersifat ringan hingga sedang, seperti nyeri kepala, nyeri gigi, dan nyeri pinggang.[1] Walaupun obat ini dapat melewati sawar plasenta, hingga saat ini paracetamol dianggap aman untuk dikonsumsi oleh ibu hamil selama digunakan dalam dosis dan frekuensi yang dianjurkan.[1]

Berbagai risiko yang berkaitan dengan penggunaan paracetamol telah diteliti di beberapa negara, tetapi hasilnya tidak konsisten. Selain itu, masih terdapat keterbatasan pada desain penelitian atau faktor perancu yang mungkin memengaruhi hasil penelitian, sehingga diperlukan studi lebih lanjut untuk mengonfirmasi hubungan tersebut.[1]

Sebuah penelitian kohort berbasis populasi di Denmark menyatakan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara penggunaan paracetamol selama kehamilan dengan kelahiran prematur. Namun, terdapat faktor perancu berupa preeklampsia, di mana peningkatan risiko kelahiran prematur hanya didapatkan pada ibu yang mengalami preeklampsia, membuat hasil penelitian ini tidak dapat sepenuhnya dipercaya.[1]

Beberapa studi kohort prospektif juga mengaitkan penggunaan paracetamol selama kehamilan dengan gangguan perkembangan sistem saraf pada bayi, yang dapat mengakibatkan anak menderita gejala attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), risiko ini meningkat seiring dengan semakin tinggi frekuensi dan durasi penggunaan paracetamol. Namun, ada kemungkinan hasil ini bias karena terdapat faktor perancu berupa faktor genetik yang diduga berperan dalam gangguan perkembangan sistem saraf janin.[1]

Sebuah meta-analisis mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan paracetamol selama kehamilan trimester pertama dengan kejadian asma pada anak. Namun, dalam meta-analisis tersebut, hasil yang didapatkan sangat heterogen, selain itu terdapat faktor perancu berupa berupa infeksi saluran pernapasan pada ibu yang dapat menimbulkan bias. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hubungan tersebut.[1]

Beberapa penelitian yang mengaitkan penggunaan paracetamol pada trimester ketiga dengan prenatal ductus arteriosus closure memberikan hasil yang tidak konsisten. Namun, sebuah artikel review terbaru mengungkapkan bahwa efek penggunaan paracetamol pada trimester ketiga dengan dosis yang direkomendasikan, dapat diabaikan.[3]

Dapat disimpulkan bahwa paracetamol aman dan efektif digunakan untuk mengatasi nyeri akut yang bersifat ringan hingga sedang pada ibu hamil di trimester pertama hingga ketiga, dengan dosis maksimal 4 gram/hari dengan durasi penggunaan sesingkat mungkin.[1]

Obat Antiinflamasi Nonsteroid (OAINS)

Obat yang termasuk ke dalam OAINS diklasifikasikan oleh FDA dalam kategori B atau C (trimester pertama dan kedua) dan berubah menjadi kategori D pada trimester ketiga. Keamanan penggunaan OAINS pada kehamilan tergantung pada pemilihan obat, waktu, dosis dan durasi pemberian.[2]

OAINS diduga berhubungan dengan kejadian abortus pada ibu hamil, sebab penggunaan OAINS memengaruhi produksi prostaglandin yang berperan penting dalam implantasi embrio.

Namun, artikel review yang dilakukan oleh food drugs administration (FDA) menyatakan bahwa hubungan tersebut inkonklusif karena desain studi yang terbatas, sehingga diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengonfirmasi hubungan tersebut. Secara umum, hasil penelitian menyatakan risiko tersebut lebih tinggi pada penggunaan diclofenac dan indomethacin dibandingkan dengan ibuprofen dan pada penggunaan OAINS di sekitar masa konsepsi.[1,2]

Beberapa penelitian yang mempelajari hubungan antara penggunaan OAINS dengan kejadian berbagai kelainan kongenital memberikan hasil bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan OAINS dengan kejadian berbagai kelainan kongenital.[1]

Penggunaan OAINS pada usia kehamilan di atas 30 minggu dikontraindikasikan karena sudah terbukti berhubungan dengan penutupan premature ductus arteriosus dan oligohidramnion.[1,2]

Baru-baru ini, FDA mengeluarkan himbauan kepada pemberi layanan kesehatan untuk menghindari pemberian OAINS kepada ibu hamil dengan usia kehamilan di atas 20 minggu. Hal ini karena penggunaan OAINS pada umur kehamilan 20 minggu diduga dapat menyebabkan kerusakan ginjal pada janin dan oligohidramnion. Namun, penggunaannya masih diperbolehkan dengan mempertimbangkan manfaat dan risiko, dengan dosis terapeutik terendah dan dengan durasi sesingkat mungkin.[4]

Dapat disimpulkan bahwa penggunaan OAINS sebaiknya tidak dijadikan sebagai pilihan pertama untuk mengatasi nyeri pada ibu hamil. Namun, pada kondisi yang tidak dapat dihindarkan, misalnya pada migraine berat yang tidak merespons terhadap paracetamol, penggunaan OAINS pada ibu hamil di bawah usia kehamilan 30 minggu dapat dipertimbangkan jika dirasa manfaat yang diperoleh ibu hamil lebih besar daripada risikonya. Pilihan utama untuk kondisi tersebut adalah ibuprofen dengan dosis teurapetik terendah dan durasi penggunaan sesingkat mungkin.

Aspirin

Aspirin banyak digunakan sebagai obat pereda nyeri sedang hingga berat dan juga bermanfaat dalam pencegahan preeklampsia pada ibu hamil dengan risiko tinggi. Aspirin diklasifikasikan ke dalam kategori C oleh FDA, sebab penelitian pada hewan menunjukkan adanya hubungan penggunaan aspirin dengan malformasi kongenital pada janin. Namun, penelitian yang dilakukan pada manusia tidak memberikan bukti keterkaitan yang meyakinkan.[1,5]

Beberapa meta-analisis yang mengevaluasi tentang hubungan penggunaan aspirin dan kelainan kongenital tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan. Namun, beberapa penelitian mengungkapkan bahwa penggunaan aspirin selama kehamilan meningkatkan risiko kejadian gastroschisis dua kali lipat dibandingkan dengan kelompok kontrol. Walaupun demikian, hasil ini perlu diinterpretasikan dengan sangat hati-hati, mengingat tidak adanya keterangan mengenai dosis aspirin yang digunakan dalam penelitian tersebut dan juga adanya kemungkinan bias recall.[5]

Penggunaan aspirin selama kehamilan tidak berkaitan dengan kejadian abortus. Penggunaan aspirin dosis rendah (<150 mg) pada trimester ketiga tidak berhubungan dengan perdarahan intrakranial, komplikasi perdarahan neonatal, premature closure of the ductus arteriosus dan oligohidramnion. Namun, penggunaan dengan dosis tinggi (>650 mg) diduga kuat dapat berakibat pada kejadian-kejadian tersebut.[1,5]

Sebagai kesimpulan, aspirin dosis rendah (<150 mg) aman digunakan pada kehamilan untuk mengatasi nyeri yang bersifat sedang hingga berat, atau sebagai pencegahan preeklampsia pada kehamilan risiko tinggi dengan durasi penggunaan sesingkat mungkin.

Opioid

Obat yang termasuk ke dalam golongan opioid sebagian besar diklasifikasikan ke dalam kategori B dan C, dan berubah menjadi kategori D oleh FDA jika digunakan dalam waktu yang lama atau dosis tinggi menjelang persalinan.

Penelitian mengenai keamanan penggunaan opioid pada ibu hamil masih sangat sedikit dan memiliki desain penelitian yang terbatas. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara penggunaan opioid pada trimester pertama dengan kelainan malformasi berupa spina bifida dan gastroschisis. Namun, hasil ini perlu diinterpretasikan dengan hati-hati, mengingat desain studi yang terbatas dan kemungkinan adanya bias recall.[1,6]

Penggunaan opioid dalam jangka panjang atau di sekitar waktu persalinan diduga dapat mengakibatkan neonatal abstinence syndrome (NAS) dan withdrawal syndrome pada saat bayi dilahirkan. Oleh karena itu, penggunaan opioid hanya boleh diberikan dalam jangka waktu yang singkat dan dihindari penggunaannya menjelang persalinan.[1,6]

Sebagai kesimpulan, beberapa opioid seperti codeine, dihydrocodeine, tramadol dan morfin efektif dan aman digunakan pada ibu hamil, kecuali pada penggunaan menjelang persalinan, untuk meredakan nyeri yang bersifat sedang hingga berat dimana penggunaan paracetamol tidak mampu mengatasinya, dengan menggunakan dosis terapeutik serendah mungkin dan durasi penggunaan sesingkat mungkin.

Kesimpulan

Analgesik merupakan obat yang seringkali dibutuhkan oleh ibu hamil. Namun, penggunaannya diperlukan kehati-hatian dan pertimbangan rasio risiko dan manfaat yang matang. Lini pertama tata laksana nyeri pada kehamilan adalah terapi non farmakologi. Namun, jika dengan terapi nonfarmakologi nyeri tidak dapat diatasi, paracetamol aman dan efektif digunakan sebagai terapi farmakologi lini pertama. Apabila paracetamol tidak dapat mengatasi keluhan nyeri tersebut, pemberian aspirin dosis rendah, OAINS atau opioid aman dan efektif selama digunakan pada waktu, pemilihan obat dan dosis yang tepat serta durasi penggunaan sesingkat mungkin.

 

Direvisi oleh: dr. Ciho Olfriani

Referensi