Menenangkan pasien gaduh gelisah, seperti pasien dengan delirium merupakan keadaan kegawatdaruratan dan membutuhkan tindakan segera. Pasien gaduh gelisah bisa muncul dalam bentuk agitasi dengan aktivitas motorik yang berlebihan, iritabilitas, peningkatan respon terhadap stimulus, hingga kekerasan yang membahayakan diri sendiri dan orang lain. Kondisi ini sering ditemukan di unit gawat darurat atau perawatan psikiatri.[1,2,5]
Secara umum, gaduh gelisah dapat disebabkan oleh masalah fisik atau mental, baik akibat dari kondisi medis, penggunaan substansi, atau gangguan psikiatri. Evaluasi dilakukan secara menyeluruh dengan cara mendapatkan riwayat lengkap pasien, melakukan pemeriksaan fisik, dan memastikan tingkat keparahan agitasi. Tenaga medis harus dapat memastikan apakah terdapat delirium pada pasien. Pasien dengan delirium biasanya memiliki gangguan kognitif, atensi, atau kesadaran yang berfluktuasi dan dapat memburuk dengan cepat.[5]
Sebelum memulai pemeriksaan, pastikan keamanan diri sendiri, pasien, dan orang lain. Memperhatikan gerak-gerik pasien di ruang tunggu dan mendalami riwayat penyakit pasien dapat membantu menimbang penanganan pasien. Tenaga medis harus menyadari bahwa sangat penting untuk tidak membuat asumsi negatif berdasarkan suku, agama, dan ras pasien. Positive and Negative Syndrome Scale - Excited Component (PANSS-EC) adalah salah satu instrumen untuk mengevaluasi pasien dengan perilaku agresif atau agitasi. Hasil dari evaluasi PANSS-EC dapat digunakan untuk menentukan pendekatan terapi pada pasien.[3,8]
Tindakan Nonfarmakologi
Tindakan nonfarmakologi diutamakan untuk mencegah eskalasi pasien, dan mengendalikan gaduh gelisah sebelum mempertimbangkan terapi farmakologis. Tindakan ini meliputi modifikasi lingkungan pasien, de-eskalasi, dan seklusi. Tujuan dari tindakan nonfarmakologi adalah menciptakan rasa aman dan nyaman bagi pasien, tenaga medis, dan orang lain untuk memudahkan evaluasi pasien. Intervensi ini tidak digunakan untuk menghukum, menyakiti, mendominasi, atau mempermalukan pasien.Apabila tindakan non farmakologis tidak efektif, maka dipertimbangkan pemberian terapi farmakologis.[6]
Modifikasi Lingkungan
Modifikasi lingkungan dilakukan untuk membantu proses de-eskalasi dan mengurangi agitasi pasien. Pasien gaduh gelisah sebaiknya dipisahkan dari pasien lain dan ditempatkan pada ruangan tersendiri. Lokasi yang ideal adalah ruangan yang lebih besar, tenang, aman, dan jauh dari benda-benda tajam atau berbahaya. Dapat dipertimbangkan mengurangi kebisingan, mengurangi cahaya lampu, dan menyesuaikan temperatur ruangan untuk membantu menenangkan pasien. Hal pertama yang harus diperhatikan adalah keselamatan dari tenaga medis yang menangani pasien.[4,5]
De-eskalasi
De-eskalasi merupakan proses interaktif secara verbal dan nonverbal dengan pasien yang marah atau agitasi, sehingga pasien dapat tenang, mampu mengontrol diri, dan kekerasan dapat dihindari. De-eskalasi tidak termasuk pengekangan, pemberian obat, atau mengasingkan pasien. Metode ini direkomendasikan sebagai intervensi awal penanganan pasien untuk mencegah eskalasi berkembang menjadi fase krisis.[7]
Tenaga medis harus mampu membangun hubungan dengan pasien sedini mungkin, dan tetap waspada terhadap perubahan perilaku yang dapat mengarah kepada tindakan agresif. Komunikasi verbal dilakukan dengan jelas, nada bicara tenang, tidak berteriak atau mengancam pasien. Pasien diberikan batasan-batasan yang jelas untuk diikuti. Komunikasi non-verbal yang dilakukan meliputi kesadaran terhadap diri sendiri, postur tubuh, kontak mata, dan keamanan diri. Kontak mata yang terlalu lama dan intens dapat menimbulkan kesan mengancam. Hindari postur tubuh atau gerakan yang mencurigakan, misalnya melipat tangan atau meletakkan kedua tangan di belakang tubuh. Diperkirakan waktu de-eskalasi yang efektif adalah 5−10 menit untuk menenangkan pasien.[6,8]
Seklusi
Seklusi atau pengasingan tidak dilakukan secara rutin karena dapat menimbulkan perasaan tidak nyaman pada pasien. Seklusi dilakukan pada kondisi di mana de-eskalasi verbal tidak berhasil dan terdapat potensi bahaya pada pasien atau orang lain. Tindakan ini dapat dilaksanakan bersamaan dengan restrain dan dapat dipertimbangkan untuk pemberian obat. Apabila diputuskan untuk dilakukan seklusi maka harus disediakan ruangan khusus dengan akses untuk mengobservasi dan berkomunikasi dengan pasien, memiliki ventilasi yang baik, memiliki toilet, dan memiliki furniture, jendela, dan pintu yang mampu menahan kerusakan. Seklusi dilakukan sesingkat mungkin dan dievaluasi setiap 2 jam.[6,8]
Restrain
Tindakan pengekangan atau restrain untuk pasien gaduh gelisah sebisa mungkin dihindari. Tindakan ini berisiko menyebabkan cedera pada pasien dengan agitasi. Restrain juga tidak melindungi pasien dari cedera, karena perlawanan terus-menerus terhadap pengekangan dapat menyebabkan kerusakan otot dan rabdomiolisis. Selain itu, terdapat laporan terkait kejadian asfiksia, strangulasi, dan kompresi dada terkait restrain. Oleh karena risiko tersebut, tindakan restrain direkomendasikan hanya untuk pasien yang tetap membahayakan diri sendiri dan orang lain, walaupun telah dilakukan tindakan-tindakan lain untuk mencegahnya.[5]
Umumnya, alat restrain menggunakan bahan kain atau kulit. Pasien difiksasi pada tempat yang tidak mudah bergerak seperti kerangka ranjang. Restrain sebaiknya dilakukan oleh sekurang-kurangnya 5 orang, yaitu satu untuk menahan kepala dan satu untuk masing-masing ekstremitas. Posisi pasien adalah supine jika memungkinkan. Satu tangan diikat ke atas dan tangan yang lain ke bawah untuk mengurangi mobilisasi kekuatan pasien. Perlu diperhatikan posisi ikatan karena pergerakan pasien dapat membuat ikatan bergeser ke bagian distal ekstremitas, sehingga dapat mengganggu sirkulasi. Restrain tidak boleh mengganggu jalan napas dan sirkulasi pasien, seperti menekan dada atau perut. Apabila situasi sudah terkendali, restrain sesegera mungkin dilepas. The Centers for Medicare and Medicaid Services USA merekomendasikan waktu pengekangan tidak melebihi 4 jam untuk dewasa, 2 jam untuk remaja, dan 1 jam untuk anak kurang dari 9 tahun.[5,8]
Terapi Farmakologi
Obat penenang untuk pasien agitasi diindikasikan bila pasien melawan, melakukan tindakan yang berbahaya, dan tidak dapat ditenangkan secara verbal. Intervensi dengan obat sendiri memiliki beberapa hal yang tidak diinginkan, seperti efek samping obat, konflik hukum, serta menurunkan kualitas hubungan antara dokter dan pasien. Konflik bisa terjadi karena seringkali obat diberikan tanpa persetujuan pasien. Terdapat tiga jenis obat yang dapat digunakan untuk menenangkan pasien gaduh gelisah, yaitu antipsikotik atipikal, antipsikotik tipikal, dan benzodiazepine. Pemilihan obat dan rute pemberian berdasarkan kondisi pasien, ketersediaan obat, dan efek yang diinginkan. Pasien yang kooperatif dan tidak memiliki kontraindikasi sebaiknya diberikan rute oral. Pemberian secara intravena atau intramuskular dilakukan pada pasien dengan agitasi yang lebih parah dan tidak kooperatif. Tidak ada terapi farmakologis yang efektif untuk semua kasus. Pemilihan obat harus dipertimbangkan secara individual, dan disesuaikan hingga terlihat hasil yang diharapkan.[1-3]
Antipsikotik baik atipikal maupun tipikal diberikan kepada pasien psikosis akibat gangguan psikiatri. Sedangkan pemberian benzodiazepine pada pasien dengan gangguan psikiatri tidak akan mengatasi penyebab agitasi, bahkan efek sedasi yang muncul dapat mempersulit evaluasi pasien. Pada keadaan intoksikasi akibat substansi, benzodiazepine merupakan agen pilihan utama. Hindari pemberian benzodiazepine pada pasien yang delirium karena akan semakin menurunkan kesadaran. Pada pasien delirium sebaiknya diberikan antipsikotik potensi tinggi.[3]
Obat Sedatif
Benzodiazepine merupakan obat golongan sedatif yang bekerja pada reseptor GABA. Benzodiazepine memiliki efek depresi sistem saraf pusat dengan manifestasi sedasi, ansiolitik, amnesia anterograde, dan relaksasi otot. Kerugian penggunaan benzodiazepine adalah risiko depresi napas pada dosis tinggi dan interaksi obat yang mungkin dikonsumsi pasien, terutama pada pasien yang kurang mampu diajak berkomunikasi dan tidak diketahui riwayatnya. Formulasi parenteral yang tersedia luas adalah lorazepam, diazepam, dan midazolam. Secara umum, lorazepam menjadi pilihan utama, karena memiliki profil klinis yang baik, waktu sedasi yang lebih lama dibandingkan midazolam, dan dapat diberikan dalam berbagai rute. Keunggulan midazolam adalah waktu kerja yang cepat dan efek sedasi yang kuat. Diazepam juga dapat diberikan, namun penggunaanya dibatasi oleh absorbsi yang tidak menentu, waktu paruh yang panjang, dan rasa nyeri pada lokasi injeksi.[2,3]
Obat Antipsikotik Atipikal
Penggunaan antipsikotik atipikal semakin meningkat karena memiliki efek samping ekstrapiramidal yang lebih ringan dibandingkan haloperidol. Antipsikotik atipikal bekerja pada beberapa reseptor, seperti D2, 5-HT2A, histamine, norepinefrin, dan alpha-2. Saat ini, obat antipsikotik atipikal yang tersedia dalam sediaan parenteral di Indonesia adalah olanzapine dan aripiprazole. Olanzapine memiliki efek sedasi yang kuat dan masa kerja hingga 24 jam, tetapi obat ini dapat mencetuskan sindrom metabolik dan menurunkan ambang nyeri. Aripiprazole tidak memiliki sedasi yang kuat, tidak menyebabkan hiperprolaktinemia, dan jarang menyebabkan dystonia. Namun, aripiprazole memiliki waktu paruh hingga 75 jam, dan dapat menyebabkan akathisia.[2,3]
Obat Antipsikotik Tipikal
Haloperidol merupakan obat antipsikotik tipikal potensi tinggi yang saat ini sudah banyak ditinggalkan karena efeknya yang tidak terlalu menenangkan. Selain itu, haloperidol juga dapat menyebabkan efek ekstrapiramidal seperti distonia akut, akathisia, dan disforia walaupun diberikan dalam dosis yang rendah. Gejala ekstrapiramidal yang muncul harus segera diterapi dengan antikolinergik, misalnya benztropine, difenhidramin, atau promethazine. Haloperidol juga dapat meningkatkan QT interval, oleh karena itu sebelum memberikan haloperidol sebaiknya dilakukan elektrokardiogram.[2,5,8]
Namun, haloperidol umumnya tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dan lebih murah dibandingkan obat lain. Efek haloperidol yang diharapkan adalah memberikan ketenangan pada pasien tanpa efek sedasi atau disfungsi kognitif yang berlebihan. Terdapat beberapa keunggulan haloperidol, antara lain tidak menyebabkan gangguan hemodinamik yang signifikan, tidak menyebabkan depresi napas, dan jarang menimbulkan overdosis yang mengancam nyawa.[2,5,8]
Terkadang dalam praktik diberikan haloperidol kombinasi dengan obat penenang lain, di antaranya:
- Benzodiazepine seperti lorazepam, agar dapat mengurangi gejala ekstrapiramidal dari lorazepam dan mencegah agitasi paradoks akibat pemberian benzodiazepine. Kombinasi kedua obat ini dapat digunakan pada pasien psikotik yang membutuhkan sedasi
- Antihistamin seperti promethazine untuk mengurangi efek ekstrapiramidal[2]
Kesimpulan
Gaduh gelisah dapat disebabkan oleh berbagai faktor, seperti delirium atau psikosis. Gaduh gelisah merupakan kondisi kegawatdaruratan yang dapat dijumpai di unit gawat darurat atau ruang perawatan psikiatri. Intervensi terhadap pasien gaduh gelisah meliputi tindakan nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Tindakan nonfarmakologi diutamakan dengan restriksi minimal dan dengan de-eskalasi verbal. Apabila pasien tidak mampu ditenangkan dengan de-eskalasi, maka dipertimbangkan restrain atau seklusi. Restrain dan seklusi harus segera dihentikan apabila situasi sudah terkendali.
Terapi farmakologis yang diberikan bergantung pada kondisi pasien, ketersediaan obat, dan efek yang diinginkan. Pilihan obat yang umum diberikan adalah benzodiazepine, antipsikotik tipikal, dan antipsikotik atipikal. Masing-masing obat memiliki profil efek samping yang harus diamati dan ditangani apabila terjadi. Untuk pasien yang masih bisa berkomunikasi dan kooperatif, disarankan untuk memilih rute pemberian per oral. Pemberian obat parenteral dapat dipertimbangkan pada pasien dengan agitasi yang lebih berat dan tidak kooperatif.
Penulisan pertama: dr. Hunied Kautsar