Tekanan Pulsasi sebagai Tanda Awal Perdarahan pada Pasien Trauma

Oleh :
dr. Gisheila Ruth Anggitha

Studi terkini mengemukakan bahwa penyempitan tekanan pulsasi pada pasien trauma dapat menjadi tanda awal perdarahan aktif yang mungkin membutuhkan transfusi darah atau intervensi lanjutan.

Perdarahan merupakan penyebab paling umum dari kematian pada kasus trauma. Lebih dari 40% kematian yang disebabkan oleh trauma terjadi akibat perdarahan. Sebuah literatur menyatakan bahwa setelah pasien dikirimkan ke rumah sakit dan resusitasi serta homeostasis sudah tercapai, tingkat mortalitas akibat perdarahan pada pasien dapat menurun sekitar 2-4%.

Oleh karena itu, tingkat kesintasan dari perdarahan yang parah seharusnya dapat ditingkatkan, khususnya dalam kecelakaan massal atau pada daerah yang terpencil. Kemampuan untuk identifikasi dini tanda-tanda perdarahan yang lebih akurat dapat meningkatkan keputusan triase untuk intervensi yang efektif.

Sementara perdarahan eksternal dapat dengan mudah terlihat, mengidentifikasi perdarahan internal menjadi tantangan khusus. Hipotensi yang ditandai dengan tekanan darah sistolik yang rendah merupakan prediktor yang paling sering digunakan untuk menilai kehilangan darah pada pasien yang mengalami perdarahan. Sayangnya, hipotensi merupakan prediktor yang buruk terhadap luaran klinis karena hipotensi merupakan usaha kompensasi yang terakhir dari tubuh terhadap perdarahan.

Tekanan Pulsasi sebagai Tanda Awal Perdarahan pada Pasien Trauma-min

Beberapa studi menyatakan bahwa peningkatan denyut jantung dapat berpotensi menjadi prediktor dari perdarahan, tetapi sensitivitas dan spesifisitasnya masih terbatas pada evaluasi awal dari pasien trauma. Saat ini, tekanan pulsasi dinilai dapat menjadi prediktor atau indikator awal untuk menilai adanya perdarahan yang masih tersembunyi, terutama pada pasien trauma yang tidak atau belum mengalami hipotensi.[1-4]

Sekilas tentang Perdarahan

Trauma dapat menyebabkan perdarahan, baik masif maupun tidak, tergantung pada jenis dan lokasi trauma terjadi. Biasanya, trauma yang dapat menyebabkan perdarahan masif berlokasi di daerah toraks, abdomen, retroperitonemun, tulang panjang, dan pelvis.  Terdapat 4 klasifikasi derajat kehilangan darah berdasarkan presentasi klinis pasien, yaitu:

Tabel 1. Derajat Syok Akibat Perdarahan

  Derajat Syok
Variabel Klinis Kelas 1 Kelas 2 Kelas 3 Kelas 4
Kehilangan darah (ml)* Sampai dengan 750 750 -1500 1500-2000 >2000
% kehilangan volume darah Sampai dengan 15% 15-30% 30-40% >40%
Denyut Nadi (/menit) <100 100-120 120-140 >140
Tekanan Darah Normal Normal Menurun Menurun
Tekanan pulsasi Normal Normal Menurun Menurun
Pernapasan (/menit) 14-20 20-30 30-40 >40
Status Mental Sadar penuh, kemungkinan sedikit pusing Sedikit pusing dan gelisah Gelisah, bingung Bingung, letargi
Luaran urine (ml/jam) >30 20-30 5-15 <5 atau tidak ada
Pergantian cairan Kristaloid Kristaloid Kristaloid dan darah Kristaloid dan darah

Sumber: Rao S, Martin F[3]

* Untuk individu dengan berat 70 kg

Menilai tanda-tanda vital dan status mental sesuai dengan derajat kehilangan darah sangat penting. Pada derajat ringan atau kelas 1, biasanya belum terjadi perubahan pada tekanan darah, tekanan pulsasi, maupun pernapasan. Namun, jika kehilangan darah semakin banyak, akan terjadi peningkatan denyut nadi dan frekuensi pernapasan, lalu diikuti dengan penyempitan tekanan pulsasi dan penurunan status mental.[1]

Penatalaksanaan pada pasien perdarahan akibat trauma tidak lagi berfokus pada metode transfusi darah yang masif. Konsep resusitasi perdarahan berfokus pada pencegahan atau penanganan hipotensi; resusitasi hemostatik; serta kontrol perdarahan agar tidak terjadi koagulopati, asidosis, dan hipotermia akibat trauma.[1]

Tekanan Pulsasi

Tekanan pulsasi merupakan selisih dari tekanan darah sistolik dan diastolik (tekanan pulsasi = tekanan darah sistolik – tekanan darah diastolik). Tekanan darah sistolik merupakan tekanan maksimum yang diberikan oleh aorta ketika jantung berkontraksi dan mengejeksikan darah ke seluruh tubuh dari ventrikel kiri jantung. Tekanan darah diastolik merupakan tekanan minimal dari aorta ketika jantung berelaksasi sebelum darah diejeksikan ke aorta. Pada orang dewasa, tekanan darah biasanya berada pada 120 per 80 mmHg, oleh karena itu, tekanan pulsasi normal adalah 40 mmHg.[4]

Pada awal terjadinya perdarahan, tubuh akan merespons dengan cara menurunkan venous return, sehingga terjadi penurunan pengisian jantung dan penurunan stroke volume. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya penurunan atau penyempitan nilai tekanan pulsasi arteri. Penyempitan tekanan pulsasi arteri bertujuan untuk menurunkan baroreseptor arterial.  Penurunan baroreseptor arterial ini akan memicu peningkatan refleks takikardia sebagai hasil dari terhambatnya vagal dan aktivasi saraf simpatik eferen.[5]

Adanya penyempitan tekanan pulsasi dinilai dapat menjadi tanda dari penurunan volume intravaskular. Pada saat kehilangan darah atau penurunan volume intravaskular, penurunan kapasitansi vena akan terjadi. Hal ini menyebabkan peningkatan tekanan darah diastolik, lalu akan terlihat perubahan pada tekanan darah sistolik.[2]

Bukti Ilmiah Tekanan Pulsasi sebagai Tanda Awal dari Perdarahan pada Pasien Trauma

Pada pasien trauma, penurunan tekanan darah merupakan indikator kuat terjadinya kehilangan darah dalam volume yang cukup besar, sebagai penanda bahwa penanganan yang cepat dibutuhkan. Namun, penurunan tekanan darah terjadi sebagai bagian akhir dari respons tubuh yang tidak dapat lagi mengompensasi kehilangan darah.[1,2]

Sebuah studi retrospektif yang dilakukan oleh Priestley et al meneliti 18.015 pasien trauma serta menilai hubungan antara tekanan pulsasi dan perdarahan. Pada studi ini, dilaporkan bahwa kelompok perdarahan aktif memiliki tekanan pulsasi yang lebih rendah daripada kelompok tanpa perdarahan aktif pada saat pemeriksaan di unit gawat darurat (39± 19 mmHg vs 53 ± 19 mmHg). Kelompok perdarahan aktif lebih sering mengalami tekanan pulsasi <25 mmHg di unit gawat darurat (14,4% vs 4,7%) daripada kelompok tanpa perdarahan aktif.

Perbandingan intervensi antarkelompok mengungkap lebih dalam lagi bahwa seluruh pasien dengan perdarahan aktif membutuhkan transfusi darah, sedangkan hanya 13,3% dari pasien tanpa perdarahan aktif yang membutuhkan transfusi. Kelompok perdarahan aktif secara signifikan membutuhkan lebih banyak produk darah dalam 24 jam pertama. Selain itu, kelompok perdarahan aktif juga lebih banyak menjalani intervensi pembedahan atau pemeriksaan radiologi daripada kelompok tanpa perdarahan aktif.

Setelah dilakukan uji regresi, didapatkan bahwa peningkatan usia, mekanisme luka penetrasi, penurunan tekanan darah sistolik, peningkatan denyut jantung, dan penyempitan tekanan pulsasi secara signifikan menjadi prediktor independen dari perdarahan aktif. [2]

Dengan demikian, studi ini menyimpulkan bahwa tekanan pulsasi yang menyempit, bahkan tanpa hipotensi, dapat menjadi prediktor independen dari perdarahan aktif yang mengarahkan pada resusitasi dan intervensi lebih lanjut. Nilai cut-off dilaporkan tergantung dari usia pasien, yaitu 55 mmHg pada pasien dengan usia ≥61 tahun dan <40 mmHg pada pasien dengan usia 16-60 tahun.[2]

Namun, studi ini memiliki keterbatasan, yaitu studi ini bersifat single-center dan status hemodinamik pasien ditentukan dari status pasien pada saat di unit gawat darurat. Selain itu, komorbid pada pasien juga dapat menjadi faktor perancu yang belum dianalisis dalam studi ini.[2]

Studi lain yang dilakukan oleh Convertino et al dengan sampel 13 subjek penelitian meneliti apakah penurunan tekanan pulsasi berpengaruh pada perubahan awal dari respons fisiologis yang berhubungan dengan kehilangan darah. Pada penelitian ini, dilakukan pemeriksaan tekanan darah baseline selama 12 menit kemudian dilakukan lower body negative pressure (LBNP) pada tekanan -15mmHg, -30, -45, dan -60 mmHg (masing-masing selama 12 menit) pada subjek penelitian.

Hasil studi menunjukkan adanya peningkatan frekuensi nadi yang signifikan dari 57± 3 menjadi 87 ± 5 denyut per menit. Tekanan sistolik menurun dari 129±3 menjadi 111±6.1 mmHg. Tekanan pulsasi menurun dari 50±2,5 menjadi 29±4,0 mmHg. LBNP menyebabkan penurunan linear dari tekanan pulsasi dan stroke volume. Penurunan tekanan pulsasi akibat hipovolemia yang progresif dapat dijadikan tanda dari adanya penurunan stroke volume dan peningkatan aktivitas saraf simpatetik.

Studi ini menyimpulkan bawah tekanan pulsasi dapat menjadi petunjuk awal adanya kehilangan darah akibat perdarahan dan dapat membantu tata laksana dilakukan lebih cepat. Limitasi studi ini adalah studi ini menggunakan LBNP, bukan pada pasien dengan kondisi perdarahan yang sebenarnya, sehingga terdapat perbedaan karakteristik. LBNP mengurangi volume darah melalui redistribusi cairan dan akumulasi cairan di ekstremitas bawah, sedangkan perdarahan merupakan hilangnya darah dari sirkulasi. Selain itu, subjek penelitian yang diteliti dalam jumlah kecil.[4]

Rekomendasi Terkait Penggunaan Tekanan Pulsasi untuk Identifikasi Perdarahan

The American College of Surgeons dalam Advanced Trauma Life Support (ATLS) telah merekomendasikan untuk mengklasifikasi perdarahan berdasarkan total kehilangan darah. Dari pedoman yang ada, salah satu poin yang perlu dinilai adalah tekanan pulsasi. Pada pedoman ATLS, apabila mulai terdapat penyempitan tekanan pulsasi, kemungkinan kehilangan darah adalah sekitar 15-30% dari total volume tubuh (750-1.500 mL). Pemeriksaan tekanan pulsasi ini sudah direkomendasikan untuk mengidentifikasi derajat perdarahan yang terjadi pada pasien trauma.[1]

Kesimpulan

Perdarahan pada kasus trauma menjadi penyebab utama kematian dan disabilitas. Tekanan pulsasi dapat menjadi tanda awal bahwa perdarahan aktif. Penyempitan tekanan pulsasi merupakan prediktor independen pada pasien dengan perdarahan aktif, meskipun tidak didapatkan adanya penurunan tekanan darah, sehingga transfusi produk darah dan intervensi untuk mengendalikan perdarahan dapat segera dilakukan. Pemeriksaan tekanan pulsasi merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat yang dapat digunakan selama periode resusitasi dalam membantu penatalaksanaan pasien dengan perdarahan.

Referensi