Peran Dokter Gigi dalam Ilmu Forensik

Oleh :
drg. Muhammad Garry Syahrizal Hanafi

Kedokteran gigi  forensik atau biasa disebut odontologi forensik adalah salah satu cabang ilmu kedokteran gigi yang diaplikasikan untuk membantu menegakkan hukum yang berlaku pada suatu negara atau wilayah. Praktek odontologi forensik meliputi manajemen, penilaian, evaluasi dan pengamatan kondisi gigi dan mulut sebagai bukti yang dapat dimanfaatkan demi kepentingan hukum, baik pidana maupun perdata.[1] 

Secara garis besar, odontologi forensik membantu otoritas hukum dengan memeriksa bukti gigi dalam 3 bidang utama, yaitu sipil (non-kriminal), kriminal, dan penelitian. Jika lebih dijabarkan lagi, maka peran dokter gigi forensik adalah dalam manajemen rekam medis gigi (odontogram); identifikasi individual dan massal; penentuan jenis kelamin; estimasi usia; penentuan ras; serta analisis bite mark dan trauma yang melibatkan gigi dan mulut.[2]

Doctor,Wearing,Glove,Pointing,At,The,Teeth,Model,And,A

Manajemen Rekam Medis Gigi

Peran dokter gigi dalam ilmu forensik yang paling krusial adalah pengelolaan rekam medis gigi yang baik, karena identifikasi forensik melalui gigi sebagian besar bergantung pada ketersediaan, kecukupan, dan keakuratan catatan rekam medis gigi. Rekam medis gigi harus mampu mendokumentasikan setiap perubahan profil gigi pasien yang datang periksa ke dokter gigi tersebut.[3] 

Rekam medis gigi ini dapat berfungsi sebagai sumber informasi bagi dokter gigi dan pasien, dalam bidang medikolegal, administratif dan untuk kepentingan forensik. Rekam medis ini dapat berupa rekam medis hard copy ataupun digital. Rekam medis gigi digital dinilai lebih memiliki fleksibilitas dan kemudahan dalam hal melakukan transfer data dari dokter gigi yang merawat kepada dokter gigi forensik yang bertugas di lapangan.[4] 

Selain dalam bentuk rekam medis, catatan gigi juga dapat berbentuk rontgen, foto profil pasien (biasanya saat akan melakukan perawatan orthodonsi), hingga model gigi pasien. Catatan-catatan ini dapat dikombinasikan untuk mendapat informasi mengenai kondisi gigi geligi terkini pasien.[4,5] 

Identifikasi Individual dan Massal

Gigi merupakan salah satu bukti primer yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi. Selain gigi, contoh bukti primer lain yaitu DNA dan sidik jari. Gigi menjadi pilihan identifikasi yang dapat dipercaya dan dapat diandalkan karena ketahanan terhadap proses pembusukan, ketahanan terhadap perubahan suhu yang ekstrim, hingga bentuk gigi yang sangat diskriminatif sehingga dapat digunakan untuk membedakan seseorang dengan orang lainnya.[1,3,6] 

Individu Hidup

Identifikasi yang dapat dilakukan melalui tinjauan odontologi forensik dapat diterapkan pada individu hidup maupun jenazah. Pada individu hidup, odontologi forensik seringkali digunakan untuk melakukan estimasi usia, penentuan jenis kelamin, dan ras. Temuan odontologi forensik ini seringkali digunakan untuk konfirmasi pada penerbitan surat penting (misalnya, izin mengemudi), kejuaraan yang melibatkan kelompok usia, hingga kepentingan identifikasi imigran yang masuk ke suatu negara.[1,7] 

Identifikasi Jenazah

Pada jenazah, odontologi forensik seringkali digunakan untuk melakukan identifikasi komparatif (membandingkan antara postmortem dan antemortem). Jika data-data yang ditemukan tidak cukup untuk melakukan identifikasi komparatif, dapat dilakukan identifikasi deduktif untuk mengerucutkan informasi agar didapatkan hasil identifikasi yang adekuat.[2] 

Identifikasi jenazah melalui gigi seringkali dilakukan jika kondisi jenazah sudah menjadi kerangka, sudah mengalami proses dekomposisi, terbakar, atau terpotong-potong. Meskipun kondisi gigi geligi dapat berubah sepanjang hayat, tetapi informasi terkait tambalan gigi, gigi dicabut, hingga gigi berlubang tetap dapat dimanfaatkan untuk melakukan identifikasi karena informasi tersebut bersifat individualistik.[3]

Hasil dari identifikasi ini dapat dibedakan menjadi 4 tipe, yaitu:

  • Positive Identification: terdapat kesesuaian dan kecocokan antara data postmortem dan antemortem sehingga membuktikan bahwa kedua data tersebut berasal dari satu individu yang sama

  • Possible Identification: data postmortem dan antemortem yang didapatkan memiliki beberapa tanda yang menunjukkan kesesuaian, tetapi belum bisa dinyatakan berasal dari satu individu yang sama karena kualitas catatan yang kurang baik

  • Insufficient Evidence: data postmortem dan antemortem yang didapatkan tidak cukup untuk memberikan kesimpulan

  • Exclusion: data postmortem dan antemortem yang didapatkan menunjukkan bahwa kedua data tersebut berasal dari dua orang yang berbeda karena tidak ditemukan adanya kemiripan dan kecocokan[6,7] 

Penentuan Jenis Kelamin

Penentuan jenis kelamin memiliki peran penting dalam proses identifikasi. Jika kerangka atau gigi yang ditemukan dalam TKP (tempat kejadian perkara) sudah dapat teridentifikasi jenis kelaminnya, maka rata-rata 50% dari populasi dapat segera dikeluarkan dari proses identifikasi.[3] 

Sebenarnya, jika kerangka yang ditemukan utuh, tidak terlalu sulit untuk melakukan penentuan jenis kelamin. Namun, jika terdapat kondisi tertentu yang menyebabkan kondisi jenazah terpecah-pecah menjadi beberapa bagian, seperti kecelakaan pesawat atau korban ledakan bom, maka penentuan jenis kelamin menjadi tantangan tersendiri.[5] 

Gigi menjadi salah satu organ yang dapat digunakan untuk melakukan penentuan jenis kelamin ini. Melalui gigi, kita dapat menganalisis morfologi dan DNA untuk menentukan jenis kelamin. Dewasa ini, analisis DNA melalui gigi untuk menentukan jenis kelamin menjadi pilihan. Hal ini dikarenakan analisis sidik DNA dari DNA inti atau DNA mitokondria untuk mendeteksi polimorfisme gen dan wilayah repetitive sequence dapat memberikan diskriminasi yang jelas untuk membedakan antara satu individu dengan individu lainnya.[2] 

Estimasi Usia

Pada orang hidup, estimasi usia seringkali dilakukan untuk kepentingan identifikasi usia atlet yang mengikuti suatu kejuaraan yang melibatkan kelompok usia tertentu. Selain itu, estimasi usia seringkali dilakukan pada imigran-imigran yang datang ke suatu negara untuk mencari suaka, karena biasanya imigran-imigran tersebut tidak membawa tanda pengenal yang layak.[2,3] 

Pada jenazah, estimasi usia seringkali dilakukan jika kondisi jenazah sudah tidak dapat dikenali lagi, atau tidak terdapat cukup data antemortem untuk langsung melakukan identifikasi komparatif. Pada kedua kondisi ini, diperlukan informasi sebanyak-banyaknya dari jenazah yang ditemukan guna mengungkap identitas jenazah tersebut.[8] 

Memperkirakan Usia Melalui Pemeriksaan Gigi

Gigi merupakan salah satu organ tubuh manusia yang dapat dianalisis untuk melakukan estimasi usia, terutama pada usia muda (anak-anak dan remaja). Hal ini dikarenakan pada proses pembentukan dan erupsi gigi hanya terdapat sedikit variasi, sehingga sebagian besar populasi akan memiliki pola pembentukan dan erupsi gigi yang relatif sama.[9] 

Terdapat 2 konsep analisis estimasi usia melalui gigi, yaitu developmental changes dan degenerative changes. Developmental changes adalah pengamatan pada saat gigi geligi bertumbuh dan berkembang di rongga mulut. Sementara, degenerative changes adalah pengamatan pada saat gigi telah erupsi dan terjadi atrisi atau keausan selama digunakan.[3] 

Pengamatan pertumbuhan gigi dapat dilakukan dengan inspeksi secara langsung untuk melihat gigi yang sudah erupsi. Inspeksi secara langsung juga dapat dilakukan untuk mengamati atrisi oklusal atau incisal gigi geligi (occlusal tooth wear) guna melakukan estimasi usia.[4] 

Pengamatan pertumbuhan gigi juga dapat dilakukan melalui analisis radiograf. Contoh estimasi usia menggunakan analisis radiograf adalah dengan menghitung indeks mahkota dan akar (tooth coronal index, TCI); analisis perkembangan erupsi gigi molar 3; serta penutupan apikal gigi.[6]

Selain pengamatan visual dan radiograf, konstituen di rongga mulut (gigi, jaringan periodontal, dan mukosa bukal) dapat diambil untuk dilakukan analisis DNA guna mendapatkan usia biologis jenazah. Jenis analisis DNA yang seringkali digunakan untuk mengungkap usia biologis jenazah adalah dengan metilasi DNA, pemendekan telomer delesi DNA mitokondria, dan eksisi melingkar reseptor sel T (signal-joint-T cell receptor excision circles, sjTRECs).[10] 

Penentuan Ras

Ciri-ciri morfologi gigi tertentu dapat digunakan untuk membedakan antara satu ras dengan lainnya. Secara garis besar, sifat gigi geligi yang menunjang rekonstruksi wajah dan identifikasi secara keseluruhan adalah dengan membandingkan ciri-ciri pada 3 kelompok ras terbesar, yaitu Mongoloid, Negroid, dan Kaukasoid.[9] 

Ciri-ciri morfologi gigi yang dapat diamati di antaranya terdapat bentuk gigi incisivus yang cekung ke belakang dan berbentuk seperti sekop pada ras Mongoloid dan Indian Amerika. Pada ras Kaukasoid Eropa dapat ditemukan adanya permukaan lingual gigi incisivus yang datar. Sebaliknya, pada orang Jepang ditemukan adanya tonjolan di permukaan tersebut.[11] 

Geraham pertama bawah ras Kaukasoid tampak panjang dengan bentuk lebih lancip, sementara ras Negroid memiliki bentuk geraham pertama bawah yang berukuran kecil dan persegi. Ras adalah konstruksi sosial tanpa dasar DNA. Temuan gigi tertentu yang disebutkan di atas mungkin mengarah pada asal leluhur pasien, tetapi tidak dapat digunakan secara tunggal.[2] 

Analisis Bite mark dan Trauma yang Melibatkan Gigi dan Mulut

Analisis bite mark atau bekas gigitan merupakan salah satu sumbangsih pertama kedokteran gigi forensik dalam bidang hukum. Pada berbagai kasus, tersangka dapat diidentifikasi akibat bekas gigitan yang ditinggalkan di tubuh korban. Bekas gigitan tersebut dianalisis dan dicocokkan dengan beberapa individu yang diduga menjadi pelaku.[12] 

Teknik analisis bite mark ada beberapa macam, seperti teknik superimposisi, pencetakan gigitan pada media cetak, hingga analisis DNA. Teknik superimposisi dan pencetakan bekas gigitan pada media cetak merupakan metode konvensional dalam melakukan analisis bite mark. Namun, beberapa dekade terakhir sering ditemui ketidakakuratan hasil analisis dengan dua metode ini.[13,14] 

Maka dari itu, analisis DNA pada bekas gigitan dikembangkan untuk dapat meningkatkan akurasi hasil. Analisis DNA dilakukan dengan melakukan apusan pada bekas gigitan dan mukosa bukal tersangka. Kemudian dilakukan proses pencocokkan untuk melihat apakah air liur yang tertinggal pada bite mark berasal dari tersangka. Analisis DNA ini dilaporkan memiliki akurasi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan analisis konvensional.[15]

Limitasi Analisis Bite Mark 

Analisis DNA pada bite mark juga memiliki tantangan tersendiri. Salah satunya karena sifat air liur yang mudah hilang dari permukaan. Hasil analisis DNA akan menjadi bias jika luka sudah dicuci menggunakan sabun oleh korban.[16] 

Tantangan lain analisis bite mark adalah proses fisiologis penyembuhan. Jika laporan visum diajukan berhari-hari setelah terjadinya gigitan, maka proses penyembuhan sudah terjadi dan analisis bite mark akan menjadi lebih sulit. Jika bite mark ditemukan pada jenazah, maka proses dekomposisi cenderung akan membuat jaringan sekitar bite mark membesar. Akibatnya, analisis bite mark akan menjadi bias.[17,18] 

Karena berbagai macam keterbatasan pemeriksaan tersebut, analisis bite mark perlu ditunjang dengan pemeriksaan lain untuk meningkatkan akurasinya.[17] 

Kesimpulan

Odontologi forensik memberikan kontribusi yang signifikan terhadap identifikasi individu. Gigi menjadi pilihan identifikasi primer dikarenakan sifatnya yang tahan terhadap pembusukan, suhu tinggi, dan kerusakan lain. Selain itu, lengkung gigi dan karakteristik gigi sangat diskriminatif, sehingga dapat digunakan untuk membedakan antara satu orang dengan orang lainnya.

Gigi juga dapat digunakan sebagai media untuk melakukan identifikasi komparatif maupun identifikasi deduktif. Identifikasi komparatif dapat dilakukan secara maksimal jika terdapat data antemortem yang adekuat. Oleh karena itu, dokter gigi sebagai praktisi kesehatan gigi dan mulut memiliki peran penting dalam menyediakan data antemortem melalui pemeliharaan rekam medis gigi yang baik.

Jika terpaksanya tidak ada data antemortem yang adekuat, maka dapat dilakukan identifikasi deduktif untuk menuntun ahli forensik mendapatkan identitas seseorang, yaitu dengan melakukan estimasi usia, penentuan jenis kelamin, dan penentuan ras. Odontologi forensik kini juga menggunakan analisis DNA untuk mengungkap berbagai macam informasi individual, seperti DNA typing (sidik DNA) untuk identifikasi komparatif, hingga metilasi DNA untuk mengungkap usia seseorang guna kepentingan identifikasi deduktif.

Referensi