Metode Estimasi Waktu Sejak Kematian

Oleh :
dr.Eva Naomi Oretla

Estimasi waktu sejak kematian merupakan bagian integral dalam investigasi medikolegal dan kedokteran forensik.  Terdapat berbagai metode untuk menentukan estimasi waktu sejak kematian seperti pengukuran suhu tubuh mayat, menilai perubahan morfologi mayat, pemeriksaan biokimia, dan pemeriksaan entomologi forensik.[1,3,5,8]

Estimasi waktu sejak kematian didasarkan pada interval post mortem (PMI) yang dibagi menjadi PMI tahap segera, awal, dan akhir. PMI tahap segera ditandai melalui perubahan fisiologis yang cepat, sedangkan tahap awal berhubungan dengan fase dekomposisi jaringan lunak. PMI tahap akhir merujuk pada pembusukan yang berujung pada skeletalisasi dan alterasi subsequent taphonomic matriks tulang.[1,4-8]

Closeup,Of,Lurid,Hand,Of,Dead,Body

Interval Post Mortem Segera  

Interval post mortem (PMI) tahap segera merupakan interval dimana tanda-tanda perubahan segera terjadi pada tubuh setelah kematian. Terhentinya hemodinamik dan hilangnya mekanisme regulator homeostasis pada kematian menyebabkan perubahan biokimia dan fisiologis pada tubuh yang dapat segera dilihat.[2,3,5,17]

Perubahan morfologi dan histokimia juga terjadi dalam waktu 2 hingga 3 jam setelah kematian. Dengan kata lain, PMI segera merupakan interval dimana terjadi proses kematian somatik dan seluler. Tanda-tanda perubahan pada interval post-mortem segera dapat dideteksi secara dini pada organ mata dan kulit.[5,6,17]

Perubahan pada Oftalmologi

Tanda awal yang segera timbul setelah kematian biasanya terjadi dalam waktu setengah jam hingga dua jam setelah kematian. Temuan pada pemeriksaan oftalmoskopi adalah ‘trucking’ atau segmentasi pada vaskularisasi di retina. Kekeruhan pada makula dan diskus optik yang pucat dapat dijumpai pada 30 menit pasca kematian.[2,5,6,8]

Selain itu, kekeruhan kornea dapat ditemukan dan timbul dalam waktu 2 jam pasca kematian kemudian menetap dalam waktu 6 jam pasca kematian. Kekeruhan kornea dapat menjadi kendala dalam melakukan pemeriksaan dengan oftalmoskopi, karena visualisasi dari retina, nervus optikus, vaskularisasi, dan vitreous humor yang tampak kabur sehingga tidak terlihat dengan jelas.[2,5,8]

Penurunan tekanan intraokular (mencapai 4 mmHg) juga terjadi secara drastis dalam kurun waktu kurang dari 6 jam setelah kematian.[2,5,8]

Perubahan pada Integumen

Perubahan yang terjadi pada integumen adalah hilangnya elastisitas dan pucatnya kulit beberapa jam setelah waktu kematian. Tidak terdapat perubahan pada morfologi dari histologi kulit dalam waktu ≤ 6 jam.[2,5,8]

Interval Post Mortem Awal

Interval post mortem (PMI) tahap awal merupakan periode krusial dalam estimasi waktu kematian karena relevan dalam menetapkan garis waktu peristiwa, serta sebagian besar pemeriksaan kasus medikolegal diperiksa dalam periode ini. Periode ini juga dapat digunakan dalam mengembangkan teori keadaan kematian.[1,4,5,8]

Fase awal post-mortem dapat diperkirakan dengan mengamati perubahan yaitu algor mortis, rigor mortis, dan livor mortis pada pemeriksaan jenazah. Fase ini berlangsung dari 3 hingga 72 jam setelah kematian.[1,9,11,12,18]

Algor Mortis

Algor mortis adalah penyesuaian suhu mayat dengan suhu lingkungan dimana terjadi penurunan suhu mayat. Penurunan suhu pada mayat merupakan metode yang paling akurat untuk memperkirakan waktu sejak kematian pada PMI awal.[1,5,7,18]

Penurunan suhu mayat terjadi akibat hilangnya regulasi suhu tubuh oleh hipotalamus dan hilangnya panas ke lingkungan melalui proses konduksi, konveksi, dan radiasi. Pada 30-60 menit pertama, suhu mayat tidak mengalami penurunan karena proses metabolisme dan produksi kalori yang mempertahankan suhu tubuh  masih berlangsung.[5,7,12,18]

Penurunan suhu mayat dipengaruhi oleh suhu lingkungan, kelembaban, suhu tubuh sebelum kematian, kondisi tubuh dan penutup tubuh. Mayat dengan kondisi tubuh yang kurus lebih cepat mengalami penurunan suhu. Tubuh mayat yang tertutup rapat atau terbungkus akan mengalami penurunan suhu tubuh yang lebih lama.[5,18,19]

Media lingkungan juga dapat mempengaruhi penurunan suhu tubuh pada mayat. Penurunan suhu tubuh pada mayat terjadi 4 kali lebih cepat pada media air (seperti pada mayat yang tenggelam) dibandingkan pada media tanah (seperti pada mayat yang dikubur).[5,18,19]

Pemeriksaan Suhu Mayat pada Algor Mortis:

Hasil pembacaan suhu pada lokasi anatomi yang berbeda (permukaan kulit, cavum nasi, aksila, dan rektum) menghasilkan penurunan suhu yang bervariasi. Pada umumnya tubuh akan kehilangan panas sebesar 1oC per jam. Pengukuran suhu tubuh disarankan pada rektal dengan memasukkan termometer air raksa  sedalam 10 cm. Pembacaan suhu dilakukan sekurang-kurangnya setelah 3 menit pengukuran.[5,18,19]

Estimasi perkiraan saat kematian juga dapat dilakukan melalui pengukuran suhu dari organ internal (seperti otak dan hepar) yang dapat dilakukan pada saat autopsi. Formula perhitungan suhu pada mayat dalam menentukan estimasi saat kematian adalah sebagai berikut:[5,7,18]

Interval post mortem (PMI) = 37 - Suhu rektal (RT)  + 3

Rigor Mortis

Rigor mortis adalah kaku mayat yang disebabkan oleh perubahan enzimatik dan perubahan metabolisme kimiawi pada muskulus seluruh tubuh. Mekanisme terjadinya rigor mortis berkaitan dengan habisnya persediaan glikogen pada muskulus.[5,8-10]

Ketidaktersediaan glikogen pada muskulus akan menyebabkan ATP tidak disintesis kembali, sehingga adenosin difosfat (ADP) akan diakumulasikan dalam jumlah yang banyak. Akumulasi dari ADP dan penimbunan asam laktat akan menyebabkan aktin dan miosin menjadi massa berbentuk gel yang kaku (stiff gel) yang nantinya akan menyebabkan keadaan rigiditas.[5,8-10]

Pemeriksaan Kaku Mayat pada Rigor Mortis:

Rigor mortis pertama kali timbul pada muskulus kecil wajah (di sekitar orbita, maxillaris dan mandibularis) dengan estimasi waktu sekitar 2-3 jam post-mortem.  Rigiditas (kekakuan) berikutnya timbul mulai dari muskulus ekstremitas superior dan terakhir pada muskulus yang besar yaitu ekstremitas inferior sekitar 6-8 jam pasca kematian.[5,8-10]

Rigor mortis dapat timbul sekitar 2-3 jam post mortem atau setelah fase flasiditas primer dan akan menetap selama 12 jam (sampai 24 jam setelah kematian) dan umumnya menghilang 36 jam setelah kematian, yang akan diikuti oleh fase flasiditas sekunder.[5,8-10]

Beberapa faktor eksternal seperti suhu lingkungan, aktivitas otot sebelum terjadi kematian, usia, dan bentuk tubuh juga dapat mempengaruhi rigor mortis. Rigor mortis akan timbul dengan cepat pada mayat dengan bentuk tubuh yang kurus, aktivitas otot yang tinggi sebelum kematian, suhu lingkungan yang tinggi, dan usia anak-anak.[5,8,9]

Livor Mortis

Livor mortis atau yang dikenal sebagai lebam mayat terjadi akibat endapan eritrosit pada vaskularisasi yang terkumpul akibat tarikan gravitasi dan sirkulasi hemodinamik yang terhenti setelah kematian.[5,8,11]

Awalnya, penurunan sirkulasi hemodinamik (hipostasis) dicerminkan oleh bintik-bintik perdarahan (tardieu spots) yang muncul dalam waktu 30 menit hingga 2 jam post mortem. Tardieu spots kemudian bergabung membentuk tanda lividitas yang berukuran lebih besar.[5,8,11]

Selanjutnya, terjadi perubahan warna kulit yang permanen menjadi merah-keunguan atau biru-keunguan yang timbul dari 6 jam hingga 12 jam post mortem. Perubahan warna kulit yang permanen pada mayat disebabkan oleh disintegrasi sel darah dan infiltrasi hemoglobin.[5,8,11]

Pemeriksaan Lebam Mayat pada Livor Mortis:

Livor mortis dapat dikonfirmasi dengan mengaplikasikan tekanan dengan ibu jari pada daerah lebam. Penekanan pada daerah lebam yang menghasilkan perubahan warna kulit merah-keunguan dan lividitas yang menetap menunjukkan interval post-mortem yang lebih dari 12 jam.[5,8,11]

Penilaian dan deskripsi warna lividitas pada livor mortis cukup sulit karena pengenalan warna bersifat subjektif. Pendekatan yang objektif dan lebih modern adalah dengan menggunakan metode kolorimetri.[5,8,11]

Kolorimetri merupakan suatu metode ilmiah yang digunakan untuk menentukan warna secara khusus dan membandingkan suatu warna dengan warna standar. Metode kolorimetri dapat mendukung dan membantu estimasi waktu sejak kematian berdasarkan livor mortis secara akurat dan objektif.[5,8,11]

Interval Post Mortem Akhir

Interval post mortem akhir ditandai dengan destruksi jaringan tubuh yang dapat dideskripsikan sebagai dekomposisi, adiposera, mumifikasi, atau skeletonisasi. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi fase akhir post-mortem adalah iklim, suhu sekitar, musim, berat badan, dan pakaian yang digunakan.[1,5]

Proses perubahan dan kerusakan jaringan tubuh pada mayat disebabkan oleh penguraian jaringan kompleks menjadi molekul sederhana yang diperantarai oleh enzim dan bakteri pada tubuh maupun koloni bakteri yang mencerna sisa jaringan setelah kematian. Perubahan morfologi tubuh pada proses dekomposisi yang terjadi pada fase akhir interval post mortem secara ringkas dapat dilihat pada Tabel 1. [2,4,5]

Tabel 1. Perubahan Deskriptif Morfologi Tubuh pada Dekomposisi yang Terjadi Saat Fase Akhir Interval Post Mortem

Hari Perubahan Morfologi pada Dekomposisi
1-2 Warna hijau pada regio abdomen dan panggul
2-3 Bloating
3-4 Gambaran “marbling” pada integumen
5-6 Ekspansi gas, skin slippage

14 Tubuh mengalami pembengkakan
21 Destruksi jaringan lunak, vesicles burst

28

Skin liquefaction luas dan tampak menghitam

Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2022.[2,4,5]

Dekomposisi

Dekomposisi merupakan proses degradasi jaringan akibat autolisis dan kontribusi dari aktivitas bakteri. Perubahan morfologi pada mayat terjadi akibat proses pembusukan yang dimulai sejak 24 jam pasca kematian. Estimasi waktu sejak kematian menggunakan metode pengenalan perubahan morfologi sangat bergantung pada kemampuan dan pengalaman individu dalam menilai perubahan.[1,5,15]

Waktu perubahan morfologi pada tahap dekomposisi dapat membantu mempersempit estimasi variasi dari interval post-mortem. Dekomposisi terbagi menjadi beberapa fase yaitu fase segar, fase dekomposisi awal, fase dekomposisi lanjut, dan fase dekomposisi ekstrim.[2-3,4-6]

Fase Dekomposisi Segar:

Fase dekomposisi segar dapat dimulai dalam waktu 24 jam dan paling  lambat 7 hari pasca kematian. Pada suhu lingkungan yang lebih dingin (seperti pada saat musim dingin), fase segar lebih lambat dimulai. Tidak terdapat aktivitas serangga, namun pada jaringan dan daerah cavitas dapat dijumpai adanya deposisi telur lalat (blowfly eggs).[3-6,15]

Fase Dekomposisi Awal:

Fase dekomposisi awal dimulai dari hari pertama hingga hari kelima pasca kematian yang ditandai oleh pengelupasan kulit dan kerontokan rambut. Perubahan morfologi pada tubuh mayat yang tampak berwarna kehijauan dapat dijumpai pada hari pertama hingga hari kedua pasca kematian. Perubahan morfologi pada tubuh mayat dimulai dari fossa iliaka kanan (akibat posisi caecum yang dangkal), abdomen, dan ekstremitas yang kemudian akan diikuti dengan munculnya belatung.[3-6,15]

Fase Dekomposisi Lanjut:

Fase dekomposisi lanjut dapat terjadi selambat-lambatnya sepuluh hari pasca kematian. Integumen tampak kehilangan elastisitas yang diikuti dengan kolapsnya cavum abdomen. Destruksi jaringan lunak dan desikasi integumen yang terjadi pada fase ini menyebabkan hampir dari setengah material kerangka (skeleton) terlihat. [3-6,15]

Fase dekomposisi lanjut dapat berkembang menjadi skeletonisasi maupun pembentukan adiposera tanpa melalui proses desikasi dan mumifikasi pada integumen dan jaringan luar. Umumnya pada fase ini dekomposisi berkembang dengan pesat ditandai dengan autolisis hilangnya organ dalam yang diperantarai dengan infestasi belatung yang luas dan ekstrim.[3-6,15]

Fase Dekomposisi Ekstrim:

Fase dekomposisi ekstrim akan timbul sekitar dua bulan pasca kematian, tepatnya setelah fase dekomposisi lanjut berakhir. Pada fase ini, akan terjadi erosi elemen skeleton yang diikuti dengan degenerasi struktur kortikal pada tulang hingga hilangnya struktur metafisis. Tabel 2 menunjukkan perubahan yang terjadi pada fase dekomposisi ekstrim berdasarkan interval post mortem.[3-6,15]

Tabel 2. Perubahan pada Fase Dekomposisi Ekstrim Berdasarkan Interval Post Mortem

Interval Postmortem Perubahan pada Fase Dekomposisi Ekstrim
2 bulan – 2,5 tahun Proses pemutihan tulang
 4 bulan – 1 tahun Degenerasi struktur kortikal, hilangnya sebagian dari struktur metafisis pada tulang panjang, serta terbukanya bagian kanselus tulang spons
5,5 tahun Struktur metafisis hilang sepenuhnya

Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2022.[3-6,15]

Adiposera

Adiposera merupakan perubahan morfologi mayat yang berupa terbentuknya bahan yang berwarna keputihan, lunak, atau berminyak pada jaringan lunak tubuh pasca kematian.[1,3-6]

Proses adiposera dapat membuat tubuh utuh hingga jangka waktu yang lama akibat terhambatnya proses pembusukan. Dengan demikian, identifikasi mayat masih dapat dilakukan meskipun waktu kematian sudah lama. Adiposera dapat terlihat jelas secara makroskopik setelah 12 minggu pasca kematian dan dapat dideteksi dengan analisis asam palmitat.[1,3-6]

Mumifikasi

Pada tahap mumifikasi terjadi evaporasi dari cairan yang terdapat di dalam jaringan dengan cukup cepat, sehingga terjadi desikasi jaringan yang selanjutnya dapat menghentikan proses pembusukan. Jaringan akan berubah menjadi keras, kering, keriput, gelap, dan tidak membusuk. Mumifikasi terjadi dalam waktu yang lama sekitar 12-14 minggu pada lingkungan dengan suhu hangat, kelembaban rendah, aliran udara yang baik, dan kondisi tubuh yang dehidrasi.[3,5,10,15]

Perubahan Internal dan Pemeriksaan Tambahan

Estimasi saat kematian dapat ditentukan dari perubahan yang terjadi pada organ internal, biokimia, dan hematologi. Perubahan pada organ internal yang sering digunakan sebagai metode untuk estimasi interval post-mortem adalah pengosongan lambung, perubahan rambut dan pertumbuhan kuku.[2,5,14]

Pemeriksaan tambahan pada hematologi dan biokimia menunjukkan bahwa terjadi perubahan pada seluler dan proses pada tubuh dalam waktu 3 sampai 6 jam setelah kematian.[2,6,16-17]

Pemeriksaan entomologi forensik juga dapat digunakan untuk memperkirakan waktu saat kematian, yaitu dengan menyesuaikan kisaran waktu hidup serangga seperti lalat atau Diptera dalam bentuk telur, larva, maupun lalat dewasa yang dijumpai pada mayat yang telah mengalami pembusukan.[2,6,16-17]

Pengosongan Lambung

Pengosongan lambung merupakan metode lain yang dapat digunakan untuk estimasi interval post mortem, terutama jika dilengkapi dengan informasi mengenai waktu konsumsi, jenis, dan volume makanan yang dikonsumsi sebelum kematian.[1,5,6]

Pemeriksaan isi lambung dapat menentukan kondisi pengosongan lambung. Pengosongan isi lambung adalah waktu yang diperlukan lambung untuk mencerna makanan dan meneruskan makanan ke intestinal, dengan durasi waktu yang diperlukan sekitar 4-6 jam.[1,5,6]

Apabila pada pemeriksaan organ lambung saat autopsi, ditemukan sisa makanan yang belum tercerna, maka dapat diperkirakan bahwa waktu kematian korban terjadi kurang dari 4-6 jam setelah konsumsi makanan terakhir.[1,5,6]

Perubahan Rambut dan Pertumbuhan Kuku

Pada metode perubahan rambut sebagai estimasi waktu saat kematian, klinisi harus mengetahui pertambahan panjang rambut, kumis, dan jenggot dari saat kematian, yang berpedoman pada kecepatan pertumbuhan rambut rata-rata 0,4 mm/hari. Metode pertumbuhan kuku juga diukur berdasarkan pedoman pertumbuhan kuku harian sekitar 0,4 mm/hari.[1,2,6]

Perubahan Hematologi

Terjadi perubahan pada semua komponen darah setelah kematian. Perubahan terjadi pada leukosit di fase awal kematian yang dapat dianalisis melalui teknik histochemical staining.[2,5,14]

Eosinofil, neutrofil, dan monosit mengalami perubahan degenerasi piknosis pada 6 jam pertama pasca kematian. Limfosit mengalami perubahan morfologi dalam waktu 24 jam hingga 120 jam pasca kematian. Namun, metode estimasi kematian melalui perubahan hematologi bersifat subjektif karena bergantung pada interpretasi dari pemeriksa.[2,5,14]

Perubahan Biokimia

Pemeriksaan biokimia dengan menggunakan sampel darah merupakan metode yang dapat digunakan untuk menentukan estimasi waktu kematian. Pemeriksaan biokimia menunjukkan bahwa kadar tertentu dari beberapa senyawa kimia dapat memberikan estimasi waktu kematian.[2,6,17]

Kadar nitrogen asam amino kurang dari 14 mg% pada pemeriksaan biokimia menunjukkan estimasi waktu kematian kurang dari 10 jam. Kadar nitrogen non protein kurang dari 80 mg% memperkirakan waktu kematian terjadi dalam waktu 24 jam. Kadar kreatinin di bawah 5 mg% menunjukkan estimasi waktu kematian kurang dari 10 jam. Bila didapatkan kadar kreatinin dibawah 10 mg%, maka diperkirakan waktu kematian dibawah 30 jam.[6,17]

Tabel 3. Pemeriksaan Kadar Biokimia dan Estimasi Waktu Kematian

Pemeriksaan Biokimia Kadar Estimasi Waktu Kematian
Nitrogen asam amino <14 mg% <10 jam
Nitrogen non protein <80 mg% <24 jam
Kreatinin <5 mg% <10 jam

Sumber: dr. Eva Naomi, Alomedika, 2022.[6,17]

Entomologi Forensik

Entomologi forensik telah menjadi metode integral untuk ilmu forensik dengan memberikan informasi penting bagi penyidik mengenai waktu kematian. Metode analisa arthropoda atau serangga pada mayat dapat menentukan estimasi interval post mortem secara tidak langsung.[1,8,13]

Pada pemeriksaan entomologi forensik, estimasi waktu sejak kematian memanfaatkan garis waktu tahap kehidupan serangga untuk menentukan waktu yang dibutuhkan dari kolonisasi hingga awal penyelidikan di lokasi penemuan jasad.

Contohnya adalah lalat yang paling umum ditemukan pada mayat yang telah membusuk. Estimasi waktu sejak kematian berdasarkan fase perkembangan pada lalat seperti telur, larva, dan lalat dewasa terdapat pada Tabel 4.[1,8,13]

Tabel 4. Pemeriksaan Fase Lalat dan Estimasi Waktu Kematian

Fase Lalat yang dijumpai pada Mayat Estimasi Waktu Sejak Kematian
Telur <48 jam
Larva <5-6 hari
Lalat Dewasa <11 hari

Sumber: dr. Eva Naomi, 2022.[11,13,20]

Berdasarkan analisis dari pemeriksaan entomologi forensik, terdapat beberapa faktor yang dapat memperlambat maupun mencegah kolonisasi serangga pada mayat yang mengalami pembusukan, seperti suhu beku, mayat yang dibungkus dengan penutup yang rapat, penguburan mayat, dan penggunaan bahan kimia pada mayat.[16,19,20]

Hasil dari pemeriksaan entomologi forensik dapat menjelaskan waktu minimum sejak kolonisasi, atau interval post-mortem minimum. Waktu  minimum pada metode ini merupakan bagian integral untuk mengatasi keterbatasan dari metode entomologi forensik.[13,16,20]

Periode waktu di mana individu telah meninggal tetapi belum terdapat kolonisasi serangga dapat sangat bervariasi dan umumnya tidak dapat diperkirakan secara efektif oleh ahli entomologi forensik, oleh karena itu interval waktu minimum diberikan.[13,16,20]

Kesimpulan

Variabel seperti suhu lingkungan, kelembapan, kesehatan antemortem, ukuran tubuh, pakaian, aktivitas serangga, dan banyak lainnya yang masing-masing secara independen dapat mempengaruhi interval post mortem.

Terdapat berbagai metode yang dapat diaplikasikan dalam memperkirakan waktu sejak kematian dan menentukan interval post mortem. Pemeriksaan berdasarkan triase perubahan post mortem algor, rivor dan livor mortis merupakan pemeriksaan yang sering dilakukan terutama pada kematian yang telah berlangsung sekitar 3-72 jam. Metode pemeriksaan dengan rigor mortis dan livor mortis bersifat subjektif sehingga penilaian pada metode tersebut bergantung pada kemampuan interpretasi pemeriksa.

Pemeriksaan suhu pada algor mortis merupakan metode tetap yang paling umum dan akurat untuk digunakan. Metode penggunaan teknik tersebut terus direkomendasikan karena merupakan satu-satunya metode yang bersifat objektif.

Observasi destruksi jaringan tubuh pada mayat yang dapat diklasifikasi ke dalam beberapa fase dekomposisi merupakan metode yang paling umum dan sering dilakukan pada fase akhir interval post mortem. Metode ini dapat menunjukkan estimasi waktu sejak kematian yang berlangsung dari 24 jam hingga tahunan.

Perubahan morfologi pada mayat yang disertai dengan infestasi serangga seperti telur, larva, ataupun lalat dewasa merupakan suatu indikasi untuk dilakukan pemeriksaan entomologi forensik, untuk membantu estimasi waktu sejak kematian berdasarkan garis waktu tahap kehidupan serangga.

Metode pemeriksaan hematologi dan biokimia cukup jarang dilakukan, karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi penilaian estimasi waktu sejak kematian, baik dari cara pengambilan, penyimpanan, maupun pengawetan sampel sebelum analisis dilakukan.

Menentukan interval post mortem yang menjadi dasar dari estimasi waktu sejak kematian tidak boleh hanya menggunakan 1 metode saja. Hal ini dilakukan agar didapatkan penetapan garis waktu peristiwa kematian yang lebih akurat.

Hasil penetapan garis waktu suatu peristiwa kematian dalam penulisan visum et repertum setelah pemeriksaan luar jenazah dan autopsi dapat membantu membantu validasi pernyataan saksi, membatasi jumlah tersangka dalam kasus pembunuhan, dan menilai alibi dalam hukum pidana.

Referensi