Pengaruh Media Sosial dalam Praktik Bedah Plastik

Oleh :
dr. Johannes Albert B. SpBP-RE

Media sosial merupakan platform interaksi digital yang sangat populer dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan kita termasuk di bidang bedah plastik. Memahami pengaruh media sosial terhadap perilaku dan kondisi psikologis masyarakat dapat membantu kita untuk mengantisipasi berbagai fenomena kesehatan yang mungkin dan akan terjadi.

Pengaruh Media Sosial Terhadap Perilaku Masyarakat

Tersedianya internet dan media sosial yang mudah diakses masyarakat tentunya mengubah perilaku kesehatan masyarakat dan cara mereka mendapatkan informasi medis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar masyarakat akan menggunakan GoogleTM untuk mencari informasi mengenai layanan bedah plastik. Informasi awal yang diperoleh akan dilanjutkan dengan pencarian informasi yang lebih dalam di media sosial, forum diskusi online, serta website-website terkait.[1]

The,Sick,Person,Sat,On,The,Phone,,Waiting,For,The

Selain berpengaruh terhadap perilaku dalam mencari pelayanan medis, media sosial juga menyebabkan perubahan pada ekspektasi pasien. Sebuah penelitian melaporkan bahwa pada tahun 2017, 55% dokter bedah plastik di Amerika Serikat melaporkan pernah menemui pasien yang menginginkan prosedur estetik untuk meningkatkan tampilan mereka pada saat melakukan foto selfie. Angka ini meningkat 10% dibandingkan 2 tahun sebelumnya.[2]

Bukti Klinis Hubungan Media Sosial dan Tindakan Kosmetik

Kenneth et al. dalam penelitiannya melakukan analisis keinginan untuk menjalani prosedur estetik berdasarkan kelompok usia. Mereka menemukan bahwa kelompok usia di bawah 35 tahun memiliki kemungkinan 1,8 kali lebih tinggi untuk menjalani prosedur estetik dibandingkan populasi berusia 35 tahun ke atas. Populasi ini tentunya merupakan populasi yang lebih aktif dalam menggunakan media sosial. Penelitian lain menemukan hubungan antara search term terkait prosedur dan produk estetik di GoogleTM dengan akun pengguna aktif Instagram dan Facebook. Hal ini menunjukkan bahwa media sosial mungkin berperan meningkatkan ketertarikan masyarakat terhadap produk atau prosedur estetik tertentu.[1,3]

Beberapa peneliti mengungkapkan kekhawatiran bahwa penggunaan media sosial dapat berdampak pada kondisi psikologis pasien. Salah satu penyebabnya adalah adanya fitur filter foto yang dapat mengubah ekspektasi pasien terhadap tampilannya. Istilah normative discontent digunakan untuk mendeskripsikan suatu fenomena dimana pasien tidak puas terhadap tampilan fisiknya, padahal pasien memiliki tampilan fisik yang dianggap normal atau serupa dengan rata-rata tampilan fisik pada populasi umum. Kondisi yang lebih berat dari normative discontent adalah body dysmorphic disorder.[4]

Bedah Plastik Dan Body Dysmorphic Disorder

Body dysmorphic disorder (BDD) dapat didefinisikan sebagai gangguan psikiatri yang ditandai preokupasi berlebihan terhadap kekurangan tampilan fisik diri sendiri yang sebenarnya sangat minimal atau bahkan tidak ada sama sekali. Perbedaannya dengan normative discontent adalah dalam hal jumlah waktu yang dihabiskan oleh pasien untuk berusaha menutupi kekurangan fisiknya, gangguan fungsional yang timbul (tidak dapat bekerja atau membolos sekolah), serta derajat penderitaan yang dialami pasien.[4]

Tanda dan gejala yang sering ditemukan pada pasien dengan BDD antara lain:

  • Menghabiskan waktu secara berlebihan (hingga 3-8 jam atau lebih) untuk “menutupi kekurangan fisik” yang dirasakannya.
  • Melakukan tindakan repetitif terkait “kekurangan fisik” yang dikeluhkannya, misalnya bercermin berulang-ulang, berusaha secara berulang-ulang untuk menutupi bagian tubuh dengan riasan (make-up) atau pakaian.
  • Terus menerus mencari tindakan estetik untuk mengatasi keluhannya disertai tingkat kepuasan yang rendah terhadap prosedur estetik yang telah dijalani sebelumnya.
  • Memiliki riwayat gangguan psikiatri lainnya seperti depresi. Bahkan pasien dapat memiliki keinginan untuk melakukan bunuh diri.
  • Memiliki ekspektasi yang sangat tinggi dan tidak proporsional dengan realitas.[4]

Beberapa penelitian melaporkan bahwa sekitar 7.7 hingga 9.7% pasien yang datang untuk menjalani tindakan estetik pada wajah terdiagnosis dengan BDD. Hanya 3.6% tindakan estetik yang berhasil mengurangi keluhan pada pasien dengan BDD. Meskipun keluhan berkurang, keluhan yang sama atau keluhan lain dapat muncul kembali di kemudian hari. Sekitar 80% pasien BDD yang menjalani prosedur estetik akan merasa tidak puas. Ketidakpuasan pasien ini dapat berujung pada komplain hingga ancaman tuntutan hukum, bahkan tindak kekerasan.[4]

Oleh karena itu, BDD merupakan salah satu kontra indikasi suatu tindakan estetik. Kondisi psikiatri ini merupakan materi yang diajarkan dalam pendidikan spesialis bedah plastik. Seorang dokter spesialis bedah plastik harus dapat mengenali tanda-gejalanya pada saat berkonsultasi dan menolak melakukan tindakan estetik pada pasien dengan BDD. Pasien sebaiknya dirujuk ke dokter spesialis jiwa untuk evaluasi dan tatalaksana lebih lanjut. Tatalaksana pada umumnya berupa cognitive behavioral therapy hingga terapi medikamentosa.[4]

Merespon Media Sosial dan Pengaruhnya Secara Positif

Berbagai fitur filter yang tersedia di media sosial untuk meningkatkan tampilan fisik merupakan suatu hal yang baik-baik saja bila hanya dilihat sebagai suatu fitur yang dianggap ‘fun’. Pada beberapa kasus, fitur ini justru memberikan ekspektasi baru untuk mendapatkan tampilan fisik yang menyerupai hasil photo editing tersebut dalam kehidupan nyata. Harapan yang berlebihan berpotensi menimbulkan masalah kepercayaan diri dan gangguan psikologis. Dokter dapat memberikan edukasi kepada masyarakat bahwa terkadang hasil photo filter ini menimbulkan harapan yang tidak realistis.[4]

Pengaruh Positif Sosial Media

Internet dan media sosial merupakan portal informasi yang sangat berpengaruh bagi sebagian masyarakat awam. Sayangnya informasi yang tersedia sangat bervariasi kualitas dan tingkat kebenaran informasinya. Oleh karena itu, dokter juga harus aktif berperan di media sosial untuk membanjiri media sosial dengan informasi-informasi medis yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Dokter juga dapat meluruskan berbagai informasi salah yang beredar di media sosial.[3]

Media sosial menyediakan platform bagi tenaga medis profesional untuk saling berinteraksi. Interaksi ini dapat membangun hubungan profesional sekaligus dimanfaatkan sebagai ruang untuk meningkatkan keilmuan secara online. Hal ini sudah semakin banyak dilakukan belakangan ini dalam bentuk webinar-webinar yang dapat diakses oleh banyak peserta dari mana saja secara online.[5]

Kesimpulan

Berdasarkan penelitian ada korelasi positif antara penggunaan sosial media mempengaruhi keinginan wanita untuk melakukan prosedur tindakan medis. Wanita usia dibawah 35 tahun memiliki 1,8 kali menjalani prosedur estetik dibandingkan dengan wanita diatas 35 tahun.

Penambahan perkembangan fitur smartphone seperti altering filter yang dapat mengubah ekspektasi pasien terhadap tampilannya. Hal ini menimbulkan normative discontent dan dapat berkembang ke Body Dysmorphic Syndrome. Penelitian mengungkapkan 7,7% - 9,7% pasien yang menjalani tindakan estetik terdiagnosis BDD, hanya 3,6% yang mengurangi keluhan pada pasien tersebut. Sehingga dokter bedah plastik maupun dokter kosmetik hendaknya mengetahui kriteria BDD tersebut.

Media sosial memiliki pengaruh yang kuat terhadap masyarakat dan praktik bedah plastik. Media sosial dapat berpengaruh terhadap ekspektasi dan kondisi psikologis pasien. Dampak negatif yang mungkin ditimbulkan akibat penggunaan media sosial harus dapat diantisipasi dengan baik oleh tenaga medis. Dokter juga dapat memanfaatkan media sosial untuk memberi efek yang positif bagi masyarakat.

Referensi